Geliat Perpustakaan pada Masa Dinasti Abbasiyah

Geliat Perpustakaan pada Masa Dinasti Abbasiyah

Perpustakaan memiliki peranan penting dalam kejayaan Islam pada masa Dinasti Abbasiyah.

Geliat Perpustakaan pada Masa Dinasti Abbasiyah

Salah satu persyaratan penting untuk membangun peradaban ialah buku. Tanpa adanya buku, suatu peradaban akan sulit terbangun. Sebab dari buku-buku itulah segala pengetahuan ditulis oleh para pakar di bidangnya masing-masing. Pejabat dan masyarakat bisa mengaksesnya untuk kepentingan yang bermacam-macam mulai dari hukum, sosial, teknologi dan lain sebagainya. Sehingga tatanan masyarakat yang maju dan beradab bisa terwujud.

Dalam hal ini, Dinasti Abbasiyah bisa dijadikan contoh. Pada masa kejayaanya, Islam menjadi mercusuar pengetahuan yang memberikan manfaat besar tidak hanya untuk umat Islam saja tetapi juga untuk masyarakat agama lain yang bersinggungan dengan Islam. melalui kebijakan pemerintah Dinasti Abbasiyah, para ilmuwan diberi sokongan dana yang besar untuk kepentingan penelitian, penerjemahan, dan kegiatan ilmiah lain. Hasil dari kegiatan tersebut kemudian dibukukan agar bisa dimanfaatkan oleh masyarakat.

Buku-buku tersebut bisa diakses dengan mudah. Sebab masjid, selain menjadi tempat untuk melaksanakan salat berjamaah, masjid pada masa Dinasti Abbasiyah juga berfungsi sebagai pusat pendidikan. Di dalamnya terdapat banyak buku yang dikumpulkan oleh pengurus masjid. Karenanya, masjid-masjid pada masa itu memiliki khazanah buku-buku keagamaan yang sangat kaya. Salah seorang donatur buku tersebut adalah sejarawan terkenal yakni al-Khatib al-Baghdadi (1002-1071). Dia menyerahkan buku-bukunya sebagai wakaf untuk umat Islam. Hanya saja buku-buku itu disimpan di rumah seorang kawannya.

Para bangsawan Dinasti Abbasiyah juga membangun perpustakaan dengan dibantu oleh pengusaha kaya agar bisa digunakan sebagai lembaga-lembaga kajian yang terbuka untuk umum, menyimpan sejumlah koleksi buku logika, filsafat, astronomi dan bidang ilmu lainnya. Para pelajar dan para ahli bisa mengakses buku-buku yang mereka inginkan dengan mudah.

Bukan hanya pejabat dan pengusaha kaya saja yang mau membangun perpustakaan. Masyarakat pun merasa keberadaan perpustakaan sangat penting. Sehingga pada pertengahan abad kesepuluh, kota Mosul memiliki perpustakaan yang dibangun oleh penduduk setempat. Di dalam perpustakaan itu para pelajar yang mengunjunginya bisa mendapatkan kertas dan alat tulis lain secara gratis.

Di Syiraz, perpustakaan (khizanat al-kutub) dibangun oleh penguasa Buwaihi Adud ad-Daulah (977-982) yang semua buku-bukunya disusun di atas lemari-lemari, didaftar dalam katalog, dan diatur dengan baik oleh staf administratur yang berjaga secara bergiliran. Pada abad yang sama, kota Bashrah memiliki sebuah perpustakaan yang di dalamnya para sarjana bekerja dan mendapatkan upah dari pendiri perpustakaan.

Dan di kota Rayy terdapat sebuah tempat yang disebut “Rumah Buku”. Dikatakan bahwa tempat itu menyimpan ribuan manuskrip yang diangkut oleh lebih dari empat ratus ekor unta. Seluruh naskah-naskah itu kemudian didaftar dalam sepuluh jilid katalog.

Perpustaakan-perpustakaan tersebut digunakan sebagai tempat-tempat untuk diskusi dan debat ilmiah. Yaqut Al-Hamawi salah seorang ilmuwan ahli geografi menghabiskan waktu selama tiga tahun untuk mengumpulkan bahan-bahan yang ia perlukan untuk menulis kamus geografinya.

Bahan-bahan itu ia dapatkan dari perpustakaan-perpustakaan di daerah Marwa dan Kharizm. Ia menghentikan penulisan bukunya pada tahun 1220 ketika pasukan Mongol di bawah pimpinan Jengis Khan mulai menyerang negeri-negeri muslim dan membumihanguskan seluruh perpustakaan itu.

Selain perpustakaan, gambaran tentang budaya baca bisa juga dilihat dari banyaknya toko buku. Toko-toko itu mulai muncul sejak awal kekhalifahan Abbasiyah. Al-Ya’qubi meriwayatkan bahwa pada masanya (sekitar 891 M) ibukota negara diramaikan oleh lebih dari seratus toko buku yang berderet di satu ruas jalan yang sama. Sebagian toko tersebut tidak lebih besar dari ruangan masjid.

Tetapi ada juga toko-toko yang berukuran sangat besar. Bangunannya cukup besar untuk pusat penjualan sekaligus sebagai pusat aktivitas para ahli dan penyalin naskah. Para penjual buku itu sendiri banyak yang berprofesi sebagai penulis kaligrafi, penyalin dan ahli sastra yang menjadikan toko mereka tidak hanya sebagai tempat penjualan buku tetapi juga sebagai pusat kegiatan ilmiah.

Yaqut Al-Hamawi memulai karirnya di sana sebagai pegawai di sebuah toko buku. Al-Nadim  yang mendapatkan julukan al-Warraq (lembaran kertas) menjalani karirnya sebagai pustakawan dan penjual buku yang kemudian menulis sebuah karya besar berjudul Al-Fihrist yang diakui oleh kalangan akademisi dan ilmuwan sebagai karya yang sangat baik.

Demikianlah gambaran singkat mengenai perpustakaan pada masa Dinasti Abbasiyah. Jika umat Islam sekarang ingin membangkitkan lagi peradaban, salah satau syarat utamanya adalah kesadaran dalam dunia literasi. Dengan kesadaran tersebut, masyakarat harus meningkatkan kualitas literasinya. Seperti meningkatkan daya baca sejak usia dini. Tanpa itu, kebangkitan Islam hanya akan menjadi khayalan belaka.

Wallahu A’lam.