Hasanuddin Ali dan Lilik Purwanti dalam buku “Wajah Muslim Indonesia” tidak memasukkan dinamika keislaman anak-anak, sebagai salah satu dinamika utama dalam kajian Islam di Indonesia. Dunia Islam dan anak-anak di Indonesia memang tidak begitu dilisik mendalam, namun tidak juga bisa dilihat sebelah mata. Bagaimana tidak, di tengah gairah keislaman yang sedang menggelora, terutama di kalangan kelas menangah muslim, turut mengubah wajah keislaman anak-anak di Indonesia.
Tingkat keaktifan di media sosial yang tinggi dari kelas menengah muslim adalah faktor utama dalam mewarnai eksistensi keberislaman di Indonesia. Bagaimana tidak, informasi di media sosial kemudian sedikit banyak telah diadopsi sebagai arah kompas model kehidupan. Arkian, kehidupan kelas menengah yang menjadi trajektori utama dalam keberislaman. Kondisi ini yang menjadikan model keberagamaan kelas menengah, termasuk interaksi dengan keislaman anak-anak, yang banyak diadopsi oleh kebanyakan masyarakat Indonesia.
Sebelum lebih jauh membicarakan keberagaman anak, ada kasus viral terbaru terkait pasca keputusan Pemerintah Indonesia tentang pemulangan warga negara Indonesia yang terlibat ISIS. Di sana ada pekerjaan rumah pemerintah yang berat terkait anak-anak dan keislaman. Walaupun ada wacana memulangkan anak-anak yatim piatu dari keluarga kombatan ISIS. Ada keraguan besar warga negara atas kemampuan Pemerintah Indonesia, terutama mengatasi persoalan transmisi pengetahuan ekstrimisme.
Sebagaimana kita ketahui, kemampuan Pemerintah dalam mengurangi residu ajaran ekstrimisme masih terbawa dari mereka yang telah berbaiat pada kelompok teroris, termasuk pada kalangan anak-anak. Perang terhadap terorisme yang digemborkan oleh Negara memang belum terlihat mampu mengurangi perilaku ekstrimisme dan vandalisme di ruang publik. Buktinya, masih banyak keterlibatan anak-anak dalam jaringan terorisme.
Dua persoalan di atas hanya sebagian dari sekian banyak irisan antara agama dan anak-anak. Tentu masih banyak dinamika lain dari dua entitas tersebut, dari sekedar persoalan remeh-temeh hingga hal-hal berat.
Saya dibesarkan dalam kultur keluarga dan masyarakat tradisionalis yang kental. Hal ini membentuk ingatan akan relasi agama dan tradisi lebih mendominasi di alam bawah sadar saya. Salamatan, tapung tawar, Yasinan hingga tahlilan selain dari pelajaran ritual utama dalam Islam, seperti salat. Selain itu, interaksi dengan komik Neraka-Surga atau kitab Baghdadiyah (Baca: Alif-alifan) biasanya juga turut disebutkan dalam kebanyakan kita saat mengenang masa lalu.
Di antara kita mungkin pernah menemui pernyataan “belum cukup umur”, di mana diksi tersebut menjadi batas bagi anak-anak dari beragam hal, terutama keagamaan. Saat keingintahuan hingga rasa penasaran seringkali disebut sebagai senjata anak-anak dalam berinteraksi dengan dunia, termasuk dalam menguji batas-batas pengetahuan keberagamaan yang bisa mereka akses. Diktum batasan umur yang berkorelasi dengan pengetahuan, biasa digunakan untuk menghentikan aksi anak-anak tersebut.
Dalam batas-batas pengetahuan keislaman bagi anak-anak, ada otoritas orang tua, aturan sosial masyarakat dan moralitas agama turut mewarnai bahkan membatasi dan turut mempengaruhi keislaman anak-anak secara keseluruhan.
Siklus keislaman anak-anak sekarang tidak lagi hanya terfokus pada interaksi dengan pengetahuan keislaman belaka. Dalam kompleksitas kehidupan masyarakat, agama dalam kehidupan anak-anak akhirnya juga memiliki relasi dengan pasar, monetisasi dan kreativitas anak-anak, terutama di dunia maya atau internet.
Telah disebutkan di atas, bahwa kalangan kelas menengah memanfaatkan kehadiran media sosial untuk memperkuat eksistensi mereka, sebagai representasi model keberislaman yang paling sahih. Hal ini juga terlihat jelas dalam model keberagamaan anak-anak. Jelas sekali kita disodori berbagai pola asuh anak terkait agama ala kelas menengah, seperti menggeliatnya rumah Tahfiz mandiri, menggeloranya gerakan menghapal Alquran, atau bermunculan sekolah-sekolah Islam Terpadu.
Perjumpaan Islam dengan anak-anak lewat orangtua akhirnya bergeser. Dulu Islam diperkenalkan orang tua pada anak-anak lewat jenjang pendidikan baik formal di sekolah atau guru ngaji dari hal paling dasar, seperti mengenal huruf-huruf hijaiyah hingga ke level keilmuan keagamaan yang lebih tinggi.
Perubahan yang digelorakan oleh kalangan kelas menengah mulai mendobrak model pendidikan tradisional tersebut, dengan merombak jenjang dan supremasi otoritas keagamaan yang lama dan membuat model pengenalan Islam yang lebih kreatif. Dari kondisi ini, masuk otoritas-otoritas agama yang baru dengan standar baru dan relasi pada pasar, peluang monetisasi dan penciptaan kreativitas baru dari anak-anak, dalam hal teknologi.
Dengan model pengenalan Islam yang kreatif jelas membuka relasi pada pasar yang luas. Kecanggihan teknologi turut campur dalam relasi tersebut, anak-anak kita akhirnya berkenalan dengan Hafiz Doll, Alquran Digital, pemutar Murattal hingga Kartun Islam seperti Nussa atau Dipa. Pasar menangkap geliat keberagamaan yang meningkat dan akses terhadap teknologi yang tinggi di masyarakat muslim, dengan menciptakan media-media baru yang akrab dengan keislaman.
Masih terkait dengan teknologi dan pasar, internet atau dunia maya turut menciptakan relasi baru antara Islam dan anak-anak, berupa monetisasi dari kanal-kanal Youtube atau Instagram yang menyediakan konten-konten berhubungan dengan Islam (nanti dibahas lebih dalam dalam tulisan berikutnya). Dari ketersediaan konten yang dengan mudah diakses oleh anak-anak dalam belajar Islam, dapat diraup pundi-pundi rupiah oleh pembuat konten atau pemilik akun. Jumlah rupiah yang dikumpulkan justru jauh dari dikumpulkan bahkan oleh lembaga pendidikan agama tradisional, apalagi hanya seorang guru ngaji biasa di kampung.
Kreativitas anak-anak dalam mengemas perjumpaan mereka dengan agama meningkat cukup pesat. Kita mungkin pernah mengenal istilah-istilah baru, seperti MABIT (Malam Bina Iman dan Taqwa) atau yang saya temui di Banjarmasin yaitu TAPASAN (Tadarus Pagi Bareng Kawan). Glosari ini hanya satu dari langkah inventif dari anak-anak yang masih bersekolah di tingkat menengah atau dasar. Mereka juga meningkatkan kapasitas diri mereka dengan ilmu Public Speaking dan penguasaan pembuatan konten di media sosial.
Tidak heran akhirnya kita melihat pertumbuhan pendakwah anak-anak semakin meningkat, bukan hanya yang bisa berceramah di depan televisi atau radio. Youtube, Instagram hingga Podcast bernarasi Islam mulai disesaki oleh anak-anak usia sekolah menengah yang mendaulat diri sebagai influencer, ketimbang pendakwah. Inilah mode-mode pengetahuan keagamaan baru yang mulai dijejaki oleh anak-anak.
Ada relasi sakral yang terputus, minimal terganggu, dalam hubungan anak dan orang tua saat ketiga hal di atas mulai masuk dalam kehidupan anak-anak. Islam yang beririsan anak-anak sudah mulai berkurang filter dari orang tua atau otoritas keagamaan. Mereka menghadapi dunia yang sudah mulai melonggarnya batas-batas, yang selama ini menjaga keilmuan Islam. Otoritas orang tua, moralitas agama dan aturan sosial akhirnya menjadi harus dinegosiasikan ulang dalam relasi keberagamaan anak-anak.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin