Geliat Anies Baswedan dalam Debat Nasdem vs PSI: Politik Kebangsaan?

Geliat Anies Baswedan dalam Debat Nasdem vs PSI: Politik Kebangsaan?

Jejak Anies Baswedan dan Kemungkinan yang membuat PSI tampak berseteru dengan Nasdem

Geliat Anies Baswedan dalam Debat Nasdem vs PSI: Politik Kebangsaan?
Pertemuan antara Anies Baswedan dan Surya Paloh memberikan banyak tafsir untuk kita (ANTARA FOTO/FAUZI LAMBOKA)

Surya Paloh mendukung Anies Baswedan di Pilpres 2024. Demikian kira-kira berbagai judul berita yang berseliweran di media sosial. Sampai-sampai membuat PSI terkejut dan langsung melayangkan kritik. Tak kurang-kurang Sis Tsamara dan Bro Toni yang langsung bereaksi. Namun demikian, tak lama setelah berita itu menjadi perbincangan nasional, Taufik Basari salah satu kader terbaik Nasdem langsung mengklarifikasi. Bahwa katanya maksud dari pertemuan Surya Paloh dan Anies Baswedan bukanlah untuk kepentingan pragmatis Pilpres 2024. Pertemuan itu hanya sekadar bentuk suport Nasdem agar Anies lebih giat bekerja untuk Jakarta.

Saya harus membuka perjalanan politik Anies Baswedan secara singkat saja. Anies Baswedan mulai dikenal publik minimal ketika ia menjabat Rektor Universitas Paramadina, Jakarta. Kampus ternama yang didirikan salah satu Cendekiawan Muslim Indonesia bernama Prof. Dr. Nurcholish Madjid alias Cak Nur. Asalkan tahu, proses suksesi Anies Baswedan di Universitas Paramadina penuh dengan intrik dan ketidakberesan. Mohamad Monib salah satu rekan Anies Baswedan yang juga merupakan pengurus Nurcholish Madjid Society, pernah membuat video khusus berkaitan dengan ketidakberesan Anies Baswedan. Sampai-sampai Yudi Latif yang digadang-gadang kuat menggantikan Cak Nur justru harus hengkang dari Universitas Paramadina.

Puncak karir politik Anies Baswedan adalah manakala ia berhasil mendepak rival terberatnya Basuki Tjahaja Purnama. Anies Baswedan yang dikenal nasionalis dan inklusif terjebak pada permainan politisasi agama bersama kelompok Muslim radikal. Anies Baswedan telah mencederai komitmen dan pemikirannya sendiri selama ini. Ini yang menurut saya sangat fatal. Sekalipun misalnya Anies Baswedan juga pernah meroket berkat idenya berkaitan dengan program Indonesia Mengajar. PSI sangat menjunjung tinggi politik kebangsaan. Politik yang santun dan elegan berbicara visi-misinya untuk memberantas korupsi dan intoleransi. Tidak berlebihan jika PSI hampir selalu bergandengan tangan sampai ketika mendukung Jokowi dan Kiai Ma’ruf Amin.

Saya masih sangat percaya dengan Sis Grace dan Bro Toni. Para punggawa di PSI bukan orang-orang biasa, orang-orang gampangan yang segala sesuatunya bisa dibeli dengan uang dan ketenaran. PSI juga banyak disuport sosok berintegritas. Apalagi sangkaan-sangkaan tendensius terhadap PSI selama ini hampir selalu dapat dibantah dan selalu terbukti hoaks. Maka kalau benar Nasdem mempunyai ambisi mendukung Anies Baswedan pada Pilpres 2024 nanti, jelas itu pragmatis sekali. Sis Tsamara sudah tepat. Kalau mau kembali didukung, jelas-jelas Nasdem adalah pendukung pertama Ridwan Kamil ketika Pilgub Jabar kemarin. Saya harus katakan dengan Ridwan Kamil saja, Anies Baswedan masih jauh tertinggal.

Saya bisa saja baik dan berteman dengan siapa saja. Tetapi kebaikan dalam pertemanan tidak membuat saya tumpul manakala ada perbedaan prinsip dan pandangan berkaitan dengan politik kebangsaan. Politisasi agama jelas-jelas fatal dan tidak boleh ditolelir. Siapapun yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan politik harus saya kritik dan lawan. Tidak peduli apakah ia masih saudara dan teman. Saya mengenal betul Sis Grace dan Bro Toni dan kawan-kawan. Kedua punggawa PSI ini bukan sembarang orang. Maka ketika Birgaldo Sinaga menulis “Mengapa Saya Tidak Bersama PSI?”, tulisan ini tendensius dan penuh dengan kemarahan atau minimalnya baper yang berlebihan. Saya sendiri mengangkat topi pada Birgaldo Sinaga, Denny Siregar, Eko Kunthadi, Ust Enha dan Niluh Djelantik yang telah membangun pertemanan di media sosial dan lalu di dunia nyata dengan kompak dan penuh prinsip kebangsaan.

Saya pikir Birgaldo Sinaga tidak perlu berlebihan. Risiko politisi dan orang yang aktif di media sosial ya memang begitu adanya. Karena keakraban, ada kalanya saling saut dengan nada satir, bercanda dan serius yang semua itu mengalir begitu saja tanpa harus kehilangan kendali. Maka saya setuju jika perteman kelima orang tersebut, segera kembali dicairkan dengan acara ngopi-ngopi agar urat saraf tidak tegang, sesuai apa yang disarankan Ust Enha di laman Facebooknya. Silakan lanjutkan perjuangannya di Nasdem, sebagaimana Bro dan Sis di PSI. Pilihan kendaraan parpol boleh berbeda tetapi komitmen kebangsaan kita sama: NKRI harga mati. Melawan bersama terhadap korupsi dan intoleransi.

Saya juga sama, selain kalau benar pertemuan Surya Paloh dan Anies Baswedan sebagai ajang dukungan di Pilpres 2024 nanti, saya juga melayangkan kritik kalau pertemuan Megawati dan Prabowo sebagai pertemuan bagi-bagi jabatan Menteri. Padahal kita tahu PDI Perjuangan dan Gerindra adalah seteru sengit di Pilpres 2019. Dan saya yakin, orang semacam Adian Napitupulu, Budiman Sujatmiko dan politisi PDI Perjuangan selevel, tidak akan tinggal diam. Termasuk PSI. Saya yakin PSI akan melayangkan kritik pedasnya kepada Jokowi sekalipun (minimal itu harapan saya) manakala pada saatnya nanti Jokowi membagi jabatan Menteri kepada Gerindra. Kita lihat saja nanti.

Yang jelas politik itu memang akan selalu bicara berbagai kemungkinan. Segala sesuatu akan sangat mungkin terjadi, termasuk yang oleh Sis Tsamara dianggap pragmatis sekalipun. Mari kita lihat ke depan, namun saya ingin mengatakan bahwa PSI insya Allah akan selalu berkomitmen untuk tidak melancarkan politik pragmatis berkaitan dengan politisasi agama. Saya meyakini betul. Maka orang-orang kritis semacam Sis Tsamara, di Nasdem dan parpol lainnya mesti punya. Ini demi menjaga komitmen kebangsaan Nasdem terhadap NKRI. Anti politisasi agama lebih mahal dari apapun. Apalagi hanya karena kepentingan elektoral partai. Wallahu A’lam.