Gausah Berlebihan Menyikapi Bocil, Berbagi Uang di Hari Raya Lebaran Itu Biasa Saja Fren!!

Gausah Berlebihan Menyikapi Bocil, Berbagi Uang di Hari Raya Lebaran Itu Biasa Saja Fren!!

Pembiaran Nabi terhadap apa yang dilakukan Aisyah di hari raya lebaran tidak saja menunjukkan betapa rileksnya Nabi Muhammad, tetapi juga menegaskan bahwa ekspresi kebudayaan untuk merayakan hari kemenangan adalah valid.

Gausah Berlebihan Menyikapi Bocil, Berbagi Uang di Hari Raya Lebaran Itu Biasa Saja Fren!!

“Jangan ajari anakmu jadi ‘pengemis’ di hari Idulfitri,” begitu kata sebuah utas di linimasa media sosial. Sebabnya, Islam melarang umatnya meminta-minta. Lalu, dilampirkan sebuah hadis Nabi riwayat Imam Ahmad untuk (seolah-olah) meneguhkan pandangan bahwa perilaku anak-anak yang mendapat uang sewaktu lebaran adalah salah dan dilarang agama. Tradisi berbagi uang, angpao lebaran, atau pitrah, dengan demikian, dipandang sebagai sesuatu yang tidak baik untuk tumbuh kembang anak.

Benarkah demikian?

Buat saya, jika pandangan di atas merupakan tafsiran atas ajaran Islam, barangkali tidak keliru-keliru amat. Tetapi jika ia hendak dikukuhkan sebagai ajaran atau diklaim sebagai pandangan Islam, ini tentu bermasalah. Keduanya punya konsekuensi yang berbeda.

Mari kita tela’ah pelan-pelan, karena perkara duit ini memang kelewat sensitif.

Seorang antropolog Victor Turner (1982) menyebut, manakala suatu kelompok masyarakat merayakan peristiwa tertentu, mereka sesungguhnya sedang merayakan dirinya sendiri. Di Indonesia, kita mengenal beragam tradisi untuk merayakan Idulfitri. Yang paling terkenal adalah Halalbihalal.

Secara historis, halalbihalal diduga erat kaitannya dengan sosok Kiai Wahab Chasbullah, salah satu pendiri NU. Ceritanya, medio 1948 Bung Karno sedang mendapati situasi buntu sehubungan dengan situasi politik saat itu. Lalu kedua tokoh itu berembug untuk mencari solusi atas ketidak-rukunan elite politik di tengah ancaman disintegrasi bangsa oleh kelompok DI/TII dan PKI.

Kiai Wahab mengusulkan silaturahmi nasional. Bung Karno menganggap ide itu bagus, hanya saja istilah itu kurang menggigit sehingga harus dimodifikasi. Kiai Wahab kemudian mengusulkan ‘halalbihalal’.

FYI, halalbihalal yang dibayangkan saat itu tidak memiliki akar filosofis dari struktur gramatika bahasa Arab. Sebaliknya, istilah ini lahir dari spontanitas Kiai Wahab. Maksud dan arti yang ingin dirujuk adalah masing-masing pribadi saling memberikan kehalalan atas kesalahan-kesalahan yang terlanjur sudah diperbuat.

Dalam perkembangannya, silaturahmi di hari raya lebaran rasanya kurang afdhol jika tidak berbagi uang (berapapun nilainya) untuk anak-anak. Uang adalah kapital yang cukup krusial. Ia menandai adanya relasi kekuasaan atas kepemilikan barang, dan pada derajat tertentu menandai status sosial.

Tentu saja, perlu riset tersendiri untuk menelusuri geneaologi angpao lebaran buat anak-anak; kenapa ia bisa begitu semarak; dan apa efek sosial yang ditimbulkan darinya. Meski begitu, saya kira substansinya adalah sesederhana berbagi kebahagiaan dan merayakan kemenangan. Lagipula, ini terjadi hanya setahun sekali. Toh, itu berlaku hanya dengan keluarganya sendiri. Artinya, kebiasaan untuk berbagi atau berharap mendapat uang lebaran bagi para bocil sebetulnya adalah praktik yang biasa-biasa saja.

Dalam banyak riwayat, kita bisa menemukan betapa Nabi Muhammad sendiri seringkali kedapatan sedang menyenangkan anak-anak. Sebuah Hadis yang bersumber dari Aisyah menyebut jika Nabi SAW pernah bersabda: “sesungguhnya di surga ada satu rumah yang bernama Rumah Kegembiraan.  Tiada yang memasukinya kecuali orang yang menggembirakan anak-anak kecil.

Terpisah, ada sebuah hadis lain yang gak kalah menarik. Suatu hari dua biduan sedang bernyanyi lagu-lagu Anshar (yaum bu’ats) di kediaman Sayyidah Aisyah. Sejurus kemudian, Abu Bakar masuk ke ruangan itu. Lalu Aisyah ditegur, “instrumen kayak setan kok dimainkan di rumah Nabi! Di momentum idul fitri pula!!”

Ditengarai, yaum bu’ats adalah hari bersejarah bagi penduduk Madinah sejak pra-Islam. Dan, ya, respon Nabi di luar dugaan. Kepada Abu Bakar, Nabi Muhammad bilang, “setiap orang punya festivalnya sendiri, dan hari ini adalah festival kita.” Suasana pun kembali cair.

Pembiaran Nabi terhadap apa yang dilakukan Aisyah di hari raya lebaran itu tidak saja menunjukkan betapa rileksnya Nabi Muhammad, tetapi juga menegaskan bahwa ekspresi kebudayaan untuk merayakan hari kemenangan adalah valid.

Maka, sungguh naif dan wagu jika ada orang yang hendak mengubur kebahagiaan anak kecil di hari raya lebaran lewat tuduhan mewarisi “mental pengemis”, tetapi di saat bersamaan masih berharap gratis ongkir, atau cashback, atau hanya modal sepuluh ribu rupiah tapi berharap dapat memenangkan undian mobil di even special deals di market-place, atau lebih ekstrem, rajin sholat dhuha biar kaya. Kalo ingin kaya itu ya kerja dong ngab!! Lagian, sembahyang itu buat menyadarkan bahwa kita ini makhluk lemah, bukan agar supaya bergelimang harta.