Di tengah geliat masyarakat muslim mulai condong memiliki kehidupan yang lebih agamis, maka pertanyaan di atas mungkin dapat dianggap sedikit berlebihan. Ya, sebab sebelum model Islam pasar mulai diminati oleh masyarakat muslim saat ini, diksi gaul dianggap tidak sejalan dengan kehidupan agama.
Agama, dalam hal ini Islam, tidak dapat sejalan dengan diksi gaul karena dianggap lebih dekat dengan model kehidupan masyarakat modern, yang dikesankan dengan gaya hidup barat. Namun, seiring peningkatan angka masyarakat muslim kelas menengah, penerimaan terhadap model kehidupan modern meningkat tajam. Adaptasi terhadap gaya pakaian, model tempat tinggal, hingga pakaian juga turut beradaptasi dengan kehidupan masyarakat muslim modern tersebut.
Dus, gaul menjadi tidak lagi dihadapi dengan sikap yang antipati, malah dirayakan walau dengan sedikit “disesuaikan” dengan ajaran-ajaran Islam. Walau saya lebih setuju dengan gambaran yang terjadi adalah kedua poros, yaitu agama dan modernitas (baca: kapitalisme), saling beradaptasi dalam bingkai kepentingan masing-masing.
Jika berkaca dari kondisi di atas, maka wacana gaul islami bukan lagi sesuatu yang asing. Ia telah bertransformasi menjadi bagian ekspresi keislaman, khususnya bagi kalangan Islamis. Salah satu buktinya dapat kita jumpai di sebuah meme yang sedang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini. Dalam meme tersebut disebutkan beberapa “tips” menjadi gaul, namun tetap Islami. Dari fenomena tersebut, saya melihat ada poin yang patut diulik guna menjawab pertanyaan di atas.
Dalam meme Gaul Islami, kita dapat mengamati bagaimana perjumpaan agama dengan pasar dan media baru. Bagaimana bisa? Sebenarnya Hal ini pernah ditegaskan oleh Rifqi Fairuz dalam esainya yang berjudul Film Islami dan Migrasi Luar Negeri Pencarian atau Narsisme Muslim Kelas Menengah. Dalam esai tersebut, Fairuz menjelaskan bagaimana peran budaya pop dapat membentuk imaji terkait keberagamaan. “Anak muda Muslim berhasil menemukan sosok “Rangga” yang Islami di layar bioskop lewat penokohan Fahri, tokoh protagonis mahasiswa Al-Azhar yang santun, pintar dan taat beragama” tulis Fairuz.
Pattana Kitiarsa, seorang akademisi asal Singapura, pernah menyebut bahwa, “pasar dan media membuat agama lebih mudah diakses oleh publik dan mengubah agama menjadi praktik budaya populer di masyarakat modern”. Berangkat dari dua pendapat ini, kita bisa relasi antara kesalehan dan modernitas tidak lagi berhadap-hadapan, namun sudah lebih tepatnya berjalan beriringan.
“Peran agama dalam dunia globalisasi kontemporer berubah dengan cepat. Teknologi baru dan arus informasi yang dipercepat dikombinasikan dengan urbanisasi dan peningkatan kemakmuran telah memunculkan bentuk-bentuk baru ekspresi keagamaan, baik di Indonesia maupun di tempat lain” tulis Greg Fealy. Jadi dinamika gaul Islami yang sedang ramai diperbincangkan adalah bagian dari bentuk baru ekspresi keagamaan.
Jadi ekspresi keislaman yang paling terdekat bisa ditampilkan sebagai bagian penanda “perubahan” (baca: hijrah) adalah konversi model pakaian. Hal tersebut pernah diutarakan oleh Dennis Washburn dan Kevin Reinhart, keduanya adalah akademisi asal Amerika Serikat, dalam buku Converting Culture: Religion, Ideology, and Transformations of Modernity bahwa pilihan pertama diambil masyarakat dalam menandai perubahan dalam diri mereka adalah perubahan visual, seperti pakaian atau penggunaan aksesoris.
Akan tetapi, perlu dipahami terlebih dahulu oleh kita bahwa modernitas di atas tidak sekedar urusan teknologi atau gaya hidup, namun di dalamnya juga terselip budaya modernitas lainnya yang dapat mengubah wajah keberislaman kita, yakni budaya konsumsi. Ya, budaya konsumsi tidak dapat dilepaskan begitu saja dari rantai kapitalisme.
Greg, akademisi asal Australia, menyebutkan bahwa sebagian besar ekspresi keagamaan ini mengambil bentuk yang dikomodifikasi, di mana umat Islam secara selektif mengkonsumsi produk-produk ‘Islami’ dari pasar spiritual yang berkembang daripada mengikuti pola perilaku masyarakat muslim terdahulu. Perubahan yang disebut oleh Greg ini tidak lagi hanya ditemui dalam tren hijrah saja, namun juga dapat dilihat di kalangan muslim tradisionalis yang mulai beradaptasi dengan tuntutan segmen pasar dakwah ini.
Hal tersebut bisa kita bisa lihat dari mulai bertumbuhannya toko-toko busana muslim yang menyasar segmen muslim tradisionalis. Toko-toko tersebut menyediakan berbagai produk yang dekat dengan narasi Islam tradisionalis, seperti surban ala Yaman yang dipadankan dengan baju koko yang sedikit slimfit.
Ini dirasa wajar, sebab kelompok anak muda muslim tradisionalis mulai merasakan hal yang sama dengan apa yang dijelaskan oleh Greg di atas. Mereka akhirnya mulai bernegosiasi dengan berbagai wacana Islam pasar yang dirasa lebih cocok dengan keislaman anak muda.
Jadi, narasi “Gaul Islami” sudah mulai kehilangan geliat pertarungan wacana, namun yang terjadi adalah perluasan segmen pasar dari usaha para pemodal. Sebab, narasi tersebut tidak lagi dimiliki oleh kelompok Hijrah belaka, namun juga mulai menyasar kalangan Islam tradisionalis. Gaul Islami mulai dekat narasi kapitalisme ketimbang kesalehan belaka.
Fatahallahu alaina futuh al-arifin