Selama dua hari ke depan, 2-3 November 2022, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memulai langkah. Melalui Konferensi Tingkat Tinggi Internasional di Bali, PBNU mengundang para pemimpin agama dunia. Duduk bersama dalam agenda Religion 20 (R20). Ada dua problem pelik yang ingin dipecahkan bersama. Pertama, bagaimana para pemimpin agama dapat mengatasi konflik antar umat. Khususnya yang dipicu oleh perbedaan agama dan kepercayaan. Kedua, bagaimana para pemimpin agama dapat mengambil peran dan tanggungjawab global. Menjadikan agama sebagai sumber solusi bagi permasalahan global-kemanusiaan. Baik dalam ranah politik, budaya, keamanaan, dan ekonomi.
Dua gagasan besar ini diutarakan Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf. Baik dalam konferensi press jelang R20 ataupun saat membuka R20 pagi ini. Dengan dukungan dari Pemerintah RI dan Liga Muslim Dunia, KH. Yahya Cholil Staquf optimis. R20 tidak hanya sekedar sebagai event. Lebih dari itu, spirit R20 akan menjadi gerakan global. Menggerakan keterlibatan pemimpin lintas agama dalam menyelesaikan tantangan global. Langkah awalnya, dialog yang jujur harus diadakan. Memahami problem mendasar umat beragama. Setelah itu, merumuskan strategi penyelesaiannya. Tentu hal ini bukan pekerjaan yang mudah. Meskipun bukan sesuatu yang mustahil.
Konflik Agama dan Permasalahan Global
Tidak dapat dimungkiri, konflik antar umat beragama adalah masalah klasik. Timbul tenggelam bersamaan dengan dinamika masyarakat. Meskipun tidak sulit disepakati bahwa agama mengajarkan kedamaian, namun dalam kenyataannya, agama tidak jarang dijadikan sebagai pengabsah konflik dan tindak kekerasan. Baik dalam intern umat beragama ataupun antar umat beragama. Perbedaan tafsir, aliran, dan madzhab menjadi alasan untuk merasa paling benar. Seraya memandang yang lain adalah salah. Lebih miris lagi, masing-masing menyandarkan pandangan dan sikap jumawanya dengan doktrin agama.
Dalam konteks umat Islam, perbedaan Sunni-Syiah, Wahabi-NU, salafis-modernis sering berhadap-hadapan. Saling ejek, bahkan saling membubarkan pengajian. Meskipun ini bukanlah gejala yang dominan. Hanya dilakukan oleh sebagian kalangan, namun titik ujungnya belum begitu nampak. Upaya mencari titik temu masih sering kalah dengan keasyikan mencari titik beda. Tentu hal ini juga bukan problem khas dalam Islam. Agama yang lain juga menghadapi hal yang tidak jauh berbeda. Dalam bukunya, Religion and Violence (1999), Torkel Brekke menjalaskan bahwa agama memiliki potensi untuk mendikotomi antara “kita” dan “mereka”. Ujungnya, konflik tak terelakan.
Namun demikian, agama juga dapat berperan dalam mewujudkan perdamaian. Atau setidaknya mereduksi konflik. Menetralisir perbedaan di tengah masyarakat. Jurgernsmeyer dalam bukunya Terror in the Mind of God (2001) menegaskan bahwa kehadiran pemimpin agama menyelesaikan konflik sangat dibutuhkan. Dialog antar pemimpin agama untuk saling memahami (mutual understanding) adalah satu diantara langkah strategisnya. Tentu, harus diikuti dengan kemauan dan kesadaran yang sama dari umat beragama. Dengan cara ini, agama mampu dijadikan pijakan untuk saling memahami. Untuk selanjutnya menjalin kerjasama. Merawat perdamaian bersama. Bahkan memecahkan tantangan global bersama. Mulai dari masalah kerusakan lingkungan, kelangkaan sumber daya, hingga masalah keamanan.
Dari titik ini, kita berharap, dua gagasan besar PBNU melalui R20 di atas tidak layu sebelum berkembang. Kongkritnya, menyadarkan para pemimpin agama untuk serius membina hubungan baik intern dan antar umat beragama. Bukan sebaliknya, memprovokasi umat untuk saling bermusuhan.
Semoga…