Gagasan Islam Progresif ala Soekarno

Gagasan Islam Progresif ala Soekarno

Menjadi Islam progresif, bagi Soekarno, harus memiliki daya saing yang tinggi dan juga terlibat dalam menciptakan ilmu pengetahuan modern.

Gagasan Islam Progresif ala Soekarno
Karim Oei bersama Buya Hamka dan Bung karno

Hari ini, 21 Juni merupakan hari wafatnya Soekarno. Presiden pertama Indonesia ini tidak hanya berjasa atas kemerdekaan Indonesia, ia  juga memiliki pemikiran-pemikiran brilian terkait Islam yang progresif.

Bagi Bung Karno, menjadi seorang muslim haruslah mengamalkan Islam dengan orientasi kemajuan, progresif, dan menurutnya, sistem khilafah Islamiyah adalah sebuah kemunduran zaman. Bung Karno telah menyadari jauh-jauh hari bahwa menjadi muslim yang maju tidak harus menjalankan prinsip syariat dalam ketatanegaraan, justru ajaran-ajaran Islam menjadi maju dengan cara bersinergi dengan alam pikiran modern yang berkembang.

Progresifitas pemikiran Islam Bung Karno yang berorientasi kemajuan ini, harus dilihat bagaimana ia dapat mempertemukan antara ajaran Islam berupa ritual keagamaan dan sekaligus memproduksi keilmuan modern. Artinya, seorang muslim harusnya memiliki daya saing yang tinggi dan juga terlibat dalam menciptakan ilmu pengetahuan modern.

Menjadi muslim tak boleh hanya sekedar mengamalkan ritual-ritual keagamaan semata, lebih daripada itu, ia harus mensinergikan dengan perkembangan zaman dan menyadari betapa pentingnya kedua hal itu dapat menyatu, khususnya dalam membangun kemajuan peradaban umat manusia.

Bung Karno sangat anti-pati dengan ide khilafah. Baginya, pemerintahan berbasis khilafah tak lebih dari suatu pemikiran yang mundur disebabkan terlalu berilusi dalam mengembalikan kejayaan Islam masa lalu untuk dihadirkan lagi saat ini. Padahal, masa lalu memiliki alam pikirannya sendiri dan tak selalu cocok dengan era kekinian. Justru yang dibutuhkan adalah selalu mengikuti arus zaman dengan segala konsekuensi perubahannya.

Di era modern ini, tampak bahwa umat Islam mengalami ketertinggalan yang amat jauh dengan tradisi pemikiran Barat. Sebab itu, sudah menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk menyongsong ketertinggalannya dan membangun masa depan yang lebih menjanjikan.

Bung Karno pernah berkata, “Islam harus berani mengejar zaman, bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman. Kalau Islam tidak cukup kemampuannya buat mengejar seritu tahun itu, niscaya ia akan tetap hina dan mesum. Bukan kembali pada Islam glor yang dulu, bukan kembali pada ‘zaman khalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman. Itulah satu-satunya jalan buat menjadi gilang gemilang kembali. Kenapa toh kita selamanya dapat ajaran, bahwa harus mengkopi ‘zaman khalifah’ yang dulu-dulu? Sekarang toh tahun 1936 dan bukan 700 atau 800 atau 900?”.

Itulah sedikit cuplikan dari bagaimana cara pandang Islam ala Bung Karno yang begitu progresif. Sebagai seorang pemimpin revolusioner, Bung Karno memang mampu menjembatani berbagai pemikiran menjadi satu paket kesatuan yang utuh. Ide Marxisme ia gabungkan dengan Islamisme, lalu Nasionalisme dan melahirkan apa yang kita kenal sekarang sebagai ideologi Pancasila.

Dalam konteks Islam progresif, Bung Karno memang tidak memiliki pemikiran yang utuh dan sistematis, tetapi dengan melihat beberapa faktor utama mengapa umat Islam mengalami kemunduran, maka akan sedikit menghantarkan kita pada pemikiran Islam progresif ala Bung Karno. Faktor itu antara lain:

Pertama, adanya upaya umat Muslim untuk melakukan formalisasi terhadap ajaran Islam. Seperti adanya ide membangun khilafah dalam sebuah sistem kenegaraan. Corak umat Islam semacam ini tidak melihat Islam secara substantif, tetapi lebih mengacu dan mengutamakan fikih. Di sisi lain, tidak merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber paling otoritatif dalam ajaran Islam.

Bung Karno menilai fikih dan hukum Islam sangatlah penting, tetapi ia bukanlah satu-satunya pondasi ajaran Islam. Banyak umat Islam hanya melihat agamanya sebatas label, bungkus atau atribut semata, bukan melihat isi atau substansinya. Pandangan ini hingga hari ini, masih saja berkembang disebagian kalangan umat Islam.

Kedua, adanya kecenderungan taklid buta atau logika ikut-ikutan. Menurut Bung Karno, sikap taklid ini akan menjadi berbahaya jika mematikan kreatifitas dan akal budi manusia, yang merupakan prasyarat utama bagi manusia dalam melakukan daya cipta. Ini dapat dilihat misalnya, kemajuan suatu bangsa dapat dilihat bagaimana daya pikir ini dapat dimaksimalkan.

Taklid buta, dalam banyak hal, akan mengakibatkan pemikiran menjadi mandul dan menghambat kemajuan umat Islam. Meski taklid adalah sesuatu yang diperbolehkan dan memang harus dalam bermazhab, tetapi taklid tak boleh hanya sekedar ikut-ikutan. Taklid buta justru akan merusak umat Islam dari dalam akibat kebodohan yang berkepanjangan.

Ketiga, mengutip dan mempercayai hadis-hadis lemah sebagai rujukan dalam beragama. Menurut Bung Karno, umat Islam harus benar-benar selektif dalam mengambil sumber rujukan hukum Islam. Tak boleh bersikap serampangan dan suka-suka. Sebab, banyak hadis-hadis palsu yang bertebaran, maka sudah sepatutnya umat Islam dapat memilah secara cerdas dan mencari rujukan sumber hukum yang otoritatis serta relevan bagi zamannya.

Dan juga, banyak umat Islam mengalami ketertinggalan, menurut Bung Karno, disebabkan kurangnya ulama yang mempelajari sejarah. Dengan mempelajari sejarah, pastilah kita dapat memahami kekuatan-kekuatan masyarakat berserta kemajuan dan kemundurannya.

beberapa poin penting yang menjadi faktor utama kemunduran umat Islam di atas, menunjukkan bahwa betapa Bung Karno memiliki pemikiran Islam yang sangat progresif. Bung Karno mengharuskan umat Islam untuk lebih terbuka agar wawasan keagamaannya dapat berkembang dan mampu mengintegrasikannya dengan keilmuan modern. Pemikiran yang ekslusif dan tertutup, justru akan menjadikan umat Islam mandul dan tidak berkembang.

Rohmatul Izad. Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Filsafat UGM, Ketua Pusat Studi Islam dan Ilmu-Ilmu Sosial Pesantren Baitul Hikmah Krapyak Yogyakarta.