Gaduhnya Demokrasi Kita Seperti Pasar Malam

Gaduhnya Demokrasi Kita Seperti Pasar Malam

Demokrasi kita laiknya pasar malam, mengapa kita masih akan tetap menggunakannya?

Gaduhnya Demokrasi Kita Seperti Pasar Malam

Melihat demokrasi di negeri ini seperti masuk pasar malam yang riuh dan gaduh. Terjadi persaingan antar pedagang dan penyedia jasa hiburan untuk mengambil hati para pengunjung. Mereka menggunakan segala macam cara mempengaruhi pengunjung agar singgah di stand masing-masing untuk membeli dagangan atau menikmati hiburan yg disuguhkan.

Ada yang setel musik dg suara sound sistem kenceng memekakkan telinga. Ada yang orasi dengan intonasi tinggi hingga suaranya pecah dan serak. Ada juga yang bisik-bisik diantara kerumunan masa kemudian satu persatu pengunjung ditarik tangannya secara diam-diam masuk stand atau arena pertunjukan. Inilah demokrasi pasar malam.

Dalam demokrasi pasar malam para penjual terlihat bebas lepas menawarkan dagangannya dengan segala cara. Mulai rayuan persuasif, tipu daya, caci maki, sampai fitnah dan provokasi. Tak hanya itu mereka juga tidak segan-segan melakukan intimidasi dengan mencatut nama Tuhan dan menggunakan topeng agama untuk menarik massa.

Tak hanya para penjual yang bisa bebas lepas tanpa batas. Para pengunjung juga bebas mepakukan apapun; memilih dan bertransaksi, mencari hiburan, menipu, mencopet dan memalak. Atas nama demokrasi dan kebebasan manusia boleh melakukan apa saja. Hukum dan peraturan diinjak-injak, moral dan etika hanya menjadi kata.

Dalam demokrasi pasar malam yang benar dan salah, yang asli dan palsu menjadi sulit dibedakan. Kebusukan dan keculasan dibungkus dengan simbol yang sakral dan suci. Sehingga semua tampak indah, anggun dan menarik.

Apa yang terjadi bisa dijadikan ukuran melihat taraf perkembangan sosial masyarakat. Demokrasi adalah liberal adalah produk peradaban modern yang mengasumsikan setiap individu memiliki kemampuan menggunakan kebebasan secara baik melalui akal dan nuraninya. Sebagaimana dinyatakan Noam Chomsky, demokrasi harus dibangun berdasar nalar dan hati nurani. Tanpa nurani demokrasi akan menjadi alat mewujudkan keserakahan korporasi di era pasar bebas. Ini artinya demokrasi tidak identik dengan kebebasan yang mengabaikan moral etik sebagai cerminan dari hati nurani. Kebebasan dalam demokrasi merupakan ekspresi dari penerapan akal dan moral (nurani) secara tepat dan proporsional.

Aspek nurani (moral etik) dalam demokrasi ini merupakan sesuatu yang vital. Demokrasi yang hanya mengandalkan rasional tidak saja bisa melahirkan keserakahan korporasi sibagaimana disinyalir Choamsky, tetapi juga bisa terjebak dalam demokrasi elektoral yang menumbuhkan oligarki, otoritarianisme mayoritas. Bahkan kaum fundamentalis dan formalis agama yang anti demokrasi bisa menunggangi demokrasi untuk mewujudkan kepentingan dan ambisi politik mereka. Inilah bahaya demokrasi tanpa nurani.

Kedua, demokrasi terkait dengan aspek kesejajteraan. Dalam konteks ini Kevin Olson (2006) menjelaskan membicarakan demokrasi dengan mengabaikan kesejahteraan akan berujung pada terjadinya krisis politik. Terlepas dari pertanyaan apakah demokrasi merupakan alat membangun kesejahteraan atau kesejajteraan yang menjamin terlaksnanya demokrasi (Bastian Naninggolan; 2011) yang jelas demokrasi memiliki keterkaitan erat dengan kesejahteraan.

Ini artinya terjadi hubungan timbal balik antara kesejahteraan dan demokrasi. Hubungan keduanya berbanding lurus. Penerapan Demokrasi yang baik berkualitas akan bisa menciptakan kesejahteraan rakyat dan dalam rakyat yang sejahtera penerapan demokrasi akan semakin baik. Kesejahyeraan ini tidak hanya diukur dari materi tapi juga kesadaran berpartisipasi secara sukarela.

Kegaduhan praktek demokrasi di negeri ini menunjukkan bangsa ini belum bisa menerapkan dan menggunakan demokrasi secara tepat dan akurat karena belum mampu mendistribusikan aspek akal, nurani dan emosi secara proposional. Akibatnya demokrasi hanya dijadikan alat mengekspresikan kebebebasan dan memenuhi keinginan individu dan kelompok dengan mengedepankan aspek emosi dan mengabaikan akal dan nurani.

Apa yang terjadi juga menunjukkan menerapkan demokrasi di tengah masyarakat yang masih mengedepankan emosi, mengabaikan akal dan nurani, seperti memberikan pisau tajam pada anak kecil. Bukannya digunakan untuk memotong kue dan buah atau hal-hal lain yang bermanfaat tetapi malah digunakan untuk saling melukai bahkan bisa memotong organ tubuhnya sendiri.

Namun demikian hal ini bukan berarti harus mengganti dengan pisau yang lain. Karena apapun jenis pisau yang diberikan akan tetap membahayakan bagi anak kecil. Dalam konteks Indonesia, yang dibutuhkan adalah mendidik anak2 kecil ini agar cepat dewasa, segera memiliki kemampuan menerapkan akal, nurani dan emosi secara proporsional sehingga bisa menggunakan “pisau demokrasi” secara tepat.

Ini artinya masih diperlukan kesabaran ekstra dari seluruh pemangku kepentingan (stake holder) di negeri ini untuk mendidik dan melatih semua warga bangsa menggunakan akal, nurani dan emosi secara tepat dan proporsional. Karena hanya dengan inilah demokrasi bisa diterapkan sebagai alat mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.

Melalui akal dan nurani demokrasi juga bisa menjadi alat mengamalkan ajaran agama yang suci dan mulia dalam kehidupan sehingga agama memiliki manfaat nyata di dunia. Demikian sebenarnya tidak ada pertentangan antara agama dan demokrasi selagi dia dijadikan saran (wasilah) dan metode (manhaj) dalam melaksanakan dan mengaktualisasikan ajaran agama.

Hanya dengan perjuangan membangun kebudayaan demokrasi melalui pendidikan pendidikan politik sehat dan pemahaman keagamaan yang substantif-transformatif demokrasi bisa dijalankan dengan baik. Dengan cara ini demokrasi pasar malam yang gaduh dan riuh bisa diakhiri.***