Barang kali orang film adalah komunitas yang paling toleran dan pluralistik. Di sana ada banci, gay, Islam cekek, atheis – dalam arti benar benar tidak percaya Tuhan, Tattoo lovers, jawa, ambon, punk metal, Hindu, Buddha, Islam NU, Kristen, pasangan kumpul kebo sampai penganut kejawen. Kami bekerja secara team work dan tidak melihat perbedaan sebagai halangan untuk menciptakan sebuah karya. Saya sendiri tidak terganggu jika ada crew ijin melakukan sholat, sebagaimana saya juga tidak risih melihat asisten saya yang memakai hipster yang udelnya kemana mana.
Sahabat saya Dian Bachtiar adalah contoh yang sempurna. Kini dia telah berpulang ke Sang Khalik. Semoga khusnul khatimah dan diterima Allah swt sesuai amal ibadahnya. Namun ingatan tentang Dian selalu memberikan kenangan yang sejuk.
Ia sutradara jebolan Institut Kesenian Jakarta yang telah mengalami kisah perjalanan hidup yang beraneka ragam. Istri pertamanya – seorang bule – ketika ia masih rajin mengunjungi pub dan bar. Ia bercerai dan mengawini istri keduanya – seorang model – yang wajahnya mirip Maudy Koesnaedy, sehingga sering dipakai sebagai stunt model pengganti adegan yang melibatkan Maudy.
Saat itu Dian sudah mulai dekat dengan agama dan naik haji. Namun sayang perkawinannya tetap kandas. Terakhir ia menikahi asisstan saya yang kemudian tidak lagi memakai tank top. Dia mengenakan busana muslim. Saya senang melihat mereka bahagia.
Saat itu Dian sehari hari sudah memakai baju gamis, berkopiah dan memelihara janggut. Tutur katanya lembut dan tak lupa mengucapkan ‘Alhamdulilah‘ setiap kali selesai pengambilan gambar syuting.
Ia juga tak pernah mau bersalaman atau bersentuhan dengan perempuan lain. Selalu mengatupkan kedua tangannya. Santun dan bijak. Ia juga menolak menerima order pembuatan iklan yang menggunakan pemain pemain aduhai dan berbaju seronok. Sementara sutradara lain – mungkin saya juga – bisa ngiler seperti anakonda minta kawin, jika mempunyai pemain yang semok dan mulus untuk iklan kondom.
Jadilah Dian menjadi sosok unik dalam komunitas film kami. Dia menjalani kehidupan sebagai muslim yang sholeh dengan segala prinsip prinsip yang diyakini, dalam lingkungan film yang liberal dan berbagai macam variabel penghuninya. Ia tak berbicara azab pada art directornya yang gay, dan sekalipun tidak pernah menyindir saya yang sholatnya tambal sulam. Hanya sesekali ia menulis kegundahannya dalam posting group terhadap teman teman sutradara yang ikut ikutan latah membuat film hantu. Tapi selanjutnya ia tak memaksa.
Mungkin ini yang dinamakan Islam yang sejuk. Ketika agama tidak menjadi sebuah momok, dengan pecut neraka di tangan kanannya dan api di tangan kirinya. Sahabat saya itu tidak pernah ‘memukuli‘ dan ‘berkoar koar‘ mengenai satu-satunya jalan kebenaran. Jangan salah, justru syiarnya yang lembut membuat teman teman crew-nya mulai ikut sholat jamaah.
Pemikir Islam yang mati muda, Ahmad Wahib pernah mengatakan, “Aku bukan nasionalis, bukan kristen, bukan humanis, bukan westernis, bukan budda, bukan komunis, bukan tradisionalis, bukan semuanya. Mudah mudahan semua ini yang disebut Islam.”
Saya sepakat dengannya bahwa Islam adalah jawaban semuanya. Jika itu sudah menjawab atas segala pertanyaan alam semesta. Mengapa kita harus memaksakan kebenaran Islam dengan fentungan menurut versi kita. Islam di dunia saya – film – tetap Islam dengan huruf I besar yang memberikan rahmat kepada penghuninya. Dengan caranya sendiri yang menyejukan
Suatu malam, saya bertemu Dian di tempat editing. Hari telah larut malam dan hujan deras di luar sana. Saat itu kami baru selesai mengedit. Sambil duduk di ruang makan menunggu hujan reda, kami berbicara intens mengenai dunia pekerjaan, dengan sesekali melihat berita TV tentang kekerasan sebuah organisasi massa di Monas.
Ratusan Massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) yang di dalamnya terdapat ibu-ibu, pemuda, orang tua dan beberapa anak kecil tiba tiba diserang oleh ratusan massa berseragam putih-putih dengan berteriak ‘Allahu Akbar’ membabi-buta mengayunkan bambu ke siapa pun yang merupakan bagian barisan dari AKKBB.
Anak-anak kecil menjerit histeris, Ibu-ibu menangis. Setiap laki-laki diburu dan kalau tertangkap: dipukul tanpa ampun dengan bambu dan kepalan tangan. Dalam sekejab barisan AKKBB bubar dalam dalam ketakutan.
Ketika hujan reda ia mohon diri dan bertanya dengan santun.
“Jadi kapan menunaikan panggilan Allah?“
Saya tahu yang dia maksud kapan saya menunaikan ibadah haji. Tentu saja pertanyaan sulit sulit gampang sekaligus membuat saya tertegun. Ketika ia hilang dari pandangan mata, saya merasa sepi. Sendirian menjelang pagi dengan segelas teh jahe.
Tiba tiba saja saya tergerak mengambil air wudhu dan melakukan sholat tahajud.
Ah, Tuhan memang memiliki cara untuk menyentuh kita. Memang selalu ada cara yang sejuk dan lembut.
*) Iman Brotoseno, sutradara film 3 Srikandi