Apa yang mestinya dilakukan media di tengah peristiwa amok dan rusuh? Jawabannya tentu memberikan informasi sejelas-jelasnya dan seterang-terangnya tentang apa yang terjadi. Tidak menjadi lembaga yang menghadirkan berita-berita provokatif, desas-desus dan adu domba, yang justru menambah keruh suasana. Kalaupun ia mau memihak, ia tentu bakal memihak kebenaran dan kemanusiaan. Lalu, bagaimana dengan media berlabelkan ‘Islam’ mengisahkan kerusuhan itu?
Sebelum kita analisis lebih jauh, harus diakui, sejumlah media arus utama telah melakukan tugasnya dengan baik selama meliput peristiwa 22 Mei di Jakarta. Beberapa menampilkan sisi human interest sebagai penyeimbang dari berita kerusuhan yang cenderung panas dan kasar. Di antara berita human interest itu saya dapat di Kompas: seorang ibu memberi takjil kepada para polisi yang bertugas.
Saya kira, media massa kita perlu lebih banyak menampilkan hal-hal serupa itu. Lebih banyak menyajikan feature dan cerita yang menampilkan sisi lain dari peristiwa barbar itu. Kita misalnya amat tersentuh dengan foto seorang polisi yang sedang beristirahat sambil videocall dengan anaknya yang masih kecil. Foto itu viral dan jadi oase di tengah panas situasi ibukota.
Lagipula, sejumlah kalangan mengimbau untuk tidak menyebar foto dan video yang menunjukkan kengerian amok massa. Sebab jika yang serupa itu tersebar secara massif, akan menimbulkan keresahan dan katakutan di masyarakat. Itulah yang diinginkan para perusuh itu. Mereka menginginkan situasi yang tidak stabil dengan harapan memuluskan agenda-agenda mereka berikutnya.
Tugas media berikutknya, selain memberikan informasi yang terang benderang (agar tak ada hoaks di antara kita) adalah menyuarakan persatuan. Media arus utama tentu memahami posisi dan tugas mereka, tapi tidak dengan media partisan. Mereka akan terus berkoar-koar seenak udel mereka sendiri.
Amati saja apa yang disajikan portal-islam.id (kita mungkin akan geleng-geleng mengingat mereka bawa-bawa Islam tapi tak jelas Islam yang mana). Di sana dapat kita temukan tulisan berjudul “Sandiaga Uno: Perjuangan Belum Berakhir”. Ini tentu rawan disalahpahami. Perjuangan apa yang dimaksud? Berlaku onar dan merusak fasilitas umum adalah perjuangan? Melempari polisi adalah perjuangan? Pernyataan serupa itu bisa-bisa menambah semangat para perusuh yang menganggap kerusuhan sama dengan jihad/perjuangan suci (membela Islam).
Ada pula berita bertajuk “Viral Pemuda yang Tertangkap Digebuki Aparat, Warganet Tak Tega Melihatnya”. Siapapun akan bertanya: apa urgensinya menurunkan tulisan seperti itu di tengah situasi yang tak kondusif? Apakah mereka sedang menjalankan jurnalisme advokasi? Saya kira tidak. Jurnalisme advokasi tak senaif itu. Jejak rekam portal-islam.id menunjukkan kualitas tulisan mereka.
Belum lagi tentang glorifikasi jihad yang mereka gaungkan seperti dalam tulisan ‘Bocah Syuhada’ dan dikaitkan dengan ‘Aljazeera’ seperti tangkapan layar di bawah ini. Kita bisa mengajukan pertanyaan sederhana, apa hubungannya syuhada dengan politik belakangan ini? Apa tidak lucu-lucuan, sedangkan kita tahu bahwa yang ‘dilawan’ juga sesama muslim dan tentu saja sama seperti mereka.
Tapi, yang lebih buruk, kalau dibaca lebih lanjut, situs ini cuma mengambil cuplikan saja dari aljazeera dan tanpa dijelaskan. Belum lagi, sebagai sebuah berita, tidak ada data pembanding (cover both sides) biar berita itu kokoh dan semacamnya dalam tulisan tersebut, bahkan hanya cenderung menukil ucapan orang di media sosial belaka.
Selain itu, di Portal-islam.id juga tidak ada nama penulis sebagai pertanggung jawaban. Belum lagi, dalam situs itu juga tidak ada nama redaksi yang menunjukkan kredibilitas sebagai media yang layak dijadikan rujukan. Lalu, untuk apa nama ‘Islam’ yang mereka sematkan di situs ini?
Tak berbeda dengan portal-islam.id, kita juga dapat memukan berita provokatif tendensius di eramuslim. Simak misalnya judul tulisan yang mereka sajikan ini: “Sosmed Diblokir, Diplomat Senior: Sensor Gaya Komunis RRT Diterapkan demi Kekuasaan”. Lagi-lagi label komunis yang disematkan, sebuah gaya lama yang mudah kita duga. Apa yang diharapkan dengan menurukan tulisan penuh prasangka dan tuduhan seperti itu?
Media harusnya bisa mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat. Dengan pemberitaan yang tidak tendensius dan berat sebelah. Tidak menjadi bahan bakar adudomba. Apa yang portal-islam.id dan eramuslim.com pertontonkan adalah kabar buruk bagi perkembangan “media Islam” di Indonesia. Ia tak berupaya menunjukkan wajah Islam moderat yang rahmatan lil alamin.
Sering saya bertanya, sama-sama media dengan pembaca muslim, mengapa mereka tak berupaya mencontoh Republika? Media yang mampu bertahan selama bertahun-tahun, menghadirkan berita yang elegan dan berkualitas. Menunjukkan betapa umat Islam Indonesia adalah umat yang cinta damai dan berpikiran maju.
Sayang sekali portal-islam.id dan eramuslim.com gagal menjalankan perannya sebagai media yang baik di tengah suasana panas seperti ini. Tidak perlu Kemenkominfo memblokir media-media serupa itu, karena blokir bukan solusi yang efisien. Semoga media macam portal-islam.id dan eramslim.com mau berbenah dan mengevaluasi diri. Mau menjadi media yang menjauhi prasangka, menjadi media yang memuluskan langkah rekonsiliasi pasca pilpres yang memecah. Semoga.