Sebelum agak tenggelam efek Asian Games, kita sempat dibisingkan oleh narasi “santri post-Islamisme” yang dialamatkan kepada salah seorang calon kontestan dalam pertarungan Pilpres, yaitu Sandiaga Uno. Klaim bahwa bang Sandi, panggilan akrab Sandiaga Uno, sebagai seorang santri dikeluarkan oleh Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yaitu Sohibul Iman.
Narasi “Santri” yang diklaim oleh Sohibul Iman kepada bang Sandi, menarik jika kita lihat bagaimana framing apa yang diinginkan oleh Sohibul Iman saat menyematkan gelar “Santri” pada bang Sandi. Sebab, kata-kata dari seorang politisi bisa memberikan makna yang ganda pada saat diucapkan. Oleh sebab itu, penting kiranya untuk melihat narasi “Santri” untuk diteroka melalui analisis framing juga analisis semiotika yang akan membongkar, mengapa narasi ini dimunculkan dan apa keuntungan yang ingin diraih saat narasi ini dikonsumsi oleh publik.
Berbagai esai di berbagai laman di dunia maya ramai membicarakannya. Namun, kebanyakan dari tulisan-tulisan dari berbagai pihak itu kebanyakan fokus pada narasi “post-Islamisme” saja. Sedangkan saya akan memfokuskan pada narasi “Santri” yang disematkan pada Sandiaga Uno yang notebene tidak pernah mengenyam dunia pendidikan pesantren, sebagai bagian penegasan diri sebagai seorang santri.
Adapun alasan saya memfokuskan perhatian pada narasi “Santri” sebab narasi ini dihadirkan dalam konferensi pers salah satu pasangan calon adalah untuk mengklaim bang Sandi adalah sosok yang dekat dengan Islam juga dekat dengan kalangan yang saat ini dengan istilah santri, yaitu kaum Nahdhiyyin. Mengapa kaum Nahdhiyyin di sini menjadi seksi dalam komoditas politik Pilpres 2019?
Ada banyak jawaban tentus aja, selain klaim sebagai organisasi masyarakat yang anggotanya terbesar, jelas ini adalah modal politik jika ingin terpilih di posisi politik, klaim santri ini juga sebagai bagian dari penyeimbang dari pilihan kubu Jokowi yang sudah menempatkan seorang Kyai bernama KH. Ma’ruf Amin.
Jadi politik santri-kyai sebagai simbol keislaman yang menjadi komoditas yang besar untuk merebut suara. Memang kedua kubu mengklaim tidak akan menggunakan isu agama dalam Pilpres tahun depan, namun dalam kebisingan media sosial malah membuktikan klaim tersebut hanya isapan jempol belaka.
Untuk meneroka persoalan narasi “santri” ini, mari kita kembali melihat apa yang terjadi pada Kamis malam, tanggal 9 Agustus 2018, merupakan salah satu hari tersibuk bagi kalangan yang ingin berkompetisi dalam arena politik PILPRES 2019. Sebab, di hari Kamis itulah pengumuman pasangan di semua kubu kontestan. Kubu petahana yaitu pak Joko Widodo lebih dahulu mengumumkan Kyai Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden (cawapres) yang akan mendampinginya dalam persaingan Pilpres tahun depan. Namun, di kubu Prabowo Subianto harus melalui jalan yang berkelok-kelok untuk menentukan calon wakil presiden yang akan menemani Prabowo menuju kursi RI 1 & 2. Pada saat diumumkan, nama Prabowo Subianto akhirnya memilih berpasangan dengan Sandiaga Salahudin Uno, yang saat itu menjabat sebagai wakil Gubernur DKI Jakarta.
Kala Presiden PKS, Sohibul Iman, memberikan pidato saat pengumuman Prabowo dan Sandiaga Uno. Sohibul Iman menegaskan bahwa Sandiaga Uno adalah “Santri Post-Islamisme”. Kejadian ini tentu banyak menarik perhatian bagi banyak kalangan, terutama kalangan NU. Sebab, santri memang tidak bisa diidentikkan dengan NU namun kata santri yang disampaikan oleh Presiden PKS jelas memiliki framing untuk menonjolkan kedekatan sosok Sandiaga dengan kultur NU. Sebab dalam kondisi di mana isu agama yang masih seksi dalam komoditas politik, narasi ini perlu dibangun untuk menjaga pemilih dari kalangan Islam, khususnya mereka yang akrab dengan kultur NU.
Framing isu Kyai-Santri memang tidak bisa dibantah adalah bagian dari strategi politik untuk pemenangan Pilpres 2019. Saat Jokowi mengumumkan Ma’ruf Amin sebagai cawapres, maka diperlukan isu penyeimbangnya untuk bisa menjaga suara kalangan Islam tetap terjaga di kubu Prabowo. Oleh sebab itu, narasi santri kemudian dilapalkan oleh pimpinan tertinggi dari partai yang notebene partai Islam. Framing seperti ini memang diperlukan untuk membentuk dan mengkonstruksi sebuah realitas. Dalam proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah salah satu bagian tertentu dari realitas tersebut lebih menonjol dan kemudian menjadi lebih mudah diingat.
Akibatnya, khalayak akan lebih mudah mengingat aspek tertentu yang disajikan secara menonjol tersebut. Aspek-aspek yang tidak disajikan secara menonjol, menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak. Misalnya kasus kardus yang menguap akibat munculnya narasi “santri” ini dibangun.
Penggiringan pandangan masyarakat akan sosok yang dipilih oleh Prabowo sebagai pendampingnya, merupakan permainan ikon yang diciptakan oleh para politisi untuk meraup suara dalam persaingan di Pilpres nanti. Gambaran ikon Sandi yang “santri” ini kemudian disokong dengan beberapa peristiwa yang dramatik yang ditampikan saat pengumuman tersebut yaitu saat bang Sandi menutup pidato sambutan saat pengumuman capres-cawapres kubu Prabowo dengan kalimat yang akrab di kalangan NU atau lebih khusus PMII yaitu Wallahu Muwafiq ila Aqwami Thariq. Saat narasi “santri” ini diperkuat dengan tanda ucapan tersebut, maka kalangan NU diharapkan mengidentifikasi Sandiaga Uno sebagai seorang santri, walau tidak pernah mengenyam pendidikan di dunia pesantren.
Politik narasi “santri” ini jelas membantah klaim bahwa hanya kubu Jokowi yang memanfaatkan isu agama untuk meraih suara dan menyelamatkan Jokowi dari isu SARA yang selama ini diarahkan kepadanya.
Oleh sebab itu, dengan munculnya narasi “santri” membuktikan bahwa kubu Prabowo juga memanfaatkan isu agama untuk merawat para pendukungnya terutama dari kalangan muslim. Saat isu agama masuk dalam perpolitikan sebenarnya bukanlah sesuatu yang buruk, namun akan sangat disayangkan apabila pilihan politik yang dimiliki oleh setiap warga negara, akan jatuh kepada bukan calon terbaik saat pilihan warga lebih dipengaruhi alasan primordial seperti agama saja.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin