FPI dan Problematika Keormasan di Indonesia

FPI dan Problematika Keormasan di Indonesia

Perlukah ijin FPI diperpanjang?

FPI dan Problematika Keormasan di Indonesia

Dilema pembubaran Front Pemblea Islam (FPI) mulai diperbincang di publik. Pro-kontra perpanjangan FPI pun mulai diperdebatkan. Perhitungannya adalah sejauh mana peran serta kontribusi FPI dalam mewujudkan cita-cita Indonesia. Apabila gerakannya selama ini memang memiliki dampak positif, maka FPI akan tetap diperpanjang, dan begitu sebaliknya.

FPI merupakan salah satu ormas Islam yang lahir pada saat reformasi bergulir. Sebagai organisasi kemasyarakatan, peran serta fungsi dari FPI seharusnya sejalan dengan cita-cita negara Indonesia. mendukung proses demokratisasi, terwujudnya keadilan ekonomi, menjaga pluralitas negara, dan tujuan negara lainnya, semua ini merupakan landasan dasar untuk bisa berkontribusi ke negara.

Organisasi Islam besar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, telah menunjukkan peran serta kontribusinya dalam mempertahankan ideologi bangsa. Meskipun pada era Orde Baru kedua ormas ini pernah dibuat bingung oleh penetapan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi, namun kedua organisasi tersebut telah bisa menerima Pancasila sebagai asas dasar organisasi.

K.H. Achmad Shiddiq, sebagai Rais Aam 1987, telah memberikan garis jelas perbedaan antara agama dan negara. Persoalan keimanan, tetap, Islam merupakan agama yang tidak bisa digantikan oleh apapun. Akan tetapi berbeda dengan negara, negara memiliki hak untuk memberikan aturan untuk kemaslahatan bersama.

Gebrakan K.H Achmad Shiddiq, juga ditemani oleh Gus Dur, membuat NU berada dalam jalur yang benar, yaitu mendukung cita-cita demokratisasi di Indonesia dan menjaga persatuan bangsa. Ini merupakan sebuah langkah strategis sebuah ormas untuk mendukung serta berperan ikut serta dalam membangun bangsa.

Kita tahu bahwa untuk membangun negara besar seperti Indonesia tidak bisa hanya menaruh harapan kepada aparatur negara. Perlu ada keterlibatan pihak swasta untuk turut serta dalam membangun bangsa Indonesia. Misalnya dalam bidang ekonomi, negara bekerja sama dengan pihak swasta untuk membangun lapangan pekerjaan; dalam bidang sosial-politik, negara memberi hak kebebasan bagi kelompok masyarakat untuk bisa berperan serta dalam membangun kesadaran demokratisasi dan mempertahankan pluralitas bangsa.

Namun, wajah moderatisme Islam NU dan Muhammadiyah terciderai dengan bangkitnya gerakan Islam di era reformasi. Kemunculan ormas baru seperti FPI justru tidak mendukung cita-cita negara Indonesia. Hingga hari ini, FPI tidak menunjukkan gerakan positif untuk mendukung cita-cita bangsa. Meskipun pada saat awal-awal terbentuknya FPI digunakan oleh aparat negara untuk menghadang para demonstran pada 1998, namun eksistensi FPI hari ini justru digunakan untuk menyuarakan kepentingan syariatisasi Indonesia.

Perlu diketahui bahwa FPI merupakan representasi dari isu islamisme yang sedang terjadi di dunia Islam. Representasi ini dibuktikan dengan ideologi dan cita-citanya dengan menerapkan sistem syariah di Indonesia. Habib Rizieq, selaku Ketum FPI, jelas-jelas menolak demokrasi karena datang dari Barat. Bahkan Habib mengatakan kalau demokrasi bahannya dari babi.

Dalam sistem syariah FPI tidak ada yang namanya pemimpin perempuan dan non-muslim. Pemimpin itu harus dari umat Islam yang memiliki kualifikasi ahli agama. Ini merupakan wajah kontradiksi dari FPI, di satu sisi FPI mengakui heterogenitas bangsa, namun FPI tidak mau menghendaki pemimpin non-muslim. Tentu ini sulit untuk diterapkan dalam skala nasional. Apabila melihat dari data statistik kependudukan, tercatat bahwa umat Islam hanya mendominasi di Jawa dan beberapa provinsi lainnya, maka sistem tersebut akan sulit diterima di provinsi dan daerah lainnya.

Di samping itu juga, interpretasi makna jihad telah menimbulkan banyak kerugian dan mengganggu stabilitas sosial masyarakat. Jihad dimaknai sebagai perlawanan terhadap hal-hal yang bersifat munkar dengan mengabaikan hukum negara. Negara yang sudah memiliki pihak berwajib untuk menertibkan masyarakat diacuhkan begitu saja. Singkatnya, dalam hal ini, FPI tidak mengakui eksistensi dan otoritas kepolisian sebagai penegak hukum di Indonesia.

Dengan demikian, sebagai ormas FPI tidak menunjukkan kontribusi yang positif bagi Indonesia. FPI justru mengganggu stabilitas sosial, politik, dan keagamaan di Indonesia. Wallahhu a’lam.

M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.