Bagaimana kita bisa melihat dengan jernih foto kepengurusan Lembaga Dakwah BEM UNJ atau UGM yang diblur dan diganti kartun itu? Sementara foto pengurus laki-laki justru utuh dengan pose yang penuh gaya, dibuat sebagus mungkin dan tanpa cela.
Memang, jika sekilas saja kita melihatnya tampak tidak ada yang salah. Tetapi ketika yang ditampilkan adalah entitas lelaki dan perempuan, pertanyaan akan muncul, mengapa harus dibedakan? Mengapa hanya tubuh perempuan yang “disembunyikan”?
Bagi saya, cara-cara itu justru mendiskreditkan kemanusiaan perempuan. Pun jika itu atas permintaan dari perempuannya sendiri, bisa jadi ada rasa takut terselubung yang tersembunyi dalam benaknya, dan sulit diungkapkan. Apakah kita tambah syar’i? Belum tentu.
https://twitter.com/novalauliady/status/1227091720300462081?s=08
Saya agaknya sepakat dengan apa yang dikatakan Kalis Mardiasih, dalam postingannya Instagram. Penyensoran diri ini sebagai pilihan personal berbeda dengan penyensoran diri yang dilembagakan dan ditradisikan. Kalis bahkan menegaskan, agar memperjelas sensor yang dilembagakan dan ditradisikan oleh power wacana pengetahuan laki-laki.
Wacana ini juga terkait dengan pandangan bahwa laki-laki lebih superior dan unggul daripada perempuan. Karena itu, perempuan dan laki-laki dianggap tidak setara sama sekali. Sebab laki-laki diyakini lebih baik dalam segala hal, secara akal, fisik, dan bahkan juga psikis.
https://www.instagram.com/p/B8aHVmmAhXz/
Sementara pendapat lain, para Ulama Kontemporer, seperti Muhammad al-Ghazali, Abu Syuqqah dan AlQardhawi, sebagaimana dilansir dari Buku Qira’ah Mubadalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, mensinyalir bahwa fatwa-fatwa yang mengekang perempuan lebih banyak didasarkan pada cara berpikir sadd al-dzari’ah (menutup jalan), yang seringkali berlebihan.
Cara berpikir itu yakni pengambilan pandangan dan hukum Islam dengan melihat akibat buruk yang ditimbulkan oleh keberadaan perempuan di ranah sosial, sehingga harus dicegah, ditutup atau dilarang. Hal itu dilakukan untuk menutup atau setidaknya mengurangi dampak buruk bagi perempuan.
Maraknya kasus pelecehan seksual, kehamilan tidak diinginkan, kekerasan dan perkosaan terhadap perempuan itu terjadi karena kehadiran tubuh perempuan di tempat-tempat yang dianggap tidak semestinya. Seperti di sekolah, kampus, jalanan umum, transportasi publik, dan gedung pemerintahan atau perkantoran, bahkan juga masjid.
Tempat-tempat tersebut, dianggap oleh cara pandang sadd ad-dzari’ah sebagai tempat yang tidak layak bagi perempuan, sebab seringkali keberadaan mereka bisa mengundang niat jahat seseorang kepada mereka sendiri. Jika logika ini terus dikembangkan, dan tanpa kontrol, maka perempuan akan terus menerus menjadi sasaran segala bentuk pengekangan dan pelarangan.
Kondisi yang kerap terjadi terhadap tubuh perempuan, eksistensi dan aktualisasinya di ruang publik mendorong kesadaran kita bahwa ada banyak orang yang sering mengkhususkan hal-hal tertentu hanya untuk laki-laki saja. Seperti pendidikan, politik, kesehatan, ekonomi, masjid dan kiprah sosial lainnya juga untuk laki-laki.
Padahal sebagai manusia yang utuh, perempuan juga membutuhkan hal yang sama. Dalam perspektif mubadalah, menurut Dr. Faqih, relasi antara lelaki dan perempuan adalah kerjasama dan kesalingan, bukan hegemoni dan diskriminasi yang pada akhirnya akan berujung pada kekerasan, dan mendiskreditkan kemanusiaan perempuan.
Maka dengan kesadaran tersebut, baik laki-laki maupun perempuan, bagaimana menghilangkan cara pandang sadd al-dzari’ah tersebut dengan komitmen untuk saling bekerjasama dalam kerangka kebaikan.
Jika masih saja terjadi, mungkin sumber referensi bacaan Anda sudah saatnya harus diganti. Dan, kita sekali lagi justru malah mundur ke belakang, apalagi jika urusan relasi laki-laki dan perempuan.
*Kamu bisa baca tulisan-tulisan Zahra Amin di sini atau di Mubaadalahnews.com