Berbagai kisah inspiratif para sahabat Nabi bercerita tentang perjuangan menegakkan ajaran Islam tercatat dengan baik di literatur sejarah. Sebagai generasi awal, perjuangan mereka tentu lebih berat bila dibanding generasi setelahnya. Mereka rela mengorbankan harta, keluarga, bahkan nyawa untuk mendampingi Nabi selama berdakwah.
Selama Nabi hidup, kehidupan sahabat relatif kondusif, tenang, dan harmonis karena adanya Nabi sebagai sosok utama yang membimbing. Namun sepeninggal Nabi, berbagai kebrutalan terjadi di tubuh umat Islam saat itu. Kematian ketiga Khulafaur Rasyidun terakhir di tangan Muslim, perseteruan yang berimbas pada pembunuhan di kalangan para sahabat, hingga peperangan yang terjadi antara menantu dengan istri Nabi.
Sejarah Islam tak hanya merekam sisi gemilang di masa silam, namun ia juga memiliki bagian gelap yang menyertainya. Peristiwa kelam di atas dikenal sebagai Al-Fitnah Al-Kubro, fitnah besar yang menjadi biang kekacauan dalam tubuh umat Islam.
Mulanya, badai fitnah mengguncang hebat di masa pemerintahan Khalifah Utsman ibn Affan. Pada masa itu, muncul kelompok oposisi yang menolak beberapa kebijakan politik yang dilakukan Khalifah Utsman. Ia dianggap melakukan nepotisme berlebihan yang seringkali menguntungkan kerabat dekatnya, sampai memberi berbagai jabatan strategis untuk menjalankan roda pemerintahan. Hingga pada akhirnya gerakan oposisi ini berujung pada kematian Khalifah Utsman.
Setelah wafatnya Khalifah Utsman, Ali ibn Abi Thalib ditunjuk untuk melanjutkan tampuk kepemimpinan. Namun pengangkatan Ali tidak serta merta diterima oleh semua kalangan, pihak yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan merasa keberatan dengan keputusan tersebut. Ia menganggap dirinya lebih berhak daripada Ali untuk menjadi khalifah menggantikan Utsman.
Dari perseteruan tersebut berimbas pada peperangan antara pihak Ali dan Muawiyah, yang nantinya pada perang ini memantik munculnya kelompok besar dalam umat Islam. Orang-orang yang keluar dari barisan ali yang disebut kelompok Khawarij, dan golongan Syi’ah yang menjadi pengikut setia Ali.
Sementara itu, kelompok lain dari para sahabat yang dipimpin oleh Ummul Mu’minin Aisyah, menuntut Khalifah Ali agar segera menyelesaikan kasus pembunuhan Utsman. Mereka memprotes Ali yang tidak memberi Qisos terhadap pembunuh Utsman. Khalifah Ali bersikeras menjelaskan kepada mereka, bahwa ia tidak ada hubungan dengan tragedi terbunuhnya Utsman. Ia juga berusaha membujuk Aisyah untuk memberi dukungan penuh kepadanya sebagai satu-satunya pemimpin, agar tercipta keadaan yang kondusif kembali. Setelah adanya penjelasan, akhirnya kesalahpamahan itu berakhir.
Kesepakatan damai tersebut rupanya tidak berlangsung lama. Para pengacau mulai tumbuh dari kedua belah pihak yang menyebarkan hasutan untuk tidak menerima kesepakatan yang dicapai antara Khalifah Ali dan Aisyah. Mereka saling meyakini bahwa keputusan tersebut tidak menguntungkan bagi kelompoknya. Mereka berhasil menyebarkan propaganda sehingga peperangan pun tak bisa terhindarkan. Perang ini dikenal dengan perang Jamal. Dinamakan demikian karena Aisyah memimpin pasukan mengendarai unta.
Dalam perang ini, kemenangan berada di pihak Ali. Dengan kisah pilu yang mewarnainya, beberapa sahabat terbunuh dalam perang saudara ini seperti Thalhah dan Zubair. Sebuah kenyataan yang mengiris hati bahwa seorang muslim terbunuh oleh tangan muslim sendiri.
Benang merah dari segala peristiwa kelam itu berawal dari kekejaman ambisi politik yang menggerogoti tubuh umat Islam. Segala cara dan upaya dilakukan, bahkan tanpa segan agama digunakan sebagai alat berkendara untuk mencapai hasrat kekuasaan.
Berbagai peristiwa di atas merupakan kenyataan yang menyertai perjalanan sejarah umat Islam. Dengan hati terbuka, mari kita membaca ulang sebagai bahan pembelajaran agar sejarah yang sama tak terulang di masa mendatang.