Fiqih Muamalah: Mengambil Hasil dari Barang Gadaian

Fiqih Muamalah: Mengambil Hasil dari Barang Gadaian

Fiqih muamalah tentang barang gadai dalam islam

Fiqih Muamalah: Mengambil Hasil dari Barang Gadaian

Manusia dalam masalah rezeki tidak sama. Ada yang kaya, ada yang miskin, dan yang kaya tidak selamanya kaya. Sewaktu-waktu usahanya bisa mengalami kerugian, akhirnya bangkrut, menjadi miskin. Begitu pula sebaliknya, yang semula kurang sukses, suatu ketika berubah menjadi kaya.

Tepat sekali bila orang sering mengumpamakan kehidupan ini laksana roda yang berputar. Lebih dari itu, perubahan pada hakikatnya adalah sifat alam yang mendasar. dan sifat itulah (berubah) yang oleh ulama mutakallimin (teolog muslim) dijadikan bukti bahwa alam semesta ini asalnya tiada kemudian ada.

Oleh karenanya, jarang sekali ditemukan seseorang yang selama hidupnya tidak pernah beruntung. Kenyataan itulah yang mendorong disyariatkannya al-qardh (akad utang-piutang) dalam agama islam. Memberikan pinjaman dilihat dari perspektif keagamaan, maupun secara moral sangat dipuji dan dianjurkan. Karena itu di dalamnya terkandung sikap ta’awun, tolong menolong antar sesama manusia.

Pada posisi lain, kita bisa mengingkari satu kenyataan bahwa tidak semua peminjam mampu membayar utang pada waktunya yang telah disepakati bersaama. Hal itu, tanpa disadari sering mengakibatkan seseorang enggan memberi pinjaman kepada orang lain, terutama para pelaku bisnis yang modalnya selalu berputar.

Dengan demikian, kebutuhan akan adanya gadai yang dikalangan fuqaha dinamakan ar-rahm akan memberikan kepastian terbayarnya hutang pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

Dengan akad tersebut, kedua belah pihak sama-sama diuntungkan, yang memberi pinjaman merasa aman, dan pada gilirannya akan mempermudah pihak-pihak yang membutuhkan memperoleh pinjaman darinya.

Diperbolehkannya akad gadai, telah ditegaskan Allah Swt, dalam al_quran sebagai berikut:

Jika kamu dalam perjalanan–sekaligus melakukan mu’amalah tidak secara kontan–, sedangkan kamu tidak menemukan seorang penulis, maka hendaklah ada barang jaminan yang dipegang (oleh yang berpiutang),” (QS. al-Baqarah: 283).

Selain ayat tersebut, ada sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim tentang diperbolehkannya akad gadai, yang isinya menceritakan bahwa Rasulullah Saw, pernah menyerahkan pakaian besinya kepada seorang Yahudi sebagai jaminan.

Terjadinya akad gadai, tidak bisa dilepaskan dari 4 (empat) unsur yang disebut sebagai rukun-rukun gadai; ar-rahin (pemberi gadai), al-murtahin (penerima gadai), al-marhun (barang gadaian), dan shigat (lafal atau ucapan transaksi gadai).

Mengingat barang gadai berfungsi sebagai jaminan (watsiqah), maka selam akad gadai berlangsung, secara hukum kepemilikannya tetap di tangan ar-rahin, belum berpindah kepada al-murtahin.

Sebagai pemilik yang sah, ar-rahin boleh memenfaatkan barang gadaian, selama tidak mengurani nilai harganya. Jika barang gadaian itu sebuah apartemen, maka ia boleh menempatinya, atau sebuah mobil, dia diperbolehkan menaikinya untuk berbagai kepantingan.

Adapun bentuk pemanfaatan yang mengakibatkan turunnya harga atau menghilangkan kepemilikian, maka hukumnya dilarang. hal itu untuk melindungi kepentingan al-murtahin. Tapi, jika al-murtahin memperbolehkan ar-rahin memanfaatkan al-marhun- meski berakibat hilangnya kepemilikan darinya atau sekedar mengurangi harganya– maka sah-sah saja dilakukan.

dan perlu diingat, al-murtahin bisa mencabut kembali izin yang telah diberikan sebelum ar-rahin terlanjur melakukan tindakan atas izin tersebut. Lalu bagai mana hukumnya, jika penerima gadai memanfaatkan barang-barang tersebut?

Perlu ditegaskan terlebih dahulu, posisi al-murtahin dalam akad ar-rahn semata-mata sebagai pemberi pinjaman (kreditor), bukan pemilik barang gadaian. Keuntungan yang diperolehnya dari akad gadai, hanyalah adanya kepastian pelunasan utang tepat pada waktunya, dengan jalan menjual barang gadaian.

Dengan demikian, al-murtahin sama sekali tidka diperkenankan memanfaatkan barang gadaian, kecuali atas seizin ar-rahin sebagai pemilik yang sah.

Kalau hak memanfaatkan barang gadaian itu diisyaratkan ketika akad ar-rahn berlangsung, akibatnya bisa fatal, yakni tidak sahnya akad. Demikian keterangan dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, dan lain-lain.

Kebiasaan yang berlaku di masyarakat, ketika seseorang yang menerima barang gadaian secara otomatis berhak memanfaatkan atau mengambil hasilnya. Padahal hal ini mestinya tidak terjadi. Artinya, kalau ar-rahin mengizinkan, maka pemanfaatan tersebut tidak dipermasalahkan. Sebaliknya, jika tidak maka al-murtahin tidak berhak memanfaatkan atau mengambil hasilnya.

Semua itu bertujuan untuk melindungi ar-rahin dari segala penindasan dan pemerasan. Islam menginginkan arag al-murtahin ketika memberikan pinjaman kepada ar-rahin betul-betul didorong oleh motivasi yang luhur, yakni menolong orang dalam kesulitan, tanpa mengharapkan pamrih apapun darinya selain ridha Allah Swt.

Dalam hadits, Rasulullah Saw, pernah bersabda:

Setiap utang piutang yang menarik manfaat pada si pemberi pinjaman (kreditor) adalah riba.”

Berdasarkan hadits tersebut, jelas tidak dibenarkan si pembeir pinjaman memperoleh keuntungan berupa harta benda atas jasa semata-mata karena memberi pinjaman tanpa seizin dan ridha dari si peminjam.