
Berangkat dari kebutuhan untuk mengatur kehidupan keluarga secara syar‘i, Fiqh al-Usrah atau fiqh keluarga menyajikan kerangka hukum Islam yang komprehensif dalam mengatur dinamika kehidupan keluarga—mulai dari pernikahan, relasi suami istri, hingga perceraian. Itu berarti, buku ini tidak hanya memaparkan aturan-aturan hukum secara normatif, tetapi juga menawarkan pembacaan yang humanis melalui perspektif rahmah (kasih sayang), akhlaqul karimah (akhlak mulia), dan maqaṣid al-syari‘ah (tujuan-tujuan luhur syariat).
Secara khas, penulis mengedepankan pendekatan kesalingan, yakni relasi yang dibangun atas dasar saling menghormati, saling mendukung, dan saling bertanggung jawab dalam ruang domestik. Relasi suami-istri tidak diposisikan secara hierarkis yang timpang, melainkan sebagai kemitraan yang setara dalam nilai dan kontribusi. Dengan pendekatan ini, buku ini memberikan kontribusi signifikan dalam pengembangan wacana fiqh keluarga yang lebih adil, kontekstual, dan berorientasi pada kesejahteraan bersama.
Isi buku ini terbagi menjadi beberapa bab, antara lain bab awal yang membahas pendahuluan, bab kedua tentang Sumber-Sumber Akhlak Mulia dalam Hukum Keluarga, serta bab ketiga mengenai Akhlak Relasi Laki-Laki dan Perempuan. Bab-bab berikutnya juga menyajikan pembahasan yang tidak kalah menarik.
Namun, paling menarik perhatian saya terdapat pada bab ketiga, yang membahas pondasi akhlak pergaulan dalam hubungan suami istri. Dalam sub bab ini, penulis menjelaskan relasi antara laki-laki dan perempuan dengan membagi ke dalam dua bentuk: pertama, interaksi sosial di luar konteks pernikahan; dan kedua, relasi sebagai pasangan suami istri. Relasi kedua ini dijelaskan lebih mendalam karena melibatkan aspek emosional dan biologis yang khas dalam ikatan rumah tangga.
Satu bagian paling menarik dalam sub bab ini adalah pemaparan tentang lima pilar akhlak mulia dalam membangun rumah tangga, sebagaimana dikenalkan oleh Kementerian Agama Republik Indonesia. Pilar-pilar tersebut meliputi: pertama, komitmen terhadap ikatan janji yang kokoh sebagai amanah dari Allah SWT (mitsaqan ghalizan); kedua, prinsip berpasangan dan saling melengkapi (zawaj); ketiga, perilaku saling memberi kenyamanan (taradhin); keempat, perlakuan yang baik dalam kehidupan bersama (mu‘asyarah ma‘ruf); dan kelima, kebiasaan bermusyawarah atau saling bermufakat (musyawarah). (hal.60)
Penulis menyampaikan bahwa apabila kelima pilar ini dapat diterapkan secara konsisten dalam kehidupan rumah tangga, maka cita-cita membentuk keluarga yang sakînah, mawaddah, dan rahmah bukan hanya menjadi ideal, tetapi juga sesuatu yang dapat dirasakan dan dinikmati secara nyata oleh pasangan suami istri.
Dalam konstruksi hukum Islam klasik (fikih), perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi yang kurang setara dibandingkan laki-laki, terutama dalam konteks relasi rumah tangga. Padahal, dalam konteks kehidupan rumah tangga yang ideal, baik suami maupun istri seharusnya tidak bersikap otoriter atau memaksakan kehendaknya sendiri tanpa mempertimbangkan pandangan dan perasaan pasangannya.
Penulis juga menyoroti bahwa tradisi masyarakat kita masih banyak yang memposisikan laki-laki sebagai pusat pengambilan keputusan dalam keluarga. Hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang diteladankan oleh Nabi Muhammad SAW, di mana prinsip musyawarah justru menjadi bagian dari akhlak mulia yang dianjurkan oleh Al-Qur’an, sebagaimana tertuang dalam surah Ali ‘Imran [3]: 159.
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلْقَلْبِ لَٱنفَضُّوا۟ مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَٱعْفُ عَنْهُمْ وَٱسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى ٱلْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
Dengan pemaparan yang kritis namun tetap konstruktif, buku ini mengajak pembaca untuk merefleksikan ulang relasi suami istri dalam kerangka kesetaraan, penghargaan timbal balik, dan semangat bermusyawarah sebagai fondasi utama dalam membangun rumah tangga yang berlandaskan akhlak mulia.
Jika kita merujuk pada salah satu pilar penting dalam Al-Qur’an, yakni prinsip tarāḍin minhumā (saling merelakan atau saling ridha antara kedua belah pihak), maka pemahaman terhadap teks Hadis yang selama ini cenderung sepihak, yaitu bahwa seorang istri harus selalu mencari dan mengusahakan kerelaan dari suami agar bisa masuk surga—perlu ditinjau kembali.
Dalam kacamata Mubadalah yang berprinsip pada keadilan dan kesalingan, seharusnya suami pun memiliki kewajiban yang sama untuk memperoleh kerelaan dari istrinya. Maka, tidak hanya istri yang akan masuk surga karena kerelaan suami, tetapi suami juga akan masuk surga jika berhasil mendapatkan kerelaan dari istri. Dengan demikian, maka relasi rumah tangga dibangun atas dasar saling ridha, saling menghormati, dan saling memenuhi hak dan kewajiban.
Buku Fiqh al-Usrah hadir sebagai nafas segar dalam khazanah fiqih keluarga Islam kontemporer. Ia berani menantang pendekatan tradisional yang kerap menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dengan menawarkan pembacaan yang lebih berimbang, empatik, dan kontekstual. Pendekatan berbasis rahmah (kasih sayang), akhlāq karīmah (akhlak mulia), dan maqāṣid al-syarī‘ah (tujuan luhur syariat) menjadikan buku ini tidak sekadar normatif, tapi juga transformatif.
Dalam dunia yang terus berubah, keluarga tetap menjadi pondasi utama bagi tegaknya masyarakat yang sehat dan bermartabat. Oleh karena itu, pembacaan ulang terhadap fikih keluarga tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak dan harus terus didengungkan karena Fiqh al-Usrah hadir sebagai jembatan antara ajaran Islam yang luhur dan realitas kehidupan modern yang menuntut keadilan, kesetaraan, dan kasih sayang.
Dengan pendekatan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang universal dan semangat dalam kesalingan, buku ini menegaskan bahwa rumah tangga dalam Islam bukanlah ruang dominasi bagi salah satu pihak tertentu baik perempuan maupun laki-laki, melainkan ladang tumbuhnya cinta, dialog, dan tanggung jawab bersama.
Semoga pemikiran-pemikiran yang ditawarkan dalam buku ini tidak hanya berhenti sebagai wacana, namun mampu mewujud dalam praksis keluarga Muslim yang lebih adil, setara, dan penuh berkah. Sebab pada akhirnya, keluarga yang dibangun di atas akhlak mulia adalah jalan menuju masyarakat yang rahmatan lil ‘ālamīn.
Identitas buku:
Penulis : Faqihuddin Abdul Kodir
Judul : FIQH AL-USRAH
Tahun : 2025
Kota terbit : Bandung
Penerbit : Afkaruna
Halaman : 292