
Suatu hari, dalam majelis pengajian, guru saya, segala Rahmat dan kemuliaan semoga tercurah kepada beliau, berseloroh dengan nada jenaka :
“Apa yang terjadi jika sebuah tembok di lempar dengan batu?”
Jamaah pengajian, termasuk saya, diam saja menunggu kelanjutan tausyiah.
“Jika batu dilempar ke tembok, maka yang terjadi adalah tembok menjadi rusak dan batu terpental. Semakin keras melempar semakin rusak tembok dan batu akan terpental semakin keras pula” lanjut guru saya.
Kemudian, guru saya memberi penjelasan analogi lain :
“Bandingkan jika tembok dilempar dengan (jajanan) lemper. Apa yang terjadi? Lemper akan lengket di tembok itu. Apa hikmahnya?”
Kami pun tetap diam mendengar wejangan sang Guru. Sejurus kemudian, guru saya melanjutkan :
“Hikmahnya adalah melawan kekerasan dengan kekerasan hanya akan saling menyakiti, menyebabkan luka di antara kedua belah pihak. Sebaliknya, menghadapi kekerasan dengan kelembutan sanggup menyembuhkan luka, sedalam apapun luka itu. Lemper adalah simbol manusia berhati lembut yang sanggup melekat-lengket ke tembok yang kasar’itu. Sebaliknya, batu adalah simbol manusia kasar yang melawan kerasnya pihak lain, ia tidak mendapat apa-apa kecuali merusak dan ia pun di jauhi”
Sungguh, tamsil filosofi lemper ini masih saja terngiang di telinga saya, meskipun sudah disampaikan guru saya bertahun yang lampau.’ Hati yang lemah lembut adalah kunci untuk menyatukan perbedaan, bahkan sanggup meluruhkan watak bengal dan kasar.
Andaikata, Muhammad tidak berhati lemah lembut niscaya Ia tiada sanggup menyatukan kabilah-kabilah Quraisy yang hati sebagian besar dari mereka keras dan kasar.
Sebagai murid, saya masih berhutang banyak pada sang guru. Hati saya masih keras dan kasar laksana batu, belum selembut semen yang sanggup menjadi perekat ornamen bangunan.
Haris El Mahdi
FB@ Haris El-Mahdi
Tribute to Bundo tersayang Harnely WayandaRo