Filosofi Komisioner KPAI tentang Hamil di Kolam Renang

Filosofi Komisioner KPAI tentang Hamil di Kolam Renang

Pernyataan Komisioner KPAI tentang potensi hamil di kolam renang akibat berenang bersama lawan jenis memang menggelikan. Tapi, ia sekaligus menantang kita untuk berpikir. Maka, mari kita uji.

Filosofi Komisioner KPAI tentang Hamil di Kolam Renang

Tidak sulit memahami mengapa Komisioner KPAI Sity Hikmawatty menuai badai “parodi”, sewaktu mengatakan bahwa berenang bersama lawan jenis dapat menyebabkan kehamilan bagi perempuan. Lha gimana, mata pelajaran Biologi yang pernah kita pelajari di bangku sekolah—ntah Dasar, Menengah, atau Atas—terasa dipecundangi begitu saja.

Begini kurang lebih verbatimnya: “Pertemuan yang tidak langsung misalnya apa? Misalnya ada sebuah mediasi di kolam renang. Ada jenis sperma tertentu yang sangat kuat. Walaupun tidak terjadi penetrasi, tapi ada pria terangsang dan mengeluarkan sperma, nah itu bisa terjadi kehamilan.”

Terang saja, pernyataan itu langsung mendapat respon yang sangat deras, bahkan kelewat lucu.

Atau,

https://twitter.com/bdulduldul/status/1231332499336261633

Tapi tak apa, pernyataan kontroversial itu justru mengingatkan saya pada mata pelajaran lain: filsafat. Ya, komisioner KPAI itu sebetulnya sedang menerangkan tentang, sebut saja, teori “potensi”.

Jadi begini. Jauh sebelum ada KPAI, kolam renang, waterboom, waterpark, atau apalah itu, pernah hidup dua orang pemikir yang saling berseberangan pandangan satu sama lain: Plato dan Aristoteles. Hubungan keduanya sebetulnya adalah guru-murid yang saling mengkritisi. Persis seperti Imam Syafi’i dengan Imam Malik, masing-masing memiliki pendapat yang berbeda dan daramatis, namun keduanya tetap baik-baik saja.

Bagi Plato, tingkat realitas tertinggi adalah sesuatu yang kita pikirkan dengan akal kita. Sebaliknya, Aristoteles berkepastian bahwa tingkat tertinggi dari realitas adalah apa yang kita lihat dengan indra kita.

Lebih jauh, Aristoteles mengemukakan bahwa tidak ada satu pun di dalam kesadaran yang belum pernah dialami oleh indra. Karenanya, seluruh pemikiran dan gagasan kita pasti lebih dulu masuk ke dalam kesadaran kita melalui apa yang pernah kita lihat d/a dengar.

Sedangkan Plato tidak bisa begitu. Plato menganggap bahwa tidak ada sesuatu pun di dunia “alam” ini yang sebelumnya tidak lebih dulu ada di dunia ide. Pokoknya, kedaulatan ide adalah harga mati!!!

Mari kembali ke Komisioner KPAI. Saya menuduh kalau Komisioner KPAI itu jangan-jangan penganut radikal ajaran Plato. Saking radikalnya, dia seolah-olah hendak menjungkirbalikan pakem pemahaman kita tentang penyebab kehamilan dengan menarik sebuah kesimpulan dari sesuatu yang belum pernah terjadi dan sulit terbukti secara ilmiah.

Bahwa kemudian yang dia bicarakan adalah tentang “potensi”, itu benar sekali. Seratus buat Ibu Sity Himawaty. Karenanya, saya sekaligus khawatir kalau jangan-jangan Ibu Sity tidak hanya merupakan penganut ajaran Plato, tetapi di saat yang sama juga merupakan pengamal mazhab berpikir Aristoteles.

Maksudnya begini: Aristoteles memutuskan bahwa realitas terdiri dari berbagai benda terpisah yang menciptakan suatu kesatuan antara “bentuk” dan “substansi”. “Substansi” dimengerti sebagai bahan untuk membuat benda-benda d/a makhluk, sedangkan “bentuk” adalah ciri khas masing-masing benda.

Untuk memudahkan, ada satu cerita menarik sehubungan dengan hal ini. Suatu hari, seorang pengrajin sedang menggarap sebuah batu. Dia menetak-netak batu tak berbentuk itu setiap hari. Lalu, datanglah seorang pemuda yang keheranan, lalu bertanya, “Apa yang sedang kau cari?”

“Tunggu dan lihat saja,” terang si pengrajin batu.

Setelah beberapa hari, si pemuda kembali lagi, dan kini sebuah batu yang sedianya tak berpola itu telah berubah menjadi seekor kuda yang menakjubkan. Sontak saja si pemuda semakin terkejut terheran-heran, lalu berkata, “bagaimana kamu tahu kuda itu ada di dalam sana??!!”

Bagaimana, coba!! Ya, samar-samar si pengrajin itu sebetulnya telah melihat bentuk kuda di dalam batu, sebab batu tersebut memang memiliki potensi untuk dipahat menjadi replika seekor kuda. Demikian pula segala sesuatu di alam ini yang, menurut Aristoteles, mempunyai potensi untuk menjadi nyata, atau mencapai suatu “bentuk” tertentu.

Saya kira, kita semua bersepakat bahwa kehamilan dimungkinkan oleh silaturahim sperma dengan sel telur. Sewaktu sperma bertandang dan bersambut dengan sel telur, di situlah lalu terjadi pembuahan, sehingga pada puncaknya adalah kehamilan. Sperma, dengan begitu, memiliki potensi untuk menyebabkan kehamilan, dan kalau beruntung pastilah menjadi seorang manusia.

Serupa dengan itu adalah misteri telur dan ayam. Kendati sejauh ini belum ada kepastian tentang lebih dulu mana di antara keduanya, tetapi paling-tidak sebutir telur pastilah memiliki potensi untuk menjadi seekor ayam.

Meski begitu, ini juga tidak berarti bahwa semua telur pasti menjadi ayam. Pasalnya, banyak terjadi kasus bilamana nasib mereka berakhir menjadi telur dadar, telur mata sapi, telur orak-arik, dan macam-macam menu telur lainnya, tanpa pernah memaksimalkan potensi mereka untuk menjadi seekor ayam.

Ini juga berlaku bahwa sebutir telur ayam tidak mungkin akan menjadi seekor angsa, misalnya. Pasalnya, potensi itu tidak terdapat dalam telur ayam. “Bentuk” dari sesuatu, dengan demikian, menunjukan batasan sekaligus “potensi”-nya.

Saya kira Ibu Sity melupakan satu fakta penting ini: bahwa ada banyak sperma yang berakhir tidak lebih baik dari telur-telur tersebut. Lebih-lebih di zaman ini, setiap kolam renang pasti telah dicampuri dengan yang namanya kaporit.

Artinya, kalaupun ada dan terjadi kasus seperti yang dibayangkan Ibu Sity, saya berkepastian kalau sperma tersebut tidak saja berstatus super, tetapi juga kelewat ambisius, suka tantangan, tidak takluk oleh tekanan, cool, dan tentu saja gagah berani walau aral rintangan datang tuk menguji.

Bukankah itu justru baik untuk bekal pemimpin masa depan? Kenapa justru dikhawatirkan?