Filosofi Amal Jariyah

Filosofi Amal Jariyah

Apa makna dan filosofi amal jariyah? Tulisan ini mendedah hal itu dan jarang kita pikirkan

Filosofi Amal Jariyah

“Apabila seorang manusia meninggal dunia, putuslah amalannya kecuali dari tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak saleh yang mendoakan baginya.”

Apa yang dimaksud dengan “amalan yang tak terputus setelah meninggal dunia” yang Rasulullah sebut dalam hadits di atas? Penafsiran tradisional mengenai ketidakterputusan suatu amal berarti bahwa pahala seseorang yang telah melakukan hal-hal di atas sebelum ia meninggal dunia akan terus berlanjut. Bagaikan seorang pengusaha yang telah membuat suatu system usaha yang canggih, ketika sistem atau mekanisme usaha tersebut sudah selesai, tak perlu lagi ada usaha lebih lanjut di pihak orang itu; ia tinggal memantau dan memanen hasil yang berkembang terus menerus, yang dihasilkan oleh sistem yang terus berjalan itu.

Penafsiran semacam ini tentu saja sah secara teologis. Namun, penafsiran ini hanya mampu meyakinkan satu atau dua pihak dari umat Muslim. Di masa ketika skeptisisme menjadi tongkat yang digunakan manusia untuk berjalan, tafsiran ini tak cukup membendung gelombang skeptisisme buta seperti itu. Harus ada penafsiran alternative yang bisa diterima oleh akal; dengan kata lain, penafsiran yang lebih rasional dan logis.

Jika yang dirujuk dengan frase “tidak terputus setelah meninggal dunia” adalah datangnya pahala setelah meninggal dunia, seorang skeptic akan menyerang balik dengan argument “hal-hal seperti itu tidak dapat diklarifikasi”. Argument seperti ini ada benarnya, sebab, jika standar kebenaran yang mereka minta adalah kemampuan suatu premis untuk diklarifikasi secara empiris, pahala seseorang, apalagi seseorang yang telah meninggal dunia, jauh dari sesuatu yang bisa dibuktikan.

Tentu saja, ini adalah premis yang diterima secara teologis karena aksioma ontologis Islam ialah, bahwa mereka menerima kenyataan adanya dua alam; material dan immaterial. Meskipun sesuatu tidak bisa diklarifikasi secara empiris-materiil, jika ia tidak bertentangan dengan Kitab suci dan perkataan suci Rasulullah, ia sah.

Itulah sebabnya kita perlu memberikan penafsiran yang mampu menandingi argument para pejuang skeptisisme. Pertama, terbukti bahwa di dunia materiil ini, ada sesuatu yang imateriil. Sebut saja rasa sakit; seorang skeptic akan merengek kesakitan jika wajahnya dipukul dengan keras, jika kita bertanya kepadanya di manakah letak rasa sakit, ia tidak bisa menjawab dengan pasti. Jika ia masih mampu menyangkal dengan merujuk pada psikologi behavioristic, maka kita bisa menyajikan argument yang lebih konkret; dasar dari ilmu pengetahuan ialah konsep-konsep matematika, di sana ada fisika kuantum, aritmatika, yang telah terbukti kebenarannya.

Jika setiap eksperimen dibimbing oleh rumus-rumus dasar dan aksioma matematis seperti ini, maka mau tidak mau ia harus meyakini adanya suatu entitas abstrak dan imaterril seperti eksistensi rumus ini.

Setelah kita meyakinkan para skeptic bahwa terdapat hal-hal imateriil di dunia, kita bisa masuk ke premis berikutnya; manusia memiliki sisi immaterial, yaitu jiwa. Ini tentu adalah premis yang diyakini kebenarannya bahkan dalam ajaran teologi yang paling dasar, sebut saja, teologi anak SD. Apakah dengan mendalilkan adanya jiwa, kita bisa memberi penafsiran alternative terhadap sabda Rasulullah di atas?

Dalam ajaran teologis Islam, manusia terdiri dari jiwa dan badan, dan ketika badan manusia telah sirna, jiwanya tetap menjalani kehidupannya di akhirat sana. Ini adalah penafsiran metafisiknya. Adapun, secara social, kita secara umum percaya bahwa ada sisi dari manusia yang tidak bisa dikaitkan dengan kenyataan badaninya. Kita percaya ada sifat manusia, dan kita percaya bahwa kondisi fisik manusia tidak selalu berhubungan dengan sifat ini; misalnya, tidak benar bahwa seseorang dengan karakter tertentu niscaya disebabkan oleh berat badan tertentu. Sifat manusia adalah unsur dari manusia yang terpisah dari badannya.

Unsur lainnya dari seorang manusia ialah nama, manusia ialah makhluk yang hidup dengan ingatan-ingatan, khayalan, dan fikiran. Itulah kenapa nama bisa hidup terus menerus setelah kematian seseorang; ia hidup karena diingat oleh orang lainnya.

Anda pasti pernah berucap seperti, “Saya ingat namanya, tapi tidak ingat wajahnya, “Saya ingat wajahnya, tapi tidak ingat namanya”, “Dia mukanya sangar, tapi anaknya baik”, “Si Arfan itu anak pintar, pasti karena bapaknya pintar”. Beberapa kalimat ini adalah bukti bahwa manusia memiliki dua unsur yang terpisah yang sama-sama nyata dalam tingkatannya sendiri. Nama manusia dan badan manusia itu dua hal yang berbeda, ciri badan manusia terpisah dengan sifat manusia, nama seseorang yang mungkin sudah meninggal (bapak Budi misalnya) akan diteruskan oleh anaknya, karakternya akan diingat.

Dengan gagasan ini di kepala kita, kita akan lebih mudah mengartikan maksud dari hadits di atas. Penafsiran alternative lain dari hadits itu tentu saja adalah, bahwa secara social, tindakan tindakan tersebut, yakni amal jariah, anak saleh dan ilmu yang bermanfaat, akan terus berlanjut fungsi sosiologisnya. Sebagaimana masjid akan terus dihadiri meskipun si pembangunnya sudah tiada, ilmu yang terus berguna, seperti ilmu gravitasi Newton, meskipun ia sudah tiada, anak yang saleh bisa saja meneruskan upaya social ayahnya.

Penafsiran yang kami ajukan di sini adalah penafsiran filosofis yang mempunyai dasar empiris dalam kehidupan nyata. Jiwa ialah suatu entitas spiritual imateriil dari manusia yang terus hidup meski raganya sudah tiada. Secara awam, kita dapat mengganti istilah jiwa dengan nama. Sedekah jariyah seseorang akan terus menghidupkan namanya; teori Koordinat Cartesian menyebabkan kita terus mengingat nama Descartes, Masjid at-Tiin mengingatkan kita kepada Ibu Tien Soeharto, Yenni Wahid menyebabkan kita mengingat Abdurrahman Wahid. Nama orang-orang tersebut tetap hidup oleh tiga jalur tersebut, meskipun eksistensi ragawi mereka sudah tiada.

Kami rasa, penafsiran seperti ini lebih rasional dan logis, jika yang kita hadapi adalah pasukan skeptic yang tidak mau menerima argument teologis. Sedekah Jariah menyebabkan keabadian jiwa dengan cara membuat jasa-jasa yang seseorang lakukan di masa hidupnya tetap dikenang dalam ingatan generasi-generasi berikutnya. Nama seorang pahlawan tetap hidup dalam orang-orang yang menghargai kepahlawanan, ya Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan Gading.