Film Tilik ini memberi gambaran kita, saat ada berita yang dianggap hoaks, terkadang kita masih membelanya karena sesuai dengan keyakinan kita. Kadang juga menolak berita itu karena tak sesuai kepercayaan kita.
Hampir semua tontonan religi di Indonesia menggambarkan kesalehan pemainnya dengan pakaian dan perilakunya. Seperti penggambaran pemain dengan jilbab, gamis, peci, atau baju koko. Para pemain tersebut juga kerap digambarkan dengan aktivitas yang tergolong ibadah, seperti shalat, membaca Al-Qur’an atau mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah.
Bagi saya pribadi hal itu jelas sebuah paradoks, karena yang saya temui, tidak semua orang berjilbab itu bertindak sebagai aktor protagonis dan tidak semua yang tidak berjilbab adalah pemain antagonis. Masing-masing manusia akan bertindak pada kedua posisi tersebut.
Beberapa hari lalu, saya baru mengetahui ada film pendek bagus di Youtube. Film Tilik judulnya, produksi Ravacana Films. Film ini berlatarkan salah satu desa di Yogyakarta. Mengisahkan sekelompok ibu-ibu yang hendak tilik atau menjenguk Bu Lurah yang dikabarkan dirawat di rumah sakit karena kecelekaan.
Yu Ning, salah satu tokoh dalam film ini memberitahu kepada teman-temannya akan kabar tersebut. Masyarakat desa yang masih memiliki empati yang tinggi bergegas menyambut kabar tersebut dengan aksi nyata. Sekelompok ibu-ibu ini dikomandoi oleh Yu Ning menjenguk Bu Lurah ke rumah sakit di kota dengan mengendarai truk.
Sebagian besar dari film ini menampilkan scene di atas truk. Walaupun demikian film ini mampu menggambarkan perilaku khas orang desa seperti cara bicaranya, kebiasaan menggunjing tetangga dan lain sebagainya secara jelas.
Dua aktor penting dalam film ini adalah Yu Ning dan Bu Tedjo. Yu Ning memiliki sikap lebih pendiam dan terkesan agak polos, tapi juga memiliki pikiran yang positif. Ia juga masih saudara dari Bu Lurah. Sementara Bu Tedjo adalah salah satu orang yang menjadi sumber informasi sekaligus provokasi ibu-ibu akan gosip yang beredar tentang keluarga Bu Lurah. Tetapi Bu Tedjo memang memiliki kemampuan leadership yang lebih baik dan solutif.
Konflik antara keduanya digambarkan begitu apik. Bu Tedjo dan beberapa ibu yang lainnya mengungkapkan gosip-gosip tentang tetangga mereka bernama Dian. Dian dikabarkan memiliki pekerjaan yang tidak benar, keluar-masuk hotel, sering menggoda bapak-bapak, dan ia juga pernah dipergoki tetangganya saat jalan-jalan di Mall bersama salah satu laki-laki parubaya. Dian adalah kembang desa.
Sebagai keluarga, tentu Yu Ning tidak sepakat dengan apa yang dikatakan Bu Tedjo. Apa yang dikatakan Bu Tedjo adalah fitnah. Yu Ning bahkan membawa dalil agama dalam menghadapi konflik dengan Bu Tedjo.
Dalam film berdurasi sekitar 32 menit ini, kita memang seakan-akan digiring untuk membenci tokoh Bu Tedjo. Bagaimana tidak, ia digambarkan sebagai wanita yang berbicara dengan gaya ceplas-ceplos dan sumber gosip. Selain itu juga ada adegan ia memberikan semacam uang pesangon bagi sopir truk sebagai bentuk kode untuk memilih suaminya dalam pilihan lurah. Dalam adegan mendorong mobil ketika mogok, Bu Tedjo juga enggan untuk ikut.
Sementara Yu Ning mirip dengan aktor yang digambarkan dalam film religi, lebih pendiam, religious, peduli, dan didzolimi oleh kelakuan Bu Tedjo. Jika dalam sinetron atau film lainnya kita dengan mudah menentukan mana yang baik dan buruk melalui pakaian atau perilaku, maka dalam film ini cara itu tidak bisa dipakai.
Puluhan ibu-ibu di atas truk sama-sama berjilbab dan diketahui adalah anggota pengajian. Tetapi ending berkata lain, gosip-gosip yang dibicarakan Bu Tedjo tidak sepenuhnya salah, sementara justru, kegabahan Yu Ning dalam menangkap berita dirawatnya Bu Lurah di rs harus menerima protes dari ibu-ibu lainnya.
Di akhir cerita, Dian digambarkan bertemu dengan seorang laki-laki parubaya dalam sebuah mobil yang ternyata adalah bapak dari Fikri, tetangga yang mengantarkanya ke rumah sakit. Entah apa ini lelaki yang sama dengan lelaki yang dilihat para tetangga di Mall atau hotel.
Sementara sekelompok ibu-ibu ini harus menerima kenyataan bahwa perjalanan jauh mereka dari desa tidak berbuah manis. Bu Lurah belum bisa dijenguk karena masih dirawat di ICU. Kejadian ini digunakan Bu Tedjo untuk menyerang balik Yu Ning dengan dalih “dadi nyebarke kabar seng ra cetho kuwi kelebu fitnah ora?”
Hal menarik dalam film Tilik ini adalah sekelompok ibu-ibu desa yang dipertemukan dengan kecanggihan teknologi. Sebagian daripada gosip yang dilontarkan oleh Bu Tedjo ia dapatkan dari internet, begitu pula dengan lainnya. Sementara Yu Ning yang tidak begitu mengikuti teknologi merasa bahwa apa yang diberitakan internet juga harus difilter kebenarannya.
Dalam film Tilik ini, saya menyimpulkan bahwa secara tidak sadar kita adalah Yu Ning. Mencoba menolak atau meminta klarifikasi hoaks, sementara kita juga tidak bisa membuktikannya. Kita tidak mempercayai berita itu, tetapi kita justru menyebarkan kepercayaan lain yakni menyatakan ketidakbenaran berita tersebut. Padahal sama-sama tidak ada bukti.
Dalam hal ini saya ingat salah satu pelajaran dalam kuliah umum, “Hoax, why we love it?” Kenapa kita mempercayai hoax atau menolak hoax? Karena kita memiliki keberpihakan baik secara politis maupun ideologis. Dalam film Tilik ini, keberpihakan Yu Ning ditunjukkan dalam adegan ia menyodorkan nama keponakannya, Dian ketika Bu Tedjo menyelipkan kampanye suaminya dalam pencalonan lurah.
Perilaku yang seperti itu membawa kita pada kepercayaan akan kebenaran tunggal. Menganggap apa yang dibicarakan orang lain otomatis salah karena anggapan tidak adanya bukti dan dalil yang kuat serta membenarkan perkataan diri karena adanya ikatan kedekatan atau merasa dalih yang dimiliki lebih kuat. Kita menolak hoax dan tidak sadar kita telah mempertahankan atau memproduksi hoax yang lain.
Sementara menganggap Bu Tedjo buruk karena perilakunya juga adalah cara berpikir yang sering kita gunakan, menilai orang dari penampilan saja. Padahal seorang bisa berperan dalam keduanya menjadi tokoh antagonis sekaligus protagonis, karena kesempurnaan manusia hanya tergambar dalam sinetron-sinetron kita.