Festival Film Madani telah resmi dibuka di Djakarta Theater, Rabu malam, 16 Oktober 2018. Festival yang menyuguhkan film-film berlatar keragaman kehidupan umat muslim di berbagai belahan dunia itu, akan berlangsung di sejumlah venue di Jakarta hingga 21 Oktober 2018 nanti.
Sutradara asal Bosnia Aida Begic hadir pada acara Q&A dan akan menjadi pemateri dalam Master Class sebagai bagian dari rangkaian festival. Karyanya yang berjudul Never Leave Me menjadi film pertama yang diputar dari 15 film (dalam dan luar negeri) yang diikutsertakan.
Dan sekarang saya ingin membahas “lapisan ideologis” yang terkandung dalam film tentang kehidupan anak-anak pengungsi Suriah di Turki itu. Titik pusat cerita adalah sekawan anak-anak Suriah yang terdampar di asrama yatim piatu. Mereka merupakan anak-anak korban perang saudara (civil war) yang berkecamuk di negara asal mereka.
Kata ‘saudara’ (baca: civil/sipil/madani) saat menyebut perang di Suriah, menjadi sangat penting untuk mendedah “lapisan ideologis” yang mengendap di dasar film Never Leave Me. Kepentingan ini berkaitan dengan narasi tentang penyebab tragedi itu sendiri, yang dibisikkan dan disenandungkan oleh tokoh-tokoh dalam film yang secara sinematografis menurut saya sangat menawan itu.
Meski karakter-karakter utamanya anak-anak, namun yang berusaha disuarakan lewat mulut-mulut kecil mereka merupakan narasi besar: apa yang sesungguhnya terjadi di Suriah.
Seluruh batang tubuh cerita dalam film berdurasi 96 menit itu berupa “sejarah “kecil” anak-anak manusia yang menanggung derita hidup sebagai pengungsi, namun sesungguhnya ada jubah tembus pandang bagi penonton, untuk melihat tangan berdarah siapa gerangan yang telah menyebabkan anak-anak itu terlunta-lunta meninggalkan tanah air mereka.
Dengan kata lain, Never Leave Me tidak sekadar menyuguhkan drama kehidupan yang meremukkan hati siapa saja yang masih memiliki empati, namun ia juga ingin mengabarkan kepada audiensnya, siapa pihak yang bertanggung jawab atas kepedihan itu.
Maka, di bawah naungan kalimat Merayakan Keberagaman Muslim (Celebrating Muslim Diversity) yang menjadi tagline festival, sebelumnya saya telah bersiap menerima siapa yang baru, yaitu sesuatu yang berbeda dari narasi tunggal tentang krisis Suriah.
Saya menaruh harapan lewat mulut anak-anak pengungsi itu, kita akan mendengar sesuatu yang lain dari yang disuarakan oleh para penceramah Islam politik di masjid dan di acara-acara tablig akbar serta penggalangan dana bertajuk “Save Suriah”.
Tapi tidak. Ternyata suara bocah-bocah yang memelaskan itu memiliki nada dasar yang sama dengan orang-orang dewasa dari kalangan Islamis, yang selama ini menjadi narator tunggal tragedi Suriah: kekejaman Bashar Assad dan penderitaan kaum muslimin yang memberontak.
Dan narasi serupa itu berlangsung sangat masif sejak krisis Suriah pertamakali meletus pada 2011. Kita nyaris tak memiliki jeda untuk sekadar bernafas agar sanggup juga melihat bagaimana penderitaan orang-orang Suriah sekuler yang hidup di kota-kota yang dikuasai pihak pemberontak.
Atau bagaimana para pemberontak bersenjata itu membunuh ulama-ulama yang tak bersepakat dengan ideologi Islamisme mereka. Bagaimana kelompok minoritas etnis dan agama mengalami pembunuhan dan kekerasan. Bagaimana warga sipil berbondong-bondong mengungsi dari tanah airnya yang dikuasai pemberontak, dan kembali saat tentara pemerintah berhasil mengusir mereka.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa narasi konflik Suriah dalam Never Leave Me semestinya melompat ke kutub yang lain. Saya hanya berekspektasi bahwa ia akan menghidangkan cara pandang non-partisan atas tragedi paling memilukan dalam sejarah modern itu. Namun ekspektasi saya agak terlampau tinggi.
Memang tidak ada adegan pengibaran bendera Hijau Putih Hitam (bendera kelompok pemberontak Islamis yang membedakan dengan Merah Putih Hitam, bendera resmi Suriah), tapi film berbahasa Arab dan Turki itu telah mengirimkan isyarat yang cukup, untuk menandai pihak mana yang berhak memperoleh simpati.
Lihatlah salah satu scene yang menunjukkan seorang anggota White Helmet yang sedang menolong korban pengeboman. White Helmet bukanlah organisasi kemanusiaan biasa, mereka adalah organisasi sayap milik tentara pemberontak.
Lalu dengarlah apa yang dibacakan oleh salah satu tokohnya, gadis kecil bernama Lukka, saat ia menerima surat dari neneknya: “Sampai jumpa di Suriah Bebas.” Suriah Bebas (Free Syria) merupakan slogan kaum Islamis yang melancarkan pemberontakan bersenjata (dengan sayap militernya bernama Free Syrian Army) untuk menumbangkan pemerintahan otoriter nasionalis sekuler Bashar al-Assad.
Dan dengarlah apa yang dinyanyikan dengan sangat menyentuh oleh tokoh anak yatim bernama Muataz: “/// Oh, Dunia, tanah saya terbakar/Tanah saya dicuri kebebasannya//Berikan kedamaian kepada kami kembali/Berikan masa kecil kami kembali.” Saya tak bisa untuk tidak menitikkan air mata saat melihat adegan ini.
Tapi siapa yang membakar tanah Suriah? Siapa yang mencuri kebebasan Suriah? Siapa yang melenyapkan kedamaian mereka? Rangkaian pertanyaan ini menjadi penting sebab pada mulanya Suriah merupakan sebuah negara yang relatif aman dan damai hingga muncul pemberontakan bersenjata. Perang saudara antar orang-orang dewasa Suriah itulah yang telah menyebabkan gelombang pengungsian besar-besaran dan penderitaan bagi anak-anak.
Maka nyanyian yang sama akan disenandungakan dengan pilu oleh anak-anak pengungsi Suriah yang lari dari para pemberontak. Mereka ingin hidup damai seperti sebelum meletus pemberontakan. Namun saya kira sekarang ini bukan di situ letak persoalannya.
Permasalahan yang sesungguhnya adalah fakta bahwa anak-anak itu telah menjadi korban perselisihan politik orang-orang dewasa: pemerintahan otoriter nasionalis sekuler Assad di satu sisi, dan pemberontak bersenjata Islamis di sisi lainnya. Perebutan kekuasaan antar ideologi di tubuh bangsa Suriah itu kemudian menyeret kepentingan geopolitik banyak negara, termasuk Turki di bawah pemerintahan Islamis Erdogan yang berdiri di belakang pihak pemberontak.
Anak-anak itu telah menjadi korban omong kosong soal Arab Spring, kebebasan dan demokrasi. Jika benar soal demokratisasi, mengapa Arab Spring hanya bersemi secara mengerikan di Suriah, bukan di negara-negara Arab lain yang tak kalah otoriternya seperti Saudi?
Lalu mengapa Saudi ikut menyumbang uang dan senjata untuk para pemberontak agar Assad terguling? Mengapa Israel dan Amerika Serikat juga menyerang Assad? Lalu mengapa Rusia dan Iran mengerahkan kekuatan militernya mempertahankan Assad?
Anak-anak tak akan paham soal itu. Mereka akan menurut saja. Mata anak-anak yang abu-abu dalam memahami penyebab penderitaan mereka itu, dibuat hitam putih oleh orang-orang tua mereka. Yang di kubu pemberontak akan mengajarkan bahwa Assad sangat kejam, sementara yang di kubu pemerintah bakal mengatakan bahwa pemberontaklah yang barbar.
Otoriterianisme, nasionalis sekuler, Islamisme, dan geopolitik, terlampau rumit untuk dijadikan “mainan” anak-anak. Itu semua merupakan mainan orang-orang dewasa, dan anak-anak hanya akan menirunya.
Maka surat yang dibacakan Tukka soal Suriah Bebas, dan lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak pengungsi Suriah di Sanliurfa, Turki, memang berangkat dari sebuah realitas. Dan Aida Begic memotretnya menjadi montase drama dalam film yang dibintangi oleh para penyintas itu.
Tapi di bawah tagline Merayakan Keragaman Muslim, saya menuntut lebih. Saya tak ingin sekadar mendapatkan narasi tunggal tentang Suriah yang sudah sekian lama saya dengar dari kalangan Islamis. Saya tidak sedang berbicara soal harapan berpindahnya pemihakan dalam konflik di salah satu negara Arab yang heterogen itu.
Saya hanya mendambakan sebuah film yang menawarkan pergulatan wacana yang lebih berwarna tentang persoalan akut umat muslim (dalam konteks ini di Suriah dan di wilayah Timur Tengah umumnya), semisal betapa otoriterianisme dan fanatisme agama menjadi momok-momok yang masih banyak bergentayangan di sana, membakar tanah, mencuri kebebasan, dan menghancurkan kebahagiaan anak-anak.[]