Beberapa bulan terahir, kita sering disuguhi berita-berita kontroversial dari sejumlah penceramah dan tokoh agama populer di negeri ini. Ironisnya, berita-berita tersebut bukan berita yang menggembirakan, namun sebaliknya,
Setidaknya, kontroversi demi kontroversi yang muncul secara berturut-turut itu dalam beberapa bulan terahir ini diawali dari Sugik Nur. Seorang penceramah yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Nur. Dalam ceramahnya, dia sering menggunakan kata-kata kotor dan sangat tidak pantas. Apalagi saat dia, salah menyebut ayat Alqur’an dan tidak bisa menjelaskan dengan ilmiyah tuduhan “sesat” terhadap konsep Islam Nusantara.
Belum lagi, banyak kata-katanya yang menyerang sesama muslim yang tidak sependapat denganya. Tentunya hal tersebut sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur ajaran Islam. Pun demikian dengan Neno Warisman yang berdoa –yang menurutnya doa tersebut terinspirasi dari doa Nabi saat perang badar– pada saat munajat 212. Doa “bunda” Neno ini pun menuai banyak kritik karena dianggap mengandung sebuah ancaman kepada Tuhan.
Kontroversi yang paling mutakhir yakni, terkait isu grammatikal dan penafsirann kata “kafir” yang salah satunya dilakukan tengku Zulkarnain dan Haikal Hasan. Alih-alih memberikan perbedaan penafsiran –atas ketidaksepakatannya dengan hasil Munas para ulama NU– dengan hujjah ilmiyah terkait pengunaan kata non-muslim; sebaliknya mereka berdua malah menunjukkan ketidaktahuannya.
Dari sekian banyak kontroversi yang muncul dari para ngustaz/ngustazzah diatas, saya rasa hal ini adalah sebuah ironi, bukan hanya pada kualitas tokoh-tokoh semacam yang saya sebutkan di atas namun secara general juga bagi keberagamaan masyarakat kita saat ini. Sejauh pengetahuannya saya, seseorang dianggap sebagai ulama, pada umumnya, karena luasnya pengetahuan tentang agama dan, yang juga tidak kalah penting, akhlaknya.
Kedua hal tersebut, secara garis besar, adalah kriteria utama bagi seseorang yang pantas dianggap sebagai tokoh agama (ustaz/ulama). Merujuk pada apa yang dikatakan oleh Prof. Quraish Shihab bahwa, ulama adalah orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang jelas terhadap al Quran, fenomena alam yang pengetahuannya tersebut menjadikannya takut kepada Allah. Sedangkan dalam hadis Nabi, ulama dikatakan sebagai “pewaris para nabi;” al-‘ulama waratsatul anbiya’.
Tidak berlebihan kiranya, jika kedua hal yang saya sebutkan di atas sebagai kriteria utama seorang ulama atau tokoh agama, tanpa menafikan kriteria lain yang begitu banyaknya. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan misi utama kanjeng Nabi sendiri yakni, untuk mengajarkan akhlaqul karimah. Pun demikian dengan Islam yang merupakan agama rahmah (welas asih).
Maka, akan sangat keliru jika orang-orang yang tidak paham dengan ilmu agama dan diperparah dengan akhlak yang tidak patut untuk dicontoh, kemudian dianggap sebagai seorang ustazz/ulama dan dijadikan sebagai panutan.
Namun, melihat fenomena-fenomena belakangan ini, bisa jadi dua kriteria di atas adalah hal yang sudah tidak menarik lagi bagi sebagian orang. Gampangnya, “Itu kan dulu, kisanak!”
Saat ini, begitu banyak orang-orang hanya bermodal kepiawaian dalam berbicara dengan menggunakan microphone, lantas sekonyong-konyong masyarakat dengan mudah memberikan predikat ustazz. Pun sama halnya dengan orang-orang muallaf yang pada setiap ceramahnya menceritakan pengalamannya sehingga mendapatkan hidayah dengan dibumbui rasan-rasan menjelekkan agamanya yang lama; tanpa melihat bagaimana keilmuan dan akhlaknya.
Sungguh ironi, bukan?
Di sisi lain, iklim politik menjelang pesta demokrasi juga tidak bisa diabaikan. Hal yang demikian itu turut ambil bagian atas kondisi model keberagamaaan masyarakat kita dewasa ini. Faktanya, sekaliber atau se-alim apapun seseorang, jika mereka berbeda pilihan, maka kelimuan dan kealimannya tidak akan diakui. Begitupun sebaliknya.
Sebagai umat beragama, kita seharusnya tidak gampang percaya dan memberikan label ustazz/ulama (termasuk istilah “bunda”) pada seseorang yang belum teruji bibit-bobot-bebetnya. Hanya dengan melihat pakaian yang serba putih, berjenggot pandai berbicara dan sedikit mengutip Quran atau hadis –yang ndilalah melalui aksara latin dan terjemahannya saja– lantas dengan semena-mena kita percaya dan ndepe-ndepe (patuh) terhadap apa yang disampaikan. Tidak sesimple itu, kisanak!
Bukankah –wadl’u Syai’ ‘ala ghairi makanihi fahuwa dholim– menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya adalah sebuah kedholiman?
Akhirnya, saya sepakat dan membenarkan bahwa dalam belajar mengenal, kita harus jeli memilih dan memilah figur seorang guru. Bukan seberapa banyak followers dan polularitas yang dimiliki, namun seberapa dalam pengetahuan agama dan sesantun apa akhlak yang diteladankan merupakan poin penting dalam menentukan siapa yang layak dianggap sebagai ulama dan dijadikan panutan. Wallahul hadi.
Ahmad Aminuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.