Fenomena Sugi Nur: Potret Nyata Manipulasi Sentimen Agama

Fenomena Sugi Nur: Potret Nyata Manipulasi Sentimen Agama

Fenomena Sugi Nur: Potret Nyata Manipulasi Sentimen Agama

Belum ada informasi jelas bagaimana tiba-tiba nama Sugi Nur dikenal luas sebagai seorang dai. Saya sendiri pertama mengetahui namanya dari berbagai unggahan di media sosial yang menjadikan video-video Sugi sebagai contoh ceramah agama yang minus manfaat. Saat awal-awal video Sugi beredar di media sosial, saya pernah coba-coba menyimak. Beberapa menit kemudian saya menyesal bukan main.

Pengamatan terhadap video-video ceramah Sugi dilakukan oleh M. Alvin Nur Choironi. Aktivitas kanal YouTube Munjiat yang mempublikasi video resmi Sugi, diketahui meningkat drastis sejak 2017 dan beberapa bulan belakangan senang berkutat di tema-tema politik praktis dan hujatan kepada berbagai pihak.

Dari sampel video yang diamati, Alvin mendapatkan kesimpulan menarik, yakni perbedaan kualitas ceramah Sugi, ketika memakai alat bantu layar proyektor dan tanpa bantuan layar proyektor. Tanpa alat bantu proyektor, rujukan Sugi untuk mendukung argumen-argumennya terkesan tidak jelas dan ia cenderung bicara berputar-putar.

Dengan menyimak ceramah-ceramahnya, banyak yang menilai bahwa Sugi tidak cukup memiliki bekal keilmuan untuk menjadi dai. Saya sendiri tidak punya pilihan selain ikut setuju dengan penilaian tersebut. Defisit bekal keilmuan ini bahkan sempat diakuinya sendiri ketika mendapat kritik dari orang yang menghadiri langsung pengajiannya.

Fenomena semacam Sugi ini sama sekali bukan hal yang unik. Ada banyak kasus yang bisa dirujuk sebagai contoh bagaimana sentimen agama dimanupilasi demi kepentingan lain, terutama politik dan materi. Dalam konteks masyarakat tertentu modal simbolik seperti agama bisa jadi jimat yang sangat manjur untuk menimbun pengaruh dan keuntungan.

Salah satu kasus manipulasi sentimen agama yang paling populer barangkali adalah sepak terjang warga Turki Adnan Oktar, atau yang lebih dikenal sebagai Harun Yahya. Lewat buku-buku pseudoilmiah, Harun Yahya banyak menyebarkan argumen yang lebih layak disebut cocoklogi berbumbu simbol-simbol Islam. Hasilnya, ia mengumpulkan pengaruh yang tidak main-main. Di Indonesia, karya-karya Harun Yahya menyebar luas dan bahkan dipakai sebagai referensi “ilmiah” wajib di beberapa lembaga pendidikan usia dini di Indonesia. Sementara penulisnya sendiri tersangkut berbagai kasus kriminal, mulai dari kejahatan seks sampai kejahatan finansial.

Di Indonesia sendiri, di saat topik politik mendominasi ruang publik seperti belakangan ini, banyak figur yang muncul dari antah-berantah dan mendaku diri sebagai ulama, dengan modal lilitan sorban dan tatanan jenggot. Lebih ampuh lagi kalau memakai embel-embel petinggi ormas keagamaan. Dalam kasus Sugi, kuantitas unggahan kanal YouTube yang digunakannya meningkat drastis bersamaan dengan makin tingginya tensi politik nasional, dan meningkatnya kegemaran Sugi cuap-cuap tentang politik. Kasus-kasus manipulasi sentimen agama bukan hanya terjadi di Indonesia dan juga bukan monopoli masyarakat yang mayoritas Islam.

Riset Cherian George yang dibukukan dalam Pelintiran Kebencian, menunjukkan bahwa tiga negara demokrasi terbesar di dunia punya problem yang mirip-mirip dalam kasus manipulasi sentimen keagamaan. Selain Indonesia, hal ini terjadi di India, bahkan di masyarakat maju seperti Amerika Serikat. Jika di Indonesia kerap terjadi manipulasi sentimen agama mayoritas Islam, di India dan Amerika kerap terjadi manipulasi sentimen Hindu dan Protestan yang menjadi agama mayoritas masing-masing negara.

Jadi kalau di Indonesia ada penceramah yang doyan membahas politik secara vulgar sambil menakuti jamaah tentang kekuatan agama lain, atau bangsa lain yang tengah menekan dan mengancam Islam, tidak perlu kaget dan panik. Di India, Amerika, dan bukan mustahil di banyak tempat lain, fenomena yang sama juga terjadi. Materi ceramahnya sama, tinggal diganti urutan nama agamanya saja. Jika di Indonesia urutannya umat Islam diancam agama minoritas, di India umat Hindu yang disebut hendak dijajah agama minoritas. Begitu juga di Amerika, orang Protestan ditakuti tentang konspirasi orang Islam dan agama lain untuk mencaplok negara tersebut.

Gambaran umum fenomena di atas barangkali agak terlihat konyol. Tapi jurus manipulasi sentimen agama ini dalam konteks tertentu bisa sangat berbahaya sekaligus efektif. Apa pun agamanya, ia seperti tombol picu yang kapan saja bisa meledakkan permusuhan di tengah masyarakat. Ironisnya, di tengah fenomena begini setiap orang berlomba-lomba mengaku agamanya mengajarkan kedamaian.

Dalam kasus Sugi, di tengah berbagai kecaman yang dialamatkan kepada ceramah-ceramah Sugi, belum diketahui ada pihak yang membelanya secara argumentatif. Meski begitu, melihat frekuensi ceramah dan ratusan ribu pelanggan kanal YouTubenya, jelas Sugi punya audiensnya sendiri. Ini adalah potret kecil tentang ampuhnya jurus manipulasi sentimen agama, yang berpotensi menjadi senjata berbahaya ketika dimobilisasi untuk menyebarkan kebencian dan mempersekusi pihak lain yang berbeda pendapat.

Belakangan publik mengetahui beberapa orang yang berani bersuara kritis secara langsung di tengah jamaah pengajian Sugi. Ini seperti panggilan kepada semua orang untuk berani menyuarakan kritik termasuk kepada pemuka agama, serta membiasakan umat beragama untuk menerima perbedaan pendapat dengan wajar. Cukuplah kasus penolakan pengurusan jenazah akibat perbedaan pandangan politik di momen Pilgub DKI 2017, menjadi contoh memalukan bangkrutnya moral umat beragama.

Selengkapnya, klik di sini