Fenomena Shopping Fatwa dan Premanisme

Fenomena Shopping Fatwa dan Premanisme

Fenomena Shopping Fatwa dan Premanisme

Perkembangan teknologi di era globalisasi kian hari kian membawa kita semakin terbawa arus kemajuan. Arus modernisasi yang semakin deras ini, membawa kita kepada kemalasan untuk beraktivitas. Semua serba teknologi, gadget, internet dan lain sebagainya, apalagi sekarang semuanya bisa di dapatkan dunia maya. Kemajuan ber-teknologi seperti inilah yang memberikan keuntungan kepada pengguna di satu sisi, namun di sisi yang lain membawa madharat..

Fenomena kemajuan berteknologi seperti internet dan media sosial saat ini sudah merambah ke berbagai situs-situs Islami yang banyak mengisi konten-konten yang berisikan fatwa-fatwa islami. Banyaknya situs-situs seperti ini, banyak dimanfaatkan oleh para pengguna baik orang awam maupun orang yang sudah berpengetahuan untuk mencari pengetahuan baru tentang Agama.

Semuanya situs-situs Islami dapat diakses di Google, maka tak sangka jika muncul tagline santri “mbah google”. Pengguna internet hanya dengan meng-klilk situs yang Islami maka muncullah dengan berbagai tawaran dalil-dalil yang dapat dijadikan acuan ber-fatwa. Fenomena ini sangat banyak kita jumpai dikalangan orang-orang awam yang memiliki pengetahuan agama yang kurang.

Menurut Nadirsyah Hosen, dalam artikelnya Online Fatwa In Indonesia: From Fatwa Shopping to Googling a Kiai, menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi terutama internet membuat cara untuk mensosialisasikan fatwa menjadi berbeda, begitu juga dengan cara individu Islam untuk memperoleh pengetahuan maupun jawaban mengenai Islam.

Sebelumnya, organisasi besar Islam di Indonesia seperti NU, Muhammadiyah atau lembaga MUI (Majelis Ulama’ Indonesia) menjadi lembaga yang memberikan banyak sumber pengetahuan Islam. Namun sekarang mereka dapat mengakses secara online dari berbagai website, laman blogspot, yang banyak menyediakan layanan fatwa. Perubahan tersebut terutama terjadi pada masyarakat urban, modern kelas menengah keatas (elite), bahkan mereka yang berpendidikan tinggi.

Mereka menyelami dunia cyber untuk mendapatkan jawaban mengenai Islam. Namun muslim di pedesaan masih menggunakan mekanisme formal melalui NU atau MUI. Adanya fatwa online ini memberikan lebih banyak pilihan bagi setiap individu muslim untuk mencari jawaban sesuai dengan nilai – nilai yang dianutnya. Dalam fenomena berburu fatwa online ini dapat menanyakan secara anonim serta lebih terbuka.

Di lain sisi, fenomena fatwa online ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai legitimasi sang pembuat fatwa. Sekali lagi, hal ini merupakan debat antara apakah kebenaran itu terpusat (centering) atau sudah menyebar (decentering).

Terkadang dalam menegakkan fatwa juga banyak yang menginginkan kebenaran tunggal itu harus ditegakkan, bagi Ian Douglas Wilson mempunyai term tersendiri bagi mereka yaitu, “preman dengan jubah Islam” mereka ini salah satu kelompok yang banyak mengeklaim bahwa kebeneran tunggal harus di tegakkan. Asal muasal kelompok ini sebelumnya para preman ini memperjuangkan kepentingan negara, dalam perkembangan kelompok ini bergerak atas nama Islam.

Munculnya kelompok yang ingin menegakkan kebenaran tunggal ini, seperti FPI (Front Pembela Islam). kelompok ini sering menggunakan cara – cara kekerasan untuk menegakkan prinsip yang diyakini, yatu amar makruf nahi mungkar, dengan cara merusak tempat – tempat yang dianggap maksiat, banyak melakukan penyerangan terhadap kelompok Islam yang tidak sepaham dengan mereka.

Seharusnya fenomena penyerangan seperti ini tidak terjadi, karena dalam Islam pun menyadari bahwa perbedaan adalah suatu hal yang sunnatullah, memang ada jika tidak ada harus diadakan. Perbedaan pandangan dalam menghukumi sesuatu memang sering terjadi, akan tetapi dengan merusak, menyerang seperti itu merupakan tindakan yang anarkis untuk suatu kelompok yang membawa embel-embel Islam. Mereka yang seharusnya menyebarkan pesan-pesan perdamaian dalam Islam.

Wallahu ‘alam Bishowab.