Mengapa sih ada kos khusus yang hanya untuk muslim atau agama tertentu saja? Ini kisah saya dan Yogyakarta. Ketika kuliah tahun 2014 ada hal yang menarik mengenai kos-kosan. Pengalaman saya menjadi Mahasiswa Baru (MaBa) tidak peduli adanya kertas laminating bertuliskan “Khusus menerima mahasiswi muslim” ditempel di depan pintu kos. Sebenarnya kenapa sih, kok sampai ditulis khusus menerima kos muslim saja? Memang yang bukan muslim tidak boleh?
Pertanyaan ini baru muncul setelah saya lulus kuliah, tepatnya setelah membaca twitt penolakan terhadap mahasiswa non-muslim dari pemilik kos. Di postingan tersebut diceritakan alasan pemilik kos menolak hanya karena dia takut dosa menerima anak kos yang kotor dan najis.
Sedih baca beginian pagi-pagi.
— Andreas Zu (@ZuAndreas) August 3, 2019
Saya berpikir keras, mencerna kata-kata pemiliknya, maksudnya yang kotor dan najis itu siapa atau apa? Jika manusianya dianggap kotor dan najis hanya karena non-muslim adalah hal yang tidak etis untuk diucapkan. Bahkan maqom Rasulullah pun enggan mendengar orang lain mencibir keluarganya “kafir.”
Seperti yang disampaikan Gus Baha dalam ceramahnya. Suatu ketika Durrah binti Abu Lahab perempuan sholehah yang ikut hijrah ke madinah. Perempuan anshor menghinanya, “Tidak ada gunanya kamu masuk islam. Bapakmu sudah ditetapkan dalam Al-Quran sebagai kafir.” Kata nabi “Jangan suka melukai keluargaku.”
Dari kisah tersebut sudah sangat jelas mustahil ucapan menyakitkan dan kotor akan muncul dari nabi. Lah kita yang imannya masih naik turun kenapa dengan santai dan percaya diri menjudge orang seenaknya? Sebenarnya akhlak siapa sih yang ditiru jika perkataan masih kotor dan gemar menyakiti perasaan orang lain?
Asumsi awal saya adanya kos khusus muslim bertujuan untuk mencegah pergaulan bebas di dalam kos. Oh mungkin maksudnya adalah jika penghuninya non-muslim maka akhlak dan pergualan mereka tidak bisa dijaga, membawa masuk lawan jenis masuk ke dalam kos. Lah semua agama menyuruh untuk berakhlak baik, bukan hanya islam saja, bahkan semua agama tidak suka yang namanya pergaulan bebas.
Kenapa harus mengedepankan prasangka buruk terhadap agama lain jika semua orang tahu poin itu. Soal takut lawan jenis masuk ke kos? Tinggal tempel aturan lawan jenis tidak boleh masuk kos, tanpa harus ada label kos khusus muslim.
Asumsi lain yang ada dibenak saya bisa dibantah dengan beberapa argumen dan kelogisan lain. Misal pemilik kos takut jika yang menghuni non-muslim membawa anjing.
Menurutku, itu masalah sepele yang tidak perlu dikait-kaitkan dengan agama. Kalau emang pemilik kos sudah menerapkan larangan membawa hewan peliharaan, entah muslim atau non-muslim sudah pasti tunduk aturan. Masalah kesucian tempat, bisa saja diantisipasi dengan memakai sandal yang suci setelah keluar kamar mandi. Toh yang saya amati selama beberapa tahun menjadi anak kos dan beberapa kali pindah kos, jarang tuh yang memakai sandal sehabis wudhu.
Padahal semua orang bisa saja membuat tempat menjadi najis, lagi-lagi kenapa harus muslim dan non-muslim yang dibawa?
Memang pada dasarnya menerapkan aturan adalah hak setiap pemilik kos, dan semua tidak mutlak salah pemilik kos, karena mereka punya pemahaman agama yang beda. Namun hal ini sudah masuk ranah diskriminatif, di mana dalam hal tempat tinggal “sementara” atau kos-kosan sudah terjadi pengkotak-kotakan. Bagaimana menjadi toleran kalau pertemanan hanya mau yang satu frekuensi saja?
Padahal langkah kecil meminimalisir terjadinya intoleransi adalah seringnya interaksi dan berdialog, kos tanpa label khusus muslim mungkin bisa menjadi solusi alternatif. Jika semua orang terus menciptakan sekat, selamanya para penganut suatu agama menganggap agama yang lain sebagai the others. Ketika di benak kita sudah tertanam pemahaman ini maka selamanya akan menganggap rendah dan memarjinalkan umat beragama lain. Mungkin ini PR untuk kita semua agar terus mempromosikan toleransi dan islam yang ramah bukan marah.
Sudah kos mahal, cari yang murah susah, sekalinya dapat yang murah eh… ternyata hanya menerima yang muslim saja, mohon maaf yang non-muslim tolong minggir.