Fenomena Islamofobia “Tanpa Muslim” di Polandia

Fenomena Islamofobia “Tanpa Muslim” di Polandia

Para pemeluk Islam sebetulnya tidaklah seseram yang diprasangkakan pengidap islamofobia. Menjadi tugas kita, umat Islam Indonesia, untuk mendengungkan ajaran-ajaran Islam yang ramah, serta menegakkan keadilan dan kemanusiaan di atas segala ego identitas apa pun.

Fenomena Islamofobia “Tanpa Muslim” di Polandia

Teror adalah milik bersama. Teror, sekaligus juga menjadi ancaman kita semua. Dia tak memiliki identitas tapi bisa menyerang segala entitas. Teror bisa mendatangi suku Tutsi di Rwanda, teror bisa menyapa garang kepada Muslim India, teror juga pernah menendang pantat orang-orang Yahudi di Jerman. Di Polandia, teror berinang dengan nyaman dalam tubuh Islamofobia. Menariknya, orang-orang Polandia menakuti apa yang hampir tidak ada di sana: penduduk Muslim.

Jumlah pemeluk Islam di negara berbendera Indonesia versi terbalik itu hanya 0,1% dari total populasi. Bahkan masih timpang dibanding dengan persentase Irlandia, negara Eropa dengan jumlah Muslim yang tergolong kecil, yaitu 1,4%. Dari situlah kemudian Polandia dikenal memiliki fenomena “Islamofobia tanpa Muslim”.

Lantas, bagaimana Polandia menjalani hari-hari Islamofobiknya? Apa yang telah mereka lakukan dan seperti apa dampaknya selama ini?

Kita bisa mulai dari bulan Februari kemarin, saat majalah Sayap Kanan Polandia, wSieci (the Network) menerbitkan edisi kontroversial. Sampul majalah tersebut menampilan seorang perempuan berambut pirang berbalut bendera Uni Eropa sedang diserang dan akan diperkosa oleh tangan-tangan berkulit gelap berbulu halus. Potret provokatif tersebut terpampang di bawah judul “The Islamic rape of Europe.”

Masih dalam artikel yang sama, wSieci mengakui bahwa gambar tersebut merujuk pada pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap ratusan wanita di kota Cologne di Jerman pada malam pergantian tahun 2015-2016. Sebagian besar dari pelaku yang ditangkap sehubungan dengan serangan itu adalah para imigran baru dari Afrika utara. Produk media tersebut hanyalah satu dari sekian propaganda anti-Islam, juga anti-imigran, di tengah banyaknya respon negatif terhadap komunitas Muslim di sana.

Sejarah Islamofobia di Polandia sebenarnya cukup panjang. Tapi gelombang ketakutan itu mendapat momentum perayaannya sejak tahun 2015 lalu. Tepatnya ketika Prawo i Sprawiedliwość (PiS) atau Partai Hukum dan Keadilan yang berhaluan konservatif keluar sebagai pemenang pemilu dengan total perolehan suara sebanyak 37,6%. Kemenangan PiS membuatnya leluasa menjalankan kewenangan eksekutif secara menyeluruh.

Populisme Sayap Kanan di Polandia mulai meningkat seiring terjangkitnya demam “mempertahankan kemurnian” di sepanjang Eropa. Selain kemenangan partai-partai ultra-nasionalis di berbagai belahan dunia, ada pula faktor-faktor lain yang ikut berperan aktif. Katakanlah kemenangan Donald Trump di AS, gejolak Brexit, krisis pengungsi dari Afrika dan Timur Tengah, dan segala “bahan bakar” lain untuk semakin merepresi kelompok minoritas.

Berdasarkan data Pew Research bersama Templeton Global Religious Futures Project, Polandia menempati posisi ketiga sebagai negara paling tidak ramah Muslim di Eropa, setelah Hungaria dan Italia.

Eksistensi komunitas Muslim di Polandia sendiri sebenarnya sudah cukup lama. Tercatat sejak abad ke-14 muncul kelompok Islam pertama kali bernama Muslim Tatar. Nenek moyang mereka berasal dari wilayah Azerbaijan dan Turki. Memasuki abad-17, jumlah Muslim Polandia sempat berlipat ganda akibat meningkatnya imigrasi orang-orang Islam sekitar 100 ribu orang.

Namun, seiring berjalannya waktu, jumlah itu kembali menyusut karena berbagai perang yang dilalui Polandia dan menjatuhkan banyak korban jiwa. Kini, dari 0,1% penduduk Muslim yang bertahan merupakan komposisi dari orang-orang Muslim Tatar, para mualaf, dan imigran dari seluruh dunia.

Kasia Narkowicz, peneliti Islamofobia dari Universitas York Inggris, dalam wawancaranya bersama World Politic Review mengatakan, sebelumnya kelompok yang paling banyak mengalami diskriminasi dan represi di Polandia adalah orang-orang Yahudi. Namun sekarang umat Islam menggantikan posisi itu.

Setidaknya, pertukaran kemalangan itu terjadi sejak tahun 2010, ketika muncul sebuah kampanye yang menentang pembangunan sebuah masjid di Warsawa dengan dalih radikalisme Islam. Saat itulah serangan pertama terhadap masjid mulai terjadi di penjuru Polandia, baik oleh individu maupun kelompok yang pelakunya jarang teridentifikasi oleh pihak berwenang.

Ambillah contoh, pada suatu malam di bulan November 2017, dua pria bertudung merusak pusat kebudayaan Muslim di Warsawa. Mereka kabur setelah memecahkan jendela dengan batu dan pecahan beton. Sementara menurut laporan Reuters, dua tahun setelah peristiwa tersebut, dua orang Polandia ditahan polisi karena telah merencanakan penyerangan terhadap Muslim.

Kabar baiknya adalah penyerangan itu urung terjadi. Namun kabar buruknya, kelompok supremasi kulit putih tersebut berencana melakukan serangan menggunakan senjata api dan bahan peledak, sebagaimana pengakuan mereka yang terinspirasi dari duo teroris Islamofobik dari Norwegia (aksi tahun 2011) dan Selandia Baru (aksi tahun 2019).

“Karena Polandia memiliki sedikit sekali populasi Muslim, lebih menantang bagi komunitas Muslim kecilnya untuk melawan serangan ini,” kata Kasia Narkowicz dalam wawancaranya. “Banyak orang Polandia benar-benar percaya bahwa ada sekitar tiga juta Muslim di negara ini, dan terus bertambah, sementara jumlahnya sebenarnya sekitar 35.000, kurang dari satu persen dari total populasi,” lanjutnya.

Ya, masyarakat Polandia memang banyak yang tak paham. Isi kepala mereka lebih banyak dipenuhi praduga dan kecurigaan, ketimbang hasil dialog dengan yang tak mereka pahami. Berdasarkan penelitian Center for Research on Prejudice pada tahun 2015, sekitar 80% orang Polandia tidak mengenal Muslim dengan baik.

Dari jumlah tersebut, dua pertiga di antaranya merasa tidak nyaman berdekatan maupun berhadapan dengan mereka. Di sisi lain, lebih dari separuh responden mengungkapkan kekhawatirannya bahwa orang-orang Islam akan mengancam “kesejahteraan ekonomi masyarakat” dan “nilai-nilai hidup Polandia.”

Lantas, apa yang Anda harapkan dari sebuah komunitas kecil yang bertahan dari segala bentuk penindasan oleh negara berhaluan kanan, framing media yang memperkeruh suasana, dan masyarakat yang selalu melihat sinis?

Sebagai masyarakat sipil yang berada jauh dari Polandia dan tidak memiliki otoritas apa pun, kita barangkali bisa berdoa dan menyuarakan kebenaran semampu kita. Tapi dengan status negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, saya kira kita punya potensi kolektif lebih dari itu.

Kuncinya adalah menunjukkan pada dunia, dan Polandia pada khususnya, bahwa para pemeluk Islam tidaklah seseram apa yang mereka pikirkan, sehinga gejala islamofobia dengan sendirinya akan hengkang. Dan sebagai Muslim, kita tentu saja bisa mulai dengan menjalankan ajaran-ajaran Islam yang ramah, menghormati perbedaan, melindungi yang lemah, serta menegakkan keadilan dan kemanusiaan di atas segala ego identitas apa pun. Bukan sebaliknya!

BACA JUGA Konflik Muslim-Hindu di India adalah Buah dari Mayoritarianisme yang Melembaga, Alih-alih Agama ATAU Artikel-artikel Menarik lainnya