Kita barangkali sepakat kalau salah satu kosa kata yang paling populer akhir-akhir ini adalah kata radikalisme atau mungkin terorisme. Tentunya kita juga tidak akan membantah kalau kata terorisme tersebut telah menjadi label yang melekat–atau dilekatkan—terhadap beberapa kelompok Islam dan dipergunakan untuk mengidentifikasi mereka dari kelompok Islam lainnya. Demikian intens pelabelan tersebut, sehingga terbangun stigma yang kuat bahwa beberapa kelompok tersebut adalah teroris yang telah menciptakan instabilitas berskala global.
Negara-negara di berbagai kawasan pun serentak mengarahkan perhatiannya pada isu terorisme ini. Seakan telah terjadi kesepakatan untuk memunculkan sikap perlawanan terhadap “isme” yang satu ini hingga ke akar-akarnya. Dipimpin Amerika Serikat, dimulailah upaya-upaya kongkrit pencegahan dan penanggulangan. Yang paling nyata, saat ini negara-negara mengarahkan kebijakan nasionalnya untuk mencegah dan bahkan membasmi organisasi-organisasi yang disinyalir terkait dengan jaringan teroris. Mulai dari membuat regulasi-regulasi yang membatasi gerak gerik mereka hingga tindakan penangkapan, pembredelan dan pembekuan aset mereka.
Gerakan pembaharuan Islam
Tuduhan ini pada dasarnya tidak lepas dari peran media yang sangat gencar dalam mempropagandakan keterlibatan organisasi-organisasi tersebut, sehingga terbangun opini bahwa mereka adalah kelompok Islam yang perlu diwaspadai keberadaannya. Tak heran, bila publik internasional cenderung berkesimpulan bahwa organisasi-organisasi itu adalah biang teroris.
Namun demikian, perlu digaris bawahi –terlepas benar tidaknya organisasi-organisasi yang penulis sebutkan sebagai teroris– bahwa akhir-akkhir ini telah muncul fenomena baru dalam diskursus dunia Islam, apa yang disebut sebagai gelombang baru revivalisasi pemikiran keagamaan.
Fenomena yang muncul di akhir dasawarsa 70-an dan semakin mengkristal menjadi gerakan keagamaan yang secara massif menyebar di berbagai belahan dunia tak terkecuali di Barat. Gerakan keagamaan ini dimanifestasikan melalui spirit, pemahaman, penghayatan dan praktek keberagamaan yang khas dan ekslusif.
Gerakan keagamaan ini membawa misi mengembalikan kemurnian ajaran agama kepada al-Quran dan Sunnah, serta mencegah masuknya budaya-budaya luar yang akan mengotori kemurnian ajaran Islam. Semangat pemurnian tersebut menjadi dasar ditegakkannya dakwah islamiyah yang bertujuan merubah tatanan yang ada menjadi tatanan yang islami.
Lebih jauh lagi, semangat revivalisme yang mereka gulirkan menekankan ditonjolkannya simbol-simbol keislaman dalam kehidupan keseharian umat. Artinya, penerapan cara dan praktek keseharian Rasulullah dalam bentuk bersorban, jenggot dan lain sebagainya.
Akar gerakan ini kalau ditelusuri sebenarnya sudah ada sejak masa khulafaurrasyidin. Kemudian menemukan wujud kongkritnya pada diri seorang tokoh Islam yang bernama Ibnu Taimiya. Beliau digambarkan sebagai tokoh yang sangat gencar memerangi apa yang disebut sebagai bid’ah dan khurafat baik melalui pidato maupun tulisan-tulisannya. Dan tidak segan-segan mengkritik ulama-ulama yang dianggap menyimpang dari ajaran murni tersebut tak terkecuali Imam Hanafi.
Demikian pula pada masa modern seperti saat ini, gerakan Islam revivalis muncul dengan wajah yang tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Hanya saja saat ini gerakan tersebut telah memakai strategi yang lebih variatif dan menggunakan sarana yang lebih maju seiring perkembangan teknologi. Bahkan kalau sebelumnya gerakan revivalis tidak lebih sebagai gerakan yang murni keagamaan, Wahabiyah telah lebih jauh menyeret dirinya ke arena politik. Setidaknya Arab Saudi dapat dijadikan model.
Seiring dengan bergulirnya era keterbukaan dan sejalan meluasnya akses terhadap informasi, gerakan revivalis tidak dapat mengelak dari interaksi dengan faham-faham dunia lainnya seperti demokrasi, HAM, civil society dan sebagainya. Faham-faham tersebut memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap gerakan revivalis. Hasilnya, gerakan ini tidak lagi bercorak monolitik ekslusif, tapi memiliki banyak varian. Dalam konteks pemikiran serta strategi yang digunakan mereka dapat dipetakan menjadi dua corak.
Pertama, corak radikal kekerasan. Ini dapat diwakili ISIS, Jamaah Islamiyah, Al Qaida dan lain-lain. Radikal yang dimaksud di sini adalah “radic”, mendasar dan tanpa kompromi. Sifat radic tersebut setidaknya dapat dilihat dari cara memandang ajaran Islam dan strategi penyebarannya. Islam dan ajarannya dipandang sebagai satu-satunya pilihan jalan keselamatan sehingga harus terbebas dari segala hal yang berbau bid’ah dan khurafat.
Kedua, corak moderat. Ini dapat diwakili oleh pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pandangan kelompok moderat ini Islam memang harus dimurnikan, akan tetapi Islam juga tidak menutup diri dari pengaruh-pengaruh luar selama tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah.
Kedua corak gerakan ini memiliki kesamaan dalam hal orientasi dan target yang ingin dicapai, keduanya menginginkan dikembalikannya ajaran Islam yang murni (puritanisme). Lebih mendasar lagi bahwa kedua corak tersebut sama-sama memandang Islam sebagai agama yang mencakup segala hal, mulai dari masalah yang paling privat hingga urusan kenegaraan. Keduanya berpegang pada konsep al-Islam din wa al-daulah.
Provokasi
Yang menarik adalah isu terorisme yang mencuat akhir-akhir ini sering dikaitkan dengan corak radikal di atas. Apakah pengkaitan tersebut proporsional atau tidak? Itulah pertanyaan yang perli dijawab.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sederet tindakan teror yang terjadi akhir-akhir ini selalu menampilkan simbol-simbol keislaman yang kental, inilah yang kemudian dipakai kalangan luar untuk membenarkan klaim mereka atas Islam. Kuatnya nuansa Islam tersebut secara tidak langsung telah menanamkan citra Islam sebagai agama radikal, keras dan anti dialog.
Pencitraan ini telah memicu munculnya sentimen anti Islam di mana-mana, setiap orang Islam dicurigai sebagai teroris yang mesti diwaspadai. Namun dibalik itu, propaganda luar terutama Amerika Serikat justru telah memprovokasi menguatnya militansi kelompok radikal Islam. Label yang dilekatkan kepada mereka bukannya dihindari melainkan diakomodasi dan kemudian melakukan penyesuaian dengan label tersebut.
Faktor propaganda juga secara tidak langsung memperkecil unsur agama (ideologi) sebagai faktor yang mendorong aksi teror, malah yang terlihat unsur eksternal (baca, propaganda) lah yang lebih berperan.
Dalam konteks ini, Islam seharusnya bukanlah aktor tertuduh yang wajib dieksekusi, melainkan hanya sebagai korban penggiringan opini secara sistematis dari pihak-pihak tertentu. Tapi dengan berbagai keterbatasan, mampukah kita memotong issu terorisme ini dan mengembalikan citra damai Islam? Mari kita coba bersama.
Sebelumnya pernah dimuat di Syir’ah 13