The media is the most powerful entity on earth, because the control the minds of the masses ~ Malcolm X
Seorang kawan bertanya kepada saya dengan nada sinis, bagaimana wajah islam Indonesia 20 tahun mendatang? Lalu ia mengambil Ipad miliknya dan membuka browser, ia ketik kata Jihad dan bermunculan pelbagai artikel, gambar dan video berdasarkan kata kunci itu.
“Lihat, kata Jihad ini saja sudah mewakili. Islam kini telah dibelenggu oleh mereka yang galak-galak,” tuturnya sembari menunjukk sebuah gambar anak-anak kecil yang menenteng senjata dan tampak mengucapkan sesuatu, ditambah belakangnya ada lafadz tasyahhud.
Saya hanya diam dan miris melihat itu. Lalu, di tempat yang sama, saya menuliskan beberapa kata kunci seperti Sholat, Syahadat, Iman dan beberapa nama kiai seperti Gus Dur, Kang Said Aqil Siradj, Prof. Quraish Shihab dan lain sebagainya. Hasilnya bisa ditebak; caci maki terhadap kiai dan sumber islam yang jauh dari unsur Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang), Tawasuth (moderat), dan I’tidal (Adil). Kalaupun toh ada yang bernafaskan islam ramah, jumlahnya kalah jauh dibandingkan yang galak-galak itu.
Tentu saja hal ini keliru. Kata jihad, misalnya, yang saya pahami dan pelajari dari guru ngaji di pesantren idak seperti ini, bukan meneror atau menebar ketakutan. Ini sangat jauh dari esensi islam. Tapi di rimba internet, yang tumpuan utamanya adalah teknologi, segalanya jadi begitu berbeda.
Selama ini, dakwah yang digunakan untuk mendistribusikan ajaran islam tentu bertumpu dengan media. Kita sudah melakukannya, melalui media konvesional seperti forum kajian, majelis taklim maupun pesantren terbukti efektif sebagai agenda dakwah. Tentu model seperti itu akan senantiasa bertahan dan menjadi mampu mempengaruhi perspektif kaum muslim agar memahami nilai-nilai agama secara lebih utuh. Tapi, untuk saat ini, hal itu tidaklah cukup. Kita perlu cara baru untuk berdakwah.
Data yang dirilis WeAreSocial per Januari tahun 2017 ini saja pengguna internet di negeri ini pada kisaran 132,7 juta. Dari data ini, sekitar 106 juta merupakan pengguna aktif media sosial, yang diakses dari 92 juta akun media dari mobile. Jadi, hampir setengah penduduk Indonesia saat ini sudah melek internet dan menganggapnya sebagai bagian dari hidup. Lalu, pertanyaan ini akan mengerucut, bagaimana merespon revolusi media ini dalam kerangka strategi dakwah?
Fenomena #GenM
Riset terbaru dari Yuswohadi, Hasanuddin Ali dkk (#GenM, 2016) mendedahkan klasifikasi penting tentang fenomena dunia keislaman di Indonesia hari ini dan bagaimana seharusnya kita (pesantren) menjadi bagian dari dunia yang sedang berubah. Dan beriringan dengan teknologi. Dalam riset tersebut, mereka menyebut ada generasi generasi baru muslim Indonesia yang berbeda. Generasi Ini merupakan kelas menengah muslim yang terkoneksi dengan akses media digital dan membutuhkan sentuhan dakwah yang lebih interaktif, efektif dan mudah diakses. Mereka menyebut diri #GenerationMuslim atau disingkat #GenM. Lalu, Siapakah #GenM itu?
Kalau melihat teori generasi, mereka tidak termasuk Gen Y, Gen X seperti yang kerap kita lihat dari teori generasi ala barat untuk melihat klasifikasi masyarakat dan bagaimana mereka melihat segala sesuatu, baik ideologi maupun cara hidup. Secara spesifik #GenM berada di Indonesia dan merupakan generasi yang sekarang mendominasi digital di Indonesia dengan rataan umur 20 tahun (Rentang usia lahir akhir 1980 dan awal 1990).
Ciri-ciri #GenM yang paling tampak adalah, Pertama, religius. Mereka ini bisa saja produk pesantren, tapi kebanyakan orang biasa dan lagi senang-senangnya mempelajari agama. Kedua, cara pandang islam sebagai rahmatan lil alamin (universal goodness) bagi dunia. Bahwa segala kekacauan yang terjadi saat ini disebabkan oleh ketamakan manusia dan nilai islam bisa memberikan manfaat.
Ketiga, dan ini yang paling penting, #GenM ini modern, berpengetahuan dan melek teknologi. Sederhananya, bagi #GenM tiada bisa hidup tanpa internet. Apa pun yang mereka lakukan selalu beririsan dengan Google, Facebook, Twitter, Youtube, Snapchat dan teknologi lain. Keempat, makmur (High Buying Power) dalam artian, #GenM ini terlahir mampu membeli atau mengakses apa saja yang ia inginkan.
Melihat fenomena di atas, dalam lanskap dakwah islam, bagaimana seharusnya kita bersikap?
Ariel Haryanto dalam disertasinya bertajuk Identitas dan Kenikmatan (2015) melihat pola itu sebagai bentuk kegamangan identitas muslim, khususnya mereka yang tinggal di kota. Ariel menyebutnya sebagai bentuk post islamisme, politik dan kultural. Sebagai konsep, post islamisme memiliki arti kemunculan kembali simbol agama—biasanya dikonotasikan dengan Arab secara kebudayaan sebagai representasi islam. Secara politik, post islamisme ini hanya mampu bergerak di wilayah Timur Tengah dan sukar masuk ke Indonesia, tapi secara kultural perkembangannya bisa cukup signifikan.
Bukti kemunculan pola ini dapat dilihat dari budaya populer yang berkembang. Kita bisa mengambil contoh dari gimmick para ustadz di televisi yang dicitrakan sebagai sosok ganteng-cantik, atau juga para artis yang kerap menggunakan citraan budaya arab semisal gamis atau hal-hal yang berbau arab lain sebagai representasi keislaman mereka. Belakangan, kita mengenal ada istilah ganteng syar’I atau cantik hijabi dalam media sosial sebagai bentuk ikon baru anak-anak muda.
Keberadaan mereka tentunya akan berpengaruh ke masyarakat dan membentuk budaya populer. Maka, dari analisis di atas, tak mengherankan pula dunia digital islam kita hari ini lebih banyak diisi oleh islam kanan. Misalnya, kemunculan Yufid TV beserta jaringannya dan banyaknya web garis keras yang mendominasi dunia keislaman di digital. Hal ini tidak bisa kita anggap remeh. Data yang kami temukan, dari 20 web keislaman teratas di Indonesia, praktis Cuma NU Online yang mampu masuk ke 5 besar berdasarkan rank Alexa (lihat di bagan). Selebihnya—atau bisa dibilang semuanya—dikuasai oleh mereka yang galak-galak ini.
Itu saya kira menjadi jawaban dari pertanyaan kawan saya di pembuka tulisan ini, jika kondisi digital hari ini tidak berubah, maka bisa dipastikan wajah keislaman kita akan bopeng sebelah. Betapa tidak, di satu sisi kita senang bahwa generasi baru ini menyukai islam dengan segala aspeknya, tapi di sisi lain diskursus keislaman yang berada di internet ini jauh dari nilai-nilai keislaman yang kita yakini.
Hal itu diperparah dengan hasil riset dan survei Jaringan Gusdurian bekerjasama dengan INFID (2016) bahwa tokoh keislaman yang dikenali anak-anak muda 5 besar tertinggi hanyalah Gus Dur (7.9 %), Ust. Jefri (6.6 %), Ust. Yusuf Mansyur (4.1 %) AA Gim (4.1 %) dan Ust. Maulana (3.8 %). Nah, dari data tentunya kita bisa mulai tergerak bahwa goes digital merupakan keharusan. Tentu kita tidak mau guru-guru pesantren kita terlupakan, bukan?
Menurut saya, berdakwah dengan menyasar #GenM ini sebenarnya jauh lebih mudah. Mereka ini generasi yang relatif gampang ikut apa pun yang menurut mereka bagus, termasuk juga pembelajaran agama. Googling bagi mereka laiknya makan-minum bagi kita. Untuk itu, harusnya sudah menjadi tugas kita untuk memberikan pengetahuan agama ini dan menyajikannya di dunia digital.
Dalam dunia teks misalnya, harus mulai menuliskan ulang kitab-kitab yang pelajari. Mulai dari ibadah, tafsir, syariah, siroh dan lain sebagainya. Lalu, menjadikan situs kita rujukan, tempat belajar islam secara digital. Atau turut menulis dan mengirimkannya ke sindikasi media islam moderat seperti NU Online, islami.co, fiqihmenjawab.net, arrahmah.co.id—situs ini merupakan versi moderat dari dari arrahmah.com pimpinan Abu Jibril yang terbukti keras dan jihadis (pernah diblokir Kemenkominfo karena dianggap mendukung terorisme) dan lain sebagainya.
Dari segi audio, bisa dimulai dengan merekam pengajian-pengajian yang ada—cukup dengan Handphone dan mengunggahnya di media sosial bisa jadi pilihan menarik. Apalagi saat ini dunia digital di kalangan santri sudah bergeliat. Bahkan mulai berjejaring seperti yang dilakukan oleh AIS Nusantara (Arus Informasi Santri) yang menggunakan Instagram sebagai media dakwah.
Merebaknya aplikasi livestreaming di media sosial tentu menjadi angin segar bagi dakwah keislaman. Youtube, Twitter, Instagram bisa kita jadikan wahana untuk menciptakan kiai-kiai pesantren dan mengenalkannya kepada publk awam. Di platform video sendiri, anak-anak muda NU sedang merintis aplikasi bernama NUTIZEN dan berikhtiar untuk me-livestreaming-kan kiai dan pesantren di penjuru negeri. Mimpinya, tiap pesantren memiliki saluran televisi tersendiri, lengkap dengan ngaji kiai dan bisa ditonton di seluruh dunia.
Saya membayangkan, jika era internet benar-benar terjadi dan merata. Artinya, persoalan internet bukan lagi kendala di Indonesia dan pesantren sudah mempunyai TV digital masing-masing, maka akan dengan sangat mudah orang belajar keislaman. Orang ingin belajar kitab Tafsir Jalalayn, misal, bisa langsung ke kanal pesantren Lirboyo atau Kitab Hikam bisa ke Pesantren Ciganjur dan lain sebagainya.
Jika hal ini terjadi, maka kita akan benar-benar menguasai di era internet yang tanpa batas ini. Islam yang ramah akan kembali mengusai dan menjadi diskursus utama di masyarakat. Dan saya bisa tersenyum menjawab pertanyaan teman saya di atas bahwa wajah keislaman kita 20 tahun akan cerah dan mewartakan islam yang rahmatan lil alamin. Tapi, apakah pesantren (dan kita) sudah siap menghadapi era ini?