Fenomena Generasi Muslim Baru Tanpa Masjid

Fenomena Generasi Muslim Baru Tanpa Masjid

Era digital seperti saat ini, kian marak bermunculan generasi muslim baru tanpa masjid. Seperti apakah fenomena itu?

Fenomena Generasi Muslim Baru Tanpa Masjid

Kuntowijoyo (2001) pernah memberikan pernyataan bahwa generasi muslim baru telah lahir dari rahim sejarah tanpa kehadiran sang ayah, tidak ditunggui saudara-saudaranya. Kelahirannya bahkan tidak terdengar oleh muslim lainnya. Mereka kini bermekaran dan ada di mana-mana. Pengetahuan agama mereka bukan dari lembaga konvensional, seperti masjid, pesantren, atau madrasah, melainkan dari sumber anonym, seperti kursus, seminar, buku, majalah, kaset, CD, VCD, internet, radio, dan televisi.

Pernyataan ini dibuat oleh Kuntowijoyo pada tahun 1999. Pada saat itu, fenomena seperti ini sangat terlihat jelas dalam masyarakat kota. Hal ini dikarenakan akses masyarakat kota untuk informasi terbuka lebar, sehingga memudahkan mereka untuk mencari informasi terkait dengan ajaran agama. Kuntowijoyo menilai bahwa gejala seperti ini banyak terjadi pada generasi muda. Generasi ini yang kemudian disebut oleh Kuntowijoyo sebagai generai muslim baru perkotaan.

Generasi muslim tanpa masjid ini muncul dikarenakan kurang intensifnya interaksi mereka dengan masjid. Sejak SD hingga Perguruan Tinggi, anak muda telah diasingkan dari lingkungan masjid atau pesantrennya. Adanya pengajian dalam sekolah; adanya agenda OSIS bidang keruhaniaan; pengajian di televisi dan media lainnya, memberikan pemenuhan keruhanian para siswa, sehingga model seperti ini justru menjauhkan siswa dari pusat keagamaan di kampungnya, di masjid atau pesantren.

Bahkan di dalam masyarakat modern saat ini, keberadaan internet semakin berkembang pesat dan memberikan berbagai informasi terkait dengan ajaran agama. Mulai dari ajaran agama yang moderat hingga radikal pun bermunculan di internet. Dampaknya adalah konstruksi masyarakat muslim Indonesia yang selama ini dipengaruhi oleh dua ormas besar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, semakin menipis. Sebab, masjid dan pesantren yang selama ini dikuasai oleh dua ormas tersebut kurang diminati oleh generasi muslim baru.

Konstruksi keberagamaan yang selama ini terlihat merupakan hasil dari adanya keterlibatan secara intens oleh kelompok NU dan Muhammadiyah dalam masyarakat. Muhammadiyah memiliki basis gerakan di kota ditandai dengan banyaknya masjid perkotaan yang dikuasai, sedangkan NU bergerak di pedesaan memiliki peran besar dalam membentuk karakter keberislaman masyarakat Indonesia.

Meskipun pada saat Pra Revolusi, dan bahkan hingga pertengahan Orde Baru, antara NU dan Muhammadiyah terjadi polarisasi, antara NU yang tradisionalis dan Muhamamdiyah modernis, akan tetapi semenjak massifnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme di Indonesia pada akhirnya menyatukan NU dan Muhammadiyah dalam bingkai kelompok Islam moderat di Indonesia.

Akan tetapi, saat ini peranan dunia maya dalam konstruksi kesadaran masyarakat beragama memiliki andil yang cukup besar. Pengajian tiap hari di televisi; kanal-kanal pengajian di Youtube; selembaran pengajian akbar; memperkuat tesis Kuntowijoyo bahwa saat ini semakin banyak generasi baru muslim tanpa masjid. Ulama-ulamanya pun bermunculan di mana-mana; dan ulama sudah menjadi kategori intelektual.

Apa yang ditakutkan dengan adanya fenomena seperti ini adalah ketika kelahiran generasi muslim tanpa masjid ini justru ke arah radikal, terutama bagi kalangan muda yang sedang duduk dibangu perkuliahan. Dalam laporan Badan Nasional Penanggulan Teroris (BNPT) mencatat bahwa terdapat 7 perguruan tinggi yang terpapar radikalisme, yakni Universitas Indonesia (UI), Institute Pertanian Bogor (ITB), UNDIP, Institute Teknologi 10 November (ITS), Universita Airlangga (UNAIR), dan Universitas Brawijaya Malang (UB).

Pengamat radikalis mengatakan bahwa bibit radikalisme tumbuh di perguruan tinggi ketika negara memberhentikan semua kegiatan kampus. Pada saat itu pemerintah menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK), sehingga praktis kegiatan kemahasiswaan kosong dan mahasiswa mencari kegiatan pengganti diisi dengan kegiatan keagamaan.

Kuntowijoyo juga mengatakan bahwa pada saat itu terjadi ‘depolitisasi’ sekolah dan kampus lewat OSIS dan NKK. Akan tetapi, kegiatan kerohanian yang diadakan oleh kampus justru menjadi ladang subur bagi pertumbuhan gerakan radikal. Bagi kelompok radikal, hal ini menjadi kesempatan tersendiri untuk mengadakan berbagai pengajian alternatif di sekolah maupun di perguruan tinggi dengan muatan-muatan ajaran ekslusif.

Dengan adanya ajaran agama di media dan pihak sekolah/kampus memberikan tempat alternatif belajar agama, maka semakin banyak pula generasi-generasi baru muslim tanpa masjid. Sebab, anak-anak sekolah akan lebih tertarik untuk belajar agama bersama dengan teman-temannya karena masih seusia (peer group). Sedangkan pembelajaran di rumah dilakukan dengan cara melihat tayangan tv atau media sosial seperti facebook, youtube, dan media sejenisnya.

Jika kelahiran generasi baru ini berujung pada sikap beragama yang radikal, maka polarisasi antara muslim moderat dan radikal akan semakin nampak. Jika polarisasi antara NU yang tradisionalis dan Muhamamdiyah modernis sudah tidak lagi terlihat di era saat ini, karena sudah bersatu dalam bingkai moderat, maka dalam rumus oposisi biner yang dimunculkan adalah muslim moderat dan radikal. Wallahhu a’lam.

M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat aktif di Islami Institute Jogja.