Fenomena ekspresi keberislaman umat Islam di Indonesia kian hari menarik untuk disorot, terutama pasca runtuhnya Orde Baru. Bentuk ekspresi Islami di negeri ini mempunyai variasi-variasi yang menarik dan unik.
Pertama, dalam kondisi keislaman kita kontemporer, tidak bisa dilepaskan dari ragamnya bentuk-bentuk kelompok Islam. Menurut M.C. Ricklefs (2012), kondisi keberislaman kita di Indonesia hari ini terpolarisasi dengan ragamnya bentuk gerakan kelompok Islam. Kelompok-kelmpok ini secara garis besar terpolarisasi tebagi menjadi dua bentuk, antara yang mempunyai pandangan moderat dengan kelompok Islam yang berpandangan secara sempit.
Kelompok Islam yang mempunyai konotasi ke arah fundamentalisme Islam mempunyai perkembangan yang cukup besar setelah Orde Baru runtuh. Kelompok-kelompok ini berkembang tidak lepas dari konteks lokal dan internasional. Secara lokal, dengan adanya kran kebebasan masa reformasi memberikan kelompok ini kebebasan gerak untuk memperkuat basisnya.
Selain itu, konstelasi internasional tidak bisa dilepaskan dari menguatnya kelompok ini. Mereka juga menjalin afiliasi dengan kelompok Islam trans-nasional. Beberapa kelompok pernah menjalin koneksi dengan jaringan teror Timur Tengah, Al-Qaeda dan belakangan ini diduga juga berkoneksi dengan ISIS. Beberapa kelompok ini seringkali mendalangi aksi-aksi teror di negeri kita.
Selain dengan menguatnya kelompok yang mengarah ke dalam fundamentalisme Islam. Kelompok Islam yang mempunyai pemikiran moderat, juga mempunyai peningkatan yang cukup signifikan. Meningkatnya kekuatan kelompok moderat, mungkin juga bagian respon dari semakin berkembangnya fundamentalisme Islam.
Kedua, ada juga bentuk ekspresi keberislaman yang cukup menarik dalam arus modernitas dan pasar dunia televisi. Diawal-awal pasca Orde Baru, di televisi mulai marak yang disebut fenomena Ustadz Seleb. Para da’i seleb yang hilir mudik di panggung televisi untuk berceramah tentang Islam. Kita mengenal Ustadz Yusuf Mansur, Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym), Arifin Ilham dan Alm’ Uje.
Kemudian, belakangan ini, masih diteruskan oleh da’i-da’i seleb baru. Ada Ustadz Maulana, Mamah Dedeh, Zaki Mirza, Solmed dan belakangan lagi ada seleb sekaligus da’i Teuku Wisnu.
Fenomena para da’i seleb ini juga tidak bisa dilepaskan juga dengan adanya aktivitas bisnis berlabel Islami yang dilakukan oleh para ustadz seleb ini. Seperti dijelaskan oleh James B. Hoesterey (2012) dalam salah satu antologi artikel dalam buku Ustadz Seleb, Bisnis Moral dan Fatwa Online: Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer. Aa’ Gym selain berdakwah, juga membentuk bisnis-bisnis Islami, antara lain perusahaan televisi MQTV dan perusahaan penerbitan MQS.
Para ustadz seleb ini juga tak kalah populernya dengan para aktris dan selebritis di televisi. Para ustadz ini juga mempunyai pengemar yang cukup besar. Para penggemarnya ini kebanyakan merupakan muslim perkotaan kelas menengah yang masih berusia muda. Kehidupan para ustadz ini juga menjadi bagian trending dalam sorot kamera gosip selebrita nasional.
Ketiga, bentuk ekspresi berislam yang lain juga mewujud dengan fenomena bisnis syariah dan ekonomi perbankan syariah. Fenomena ini dimulai dari berdirinya Bank Muamalat pada awal tahun 90an. Kemudian dilanjutakan berdirinya bank-bank syari’ah lainnya paska Orde baru. Maraknya berdiri bank-bank syari’ah ini tidak lepas dari tuntutan kalangan umat Islam yang menuntut perbankan yang tidak melakukan praktik-praktik riba dan sesuai dengan asas-asas syari’at Islam.
Selain perbankan, belakangan ini juga menguatnya jual beli barang Islami secara online. Kerudung, baju koko, parfum, wewangian, makanan berbau arabik-arabik semacam olahan kurma dan berbagai macam pakaian syar’i juga meningkat.
Selain model ekspresi Islami seperti di atas, juga maraknya aktivitas situs-situs dunia maya berbasiskan Islami. Perkembangan ini juga tidak lepas dari dorongan berkembangnya dunia Internet di negeri kita. Aktivitas dalam dunia maya ini biasanya untuk mencari fatwa-fatwa atau hukum berkaitan dengan aktivitas peribadatan dalam situs Islam di internet. Aktivitas ini oleh Nadirsyah Hosen (2012) dalam tulisan berjudul Fatwa Online di Indonesia disebut sebagai “Shopping Fatwa”.
Sebagaimana penjelasan di atas, kita semakin mengetahui ragamnya bentuk-bentuk dan fenomena ekspresi berislam di negeri ini. Yang menjadi pertanyaan kemudian, bentuk-bentuk ekspresi tersebut apakah mencerminkan sebuah peningkatan kualitas keberislaman ataukah malah sebaliknya; menandakan kedangkalan kualitas keberislaman kita? Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza. Penulis adalah pegiat di Gusdurian Jogja dan sedang menempuh studi Psikologi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.