Meluasnya busana muslimah di Indonesia semakin beragam. Saat ini hijab sudah menjadi tren bagi muslimah. Hijab sudah memiliki beragam bentuk dan variannya. Mulai dari hanya penutup kepala saja, hingga dengan model yang lebih stylis. Hal ini menunjukan bahwa hijab sudah menjadi sistem budaya di masyarakat Indonesia.
Salah satu bentuk lain dari hijab adalah cadar. Cadar memang bukan pakaian asli dari Indonesia. Cadar adalah pakaian yang diimpor dari Arab-Islam. Dengan model pakaian yang hampir menutup seluruh bagian kepala, kecuali mata dan umumnya berwarna hitam, sering kali dimanipulasi oleh kelompok yang tidak bertanggung jawat.
Di Indonesia, cadar sudah menjadi tren juga. Di banyak tempat ditemukan ada sejumlah kelompok agama yang mewajibkan bagi perempuan untuk menggunakan cadar. Alih-alih untuk menerapkan sunnah nabi, namun semakin banyak orang yang menggunakan cadar semakin sulit juga untuk mengidentifikasi orang tersebut.
Fenomena crosshijaber, laki-laki yang berpakaian seperti perempuan bercadar, di Indonesia sudah banyak terjadi. Semula kelompok ini mulai ramai di jagad media sosial, terutama Instagram, namun lambat laun mereka mulai menampakkan dirinya ke publik. Tentu hal ini meresahkan warga masyarakat. Sebab dengan menggunakan cadar, seorang laki-laki tersebut sulit untuk diidentifikasi. Ia bisa saja bertindak kejahatan dengan memanfaatkan pakaian wanita.
Kelompok crosshijaber memang sedari awal mereka lebih suka berpakaian layaknya perempuan. Fenomena cadar yang sudah menjadi tren di Indonesia juga dimanfaatkan oleh kelompok ini. Alih-alih hanya ingin sekedar melampiaskan perilaku yang tidak menyimpang, namun justru memanfaatkan tren itu untuk kejahatan.
Misalnya di salah satu masjid Sukaharjo pernah dijumpai orang laki-laki yang menggunakan cadar untuk bersua foto dan bersalam-salaman dengan jamaah perempuan. Awalnya jamaah perempuan tidak sadar kalau dia seorang laki-laki, namun pada saat laki-laki tersebut ingin mencuri baru ketahuan kalau dia memang seorang laki-laki.
Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua. Apa yang perlu digaris bawahi di sini adalah pemakaian cadar sulit untuk mengidentifikasi seseorang. Cadar yang digunakan oleh seorang laki-laki tersebut memiliki konsekuensi yang sangat besar. Bagi perempuan yang bercadar, mereka tidak akan tahu satu persatu wajah atau tubuh orang di sekitarnya. Mereka akan dengan mudah menganggap bahwa orang yang bercadar di sekitarnya adalah perempuan. Padahal dengan cadar, identitas diri bisa dimanipulasi. Akibatnya hal itu akan memicu potensi tindakan kriminal dan pelecehan seksual.
Konteks sosial-historis Indonesia berbeda dengan Timur Tengah. Di Indonesia orang-orang lebih bisa berdialog antara laki-laki dan perempuan. Kebebasan bagi kaum perempuan sudah menjadi budaya di Indonesia. Meskipun Indonesia berpenduduk mayoritas Islam, akan tetapi hal itu tidak melurutkan kesadaran untuk setara di ruang publik, sehingga identifikasi diri bagi seorang perempuan penting untuk dikenali oleh publik.
Berbeda dengan Timur Tengah yang memiliki budaya dan tradisi berbeda. Perempuan di Timur Tengah sulit untuk bisa tampil di ruang publik. Kebanyakan perempuan di sana hanya tinggal di rumah. Bagi masyarakat Timur Tengah, hal yang tabu apabila perempuan aktif di publik. maka dari itu, cadar tidak menjadi persoalan karena mereka tidak bersinggungan atau berinteraksi dengan orang banyak seperti di Indonesia.
Dari sini sudah nampak penggunaan cadar di negara yang memiliki kesadaran kesetaraan di ruang publik justru mempersulit proses identifikasi diri. Di Indonesia banyak perempuan-perempuan bercadar yang bebas bepergian ke mana-mana, bebas mengendari motor, bebas mengendarai mobil (sebuah pemandangan yang aneh jika dibandingkan dengan Timur Tengah).
Maka dari itu identifikasi diri sangat lah penting. Jangan sampai kebebasan perempuan bercadar di ruang publik justru dimanfaatkan oleh kelompok yang tidak bertanggung jawab. Dengan kata lain, pemanfaatan cadar oleh laki-laki sebagai bentuk kriminalitas model baru karena meningkatnya tren perempuan bercadar di Indonesia.
M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.