Belum lama ini saya berkesempatan untuk mengunjungi pulau Lombok yang terkenal keeksotisan pantainya. Saat perjalanan dari bandara Praya menuju ke kota tua Ampenan, saya takjub dengan suasana malam hari kota ini adalah cahaya masjid yang megah bisa dijumpai di sepanjang jalan menuju Lombok Barat.
“Masjidnya banyak ya, mas. Dan megah-megah ya,” ujarku kepada supir taksi yang mengantar saya.
Lantas, pria yang kira-kira berumur 40 tahunan itu pun tersenyum, dan dengan raut muka bangga ia menjawab,“Inilah mengapa kita dikenal sebagai kota seribu masjid.”
Setelah itu saya bertanya mengenai tradisi keislaman yang dipraktikkan di pulau ini. Ia bercerita tentang nyongkolan, sebuah tradisi untuk menerima mempelai perempuan. Pengantin akan diarak di jalan desa sembari diiringi tarian khas suku Sasak. Kalau di Jawa tradisi ini mirip dengan ngunduh mantu.
Mumpung bersama orang asli Lombok, saya kemudian mengorek beberapa informasi yang mengganjal di pikiranku, salah satunya wisata halal. Apa itu wisata halal?
“Itu cuma istilah saja, bang. Maksudnya semua yang dijual di tempat itu halal. No alkohol atau barang haram lainnya,” jawabnya, singkat.
Oh… Ternyata saya salah seorang yang termakan isu bahwa di NTB akan ada pantai yang dikhususkan bagi ikhwan atau akhwat.
Sehari kemudian saya berwisata ke kawasan Mandalika. Konon di sana terdapat pantai-pantai yang indah, yang sayang untuk dilewatkan jika berkunjung ke pulau ini.
Sebelum sampai di pantai Kuta, saya dibuat takjub dengan keberadaan sebuah masjid megah. ‘Bahkan di pinggir pantai pun ada masjid semegah ini?’ tanya saya dalam hati. Tidak mengherankan jika Lombok disebut sebagai kota seribu masjid.
Sepulang dari pantai menuju bandara, saya menemui kemacetan sebanyak dua kali. Ternyata itu terjadi karena jalan raya digunakan sebagai jalur nyongkolan. Alhamdulillah, bisa melihat secara langsung tradisi ini. Namun yang membuat saya bertanya-tanya kemudian adalah pakaian yang dipakai.
Pengantar perempuan mengenakan kebaya dan lelakinya mengenakan sarung seperti sarungnya orang Hindu.
“Ini tradisi masyarakat muslim?” Tanya saya kepada teman yang mengantar.
Ia menjelaskan bahwa tradisi nyongkolan adalah tradisi khas muslim Sasak, sementara pakaian yang dikenakan adalah pakaian adat suku tersebut.
“Setiap daerah pakaiannya berbeda. Muslim Sade dengan Bayan ada perbedaan motif berpakaiannya,” tegas teman saya.
Dalam hati saya langsung mak krentek. Inilah wajah Islam nusantara yang menampakkan dirinya melalui budaya. Budaya setiap tempat bisa berbeda, tetapi esensinya sama yakni mengekspresikan cara berislam.
Di Jogja ada sekaten. Di Solo ada nyadran. Di Jawa ada haul. Di banyak tempat ada halal bihalal. Inilah bentuk ekspresi keislaman yang tidak bisa ditemukan di semua tempat. Bahkan di jazirah Arab sebagai tempat ‘munculnya’ agama Islam. Semua diakui sebagai budaya Islam lokal dan menunjukkan kehebatan para walisongo dalam mendakwahkan Islam melalui jalur kebudayaan.
Baca juga: warna-warni keindahan islam
Ketika melihat keberagaman, saya selalu bertanya-tanya mengapa ada orang yang merasa Islam ditindas di negara Indonesia? Sementara masjid dan musala berdiri di mana-mana. Bahkan di Ambarrukmo Plaza Jogja, letak masjid yang indah berada di atap gedung mall.
Ketika saya kuliah di universitas milik yayasan Katolik, mahasiswa muslim bahkan diberi ruang untuk difungsikan sebagai musala. Saya kemudian menyimpulkan bahwa orang yang selalu merasa tertindas adalah orang-orang yang jarang melihat realitas. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan karena menganggap yang lain tak pernah ada.
Rasa kagum saya begitu besar pada keberagaman yang ada di negeri ini. Sampai kemudian saya mengernyitkan dahi pada sebuah postingan di Instagram dari seorang politisi partai HTI yang dibubarkan bernama Felix Siauw. Ia menghujat ide Islam Nusantara dan menggeneralisir para pendukungnya sebagai bagian dari jaringan Islam Liberal, pendukung penista agama, pendukung kaum Nabi Luth, dan berbagai tuduhan mengerikan lainnya.
Baca juga: Felix Siauw, Dakwah itu Tidak Sesempir Argumenmu itu loh
Rasanya ingin marah karena ulama sekelas KH Maimoen Zubair, KH Ma’ruf Amin, KH Mustofa Bisri, dan ulama lain yang mendorong konsep ini dianggap demikian. Tapi guru kami selalu berpesan bahwa orang-orang model seperti ini hanya cari perhatian karena tidak percaya diri dengan ide yang mereka perjuangkan.
Ia juga menyebut bahwa Islam Nusantara sebagai bagian perjuangan rezim untuk melakukan deislamisasi. Saya pun tertawa, apakah di kepala politisi hanya kekuasaan yang dipikirkan?
Pantas saja mereka rela menjual ayat dan sabda Nabi demi ambisi kekuasaan. Menggelorakan ayat-ayat perang untuk membenturkan sesama masyarakat.
Lagi pula untuk menuduh NU sebagai anti Islam akan tertolak dengan sendirinya. Jauh sebelum politisi semacam Felix lahir, NU dan para pendiri serta leluhurnya adalah penyebar ajaran Islam di negeri ini. Jumlah masjid yang didirikan ulama NU lebih banyak dari jumlah eksemplar buletin propaganda Al-Islam terbitan partai HTIز
Di Lombok saya juga menemukan ulama-ulama (Tuan Guru) yang nasab keilmuan sama dengan ulama-ulama di wilayah ini dengan para ulama NU yang tersebar di seluruh Indonesia. Rasa kesal saya kemudian hilang ketika suara Adzan menggema dari masjid-masjid sepanjang jalan menuju Praya. Ada banyak anak-anak berlarian mengenakan kopyah dan sarung menuju masjid. Ini juga khas Islam Nusantara yang tidak bisa atau sangat jarang ditemukan di negara-negara lainnya.
Ya, jika orang banyak piknik maka akan menjumpai banyak keindahan-keindahan, termasuk pelbagai manifestasi islam yang sudah bergumul dengan realitas sekitar.