Sebentar lagi perhelatan Pemilu digelar. Semua pasangan calon sudah mulai kampanye dan bersiap untuk maju menjadi pemimpin. Sebagian dari calon itu ada yang sudah menjabat sebelumnya, dan juga ada pendatang baru. Seperti biasa, menjelang Pemilu kebanyakan calon pemimpin berlomba-lomba untuk memberikan perhatian kepada masyarakat. Mereka mengampanyekan beragam program yang menarik perhatian dan menunjukkan kepeduliannya terhadap masalah-masalah kebangsaan.
Namun sayangnya, sebagian pemimpin, ketika sudah dipilih lupa dengan janji kampanye yang mereka sampaikan. Mungkin banyak faktor yang menyebabkan kelupaan itu. Bisa jadi karena terlalu sibuk memikirkan rakyat, sehingga janji yang dikampanyekan dulu terlewatkan.
Dalam hukum Islam, pemimpin yang melupakan janjinya tidak boleh dipilih kembali. Menapati janji adalah sebuah kewajiban. Bahkan dalam Islam, orang yang kerapkali mengingkari janji disebut sebagai orang munafik. Pada Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia V tahun 2015, Majelis Ulama Indonesia sudah membahas terkait masalah ini: bagaimana kedudukan pemimpin yang tidak menempati janjinya.
Majelis Ulama Indonesia menyatakan, setiap calon pemimpin publik, baik legislatif, yudikatif, ataupun eksekutif harus memiliki kompetensi dan kemampuan dalam menjalankan amanah. Calon pemimpin publik tidak boleh mengumbar janji untuk melakukan perbuatan di luar kewenangan.
Masyarakat mesti jeli dalam melihat siapa yang layak menjadi pemimpin. Jangan terbuai dengan kampanye sesaat para politisi. Perhatikan betul rekam jejak, kemampuan, dan kontribusinya. Kalau sudah pernah menjabat sebelumnya, lihat apakah pekerjaan yang dilakukannya sudah maksimal atau belum.
Majelis Ulama Indonesia menegaskan, “Pemimpin publik yang melanggar sumpah atau tidak melakukan tugasnya harus dimimintai pertanggungjawaban melalui lembaga terkait dan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemimpin publik yang tidak melaksanakan janji kampanyenya adalah berdosa dan tidak boleh dipilih kembali.”