Jika mendengar istilah perang, yang dipahami banyak orang adalah suasana berkecamuk jiwa-fisik dan darah, lalu kisah mereka yang terluka dan terbunuh, menang dan kalah. Begitupun dengan Pembebasan (fathu) Mekah, yang sering juga disebut sebagai salah satu perang (ghazw) yang diikuti dan dipimpin langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Detailnya, banyak orang tidak tahu. Padahal, dalam kejadian ini justru Nabi SAW melarang ada tetesan darah dan meminta semua umat Islam untuk menjaga senjatanya masing-masing agar tidak terhunus kepada orang-orang Quraish yang saat itu masih kafir dan menjadi musuh bebuyutan umat Islam, sejak tahun pertama kehadiran Islam sampai tahun ke-8 Hijriah, atau 20 tahun sejak awal Islam hadir. Mereka menghina umat Islam, menyiksa, merampas harta mereka, dan mengusirnya dari tanah air mereka sendiri.
Sehingga, ketika Nabi Muhammad SAW, pada tahun ke-8 Hijriah, mengumumkan keberangkatan menuju Mekkah dengan senjata penuh, hampir semua sahabat bersorak gembira, karena akan membalaskan seluruh kekerasan yang selama ini mereka alami dari orang-orang Quraish. Tapi tahukah kita, mengapa Nabi Muhammad SAW mengajak seluruh pasukan Islam menyiapkan diri menuju Mekkah?
Hal ini ada hubungannya dengan Perjanjian Damai Hudaibiyah tahun ke-6 H, yang ditandatangani Nabi Muhammad dari pihak Islam dan Suhail bin Amr dari pihak Quraish. Dalam perjanjian ini, disepakati genjatan senjata selama sepuluh tahun, sekaligus tidak boleh ada pembunuhan dan kekerasan antar masing-masing pihak, dan yang ikut berkoalisi dengan masing-masing pihak tersebut, kecuali harus dihukum sesuai aturan yang berlaku saat itu.
Nah, pada tahun ke-8, ada seorang Kabilah Khuza’ah yang bukan Islam dan ikut dalam barisan kolasi Nabi dibunuh Kabilah Bani Bakr yang ikut dalam koalisi kaum Quraish. Sesuai perjanjian, Kabilah Khuza’ah menuntut hukum balas dari Bani Bakr. Mereka menolak. Bani Bakr meminta koalisinya, yaitu kaum Quraish untuk mendukung mereka agar terbebas dari tuntutan hukum balas dari Khuza’ah. Kaum Quraish mendukung mereka secara penuh.
Bahkan, ketika Kabilah Khuza’ah datang ke Mekkah, minta dukungan dari bebagai kabilah Arab atas kasus pembunuhan yang dialaminya, justru orang-orang Quraish membunuh mereka dalam jumlah besar, kejam, dan mengerikan. Kabilah Khuza’ah merasa dizalimi dan tidak dilindungi. Mereka putus asa.
Namun, mengingat perjanjian Hudaibiyah dimana mereka ikut berkoalisi dengan Nabi Muhammd SAW, mereka pergi ke Madinah mengadu persoalan mereka.
“Tenang, kalian kami dukung sepenuhnya, kalian balik saja ke tempat kalian,” jawab Nabi kepada koalisi yang masih kafir itu, yaitu Kabilah Khuza’ah. Dan Nabi pun mengumpulkan semua orang dewasa yang mampu berperang untuk ikut berangkat bersamanya.
Saat itu, Nabi belum memberitahukan kemana perginya pasukan ini. Tujuanya agar orang-orang Mekkah tidak sempat menyiapkan diri di satu sisi, dan juga agar tidak terjadi keributan di antara berbagai kabilah lain. Cukup antara umat Islam dan kaum Quraish saja.
Jadi, pembebasan (fathu) Mekkah terjadi karena pelanggaran yang dilakukan orang Quraish terhadap perjanjian Hudaibiyah yang mereka sepakati bersama Nabi. Dan orang yang dibela Nabi dalam perjanjian ini adalah Kabilah Khuza’ah yang non-Muslim. Isunya menegakkan perjanjian perdamaian yang seharusnya disepakati, tetapi dilanggar oleh Quraish. Nabi datang untuk menagih komitmen perjanjian ini.
Di tengah jalan, begitu suasana sudah tenang. Nabi Saw mengumumkan kemana pasukan harus berangkat, yaitu Mekkah. Semua sahabat bersorak gembira karena akan memasuki dan menaklukkan Mekkah, tempat musuh bebuyutan mereka selama ini. Salah satu pemimpin pasukan bernama Sa’d bin Ubadah ra, pembawa bendera, dengan semangat mengumandangkan slogan:
“Hari ini adalah hari pembalasan dan penghabisan mereka (al-yaum yaum al-malhamah),” katanya dengan berapi-api.
Nabi SAW mendengar slogan tersebut dan meminta Ali bin Thalib RA untuk menegur Sa’d bin Ubadah ra dan mencopotnya sebagai panglima pembawa bendera. Setelah dicopot, bendera diserahkan kepada anak Sa’d bin Ubadah yaitu Qays bin Sa’d bin Ubadah. Dan Nabi pun mengganti slogannya dengan kalimat:
“Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yaum yaum al-marhamah),” tegas Nabi Saw dengan penuh haru.
Suasana memang tegang, panas, dan penuh semangat. Namun Nabi SAW tetap menguasai para sahabat agar tenang dan tidak mudah terprovokasi. Bahkan, ketika beberapa tetua Quraish datang memasuki perkemahan umat Islam minta negosiasi mereka dikawal dengan aman dan bertemu Nabi SAW.
Utusan Quraish meminta Nabi untuk mundur, karena ini masalah dengan Kablah Khuza’ah, bukan dengan Nabi. Namun, Nabi SAW tetap bergeming, karena Quraish sendiri yang telah melanggar dan membunuh orang-orang Khuza’ah, yang sekalipun non-Muslim tetapi adalah sekutu Nabi.
Negosiai tidak berhasil. Tetapi, Nabi Saw memberi jaminan keamanan kepada semua orang Quraish yang tidak menghunus pedang, yang mau tetap tinggal di rumahnya, atau memasuki rumah Abu Sufyan, atau memasuki masjid al-Haram Mekkah. Semua orang akan dijamin aman. Hanya mereka yang masih ngeyel, menghunus pedang, dan melawan, yang akan diperangi.
Dan ketika pasukan Nabi Saw meringsek masuk kota Mekkah, semua penduduk Mekkah tertunduk ketakutan akan balasan apa yang akan mereka terima.
Namun, di hadapan semua orang-orang Quraish, yang menjadi musuh bebuyutan selama hampir 20 tahun ini, Nabi Saw berpidato:
“Apa yang harus aku lakukan kepada kalian semua ini? Apa coba yang kalian bayangkan tentang balasanku pada kalian semua?” tanya Nabi Saw kepada mereka.
Semua membayangkan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, perampasan, pengusiran yang telah dilakukan Quraish terhadap umat Islam selama 20 tahun tersebut.
“Kami melihat Anda adalah saudara kami yang baik hati, dan anak dari saudara kami yang juga baik hati,” jawab orang-orang Quraish.
“Pulanglah, kalian semua diampuni dan bebas dari hukuman apapun (idzhabu fa antum thulaqa),” jawab Nabi Saw penuh haru, syahdu, dan menyatukan.
Subhanallah…
Siapakah di antara kita dan pemimpin kita yang memiliki hati mulia sebagaimana baginda Nabi Saw, atau setidaknya berusaha meneladani untuk terus menggaungkan perdamaian, persatuan, dan kebersamaan sesama warga bangsa Indonesia, sesama umat Islam, dan sesama manusia dunia?
Allahumma Shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa alihi wa shahbih wa man tabi’ahu wa sallim.
(AN)