Pengembaraan Intelektual dan Spiritual Fariduddin Al-Aththar

Pengembaraan Intelektual dan Spiritual Fariduddin Al-Aththar

Selama berabad-abad, syair Aththar memengaruhi para penempuh jalan spiritual baik di Timur maupun Barat. Namun, karya-karyanya tidak begitu dikenal di Barat tidak sebagaimana karya-karya “murid”nya, Rumi, yang dikenal secara luas. ~Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, (2000: 49)

Pengembaraan Intelektual dan Spiritual Fariduddin Al-Aththar
rumi

Selama berabad-abad, syair Aththar memengaruhi para penempuh jalan spiritual baik di Timur maupun Barat. Namun, karya-karyanya tidak begitu dikenal di Barat tidak sebagaimana karya-karya “murid”nya, Rumi, yang dikenal secara luas. ~Mojdeh Bayat dan Muhammad Ali Jamnia, (2000: 49)

Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abu Bakr Ibrahim bin Abu Ya’qub Ishaq al-Aththar. Sedangkan nama kuniyahnya adalah Abu Hamid atau Abu Thalib. Menurut pendapat yang valid sebagaimana dikatakan oleh Abdul Wahhab Azzam dalam bukunya, At-Tashawwuf wa Farid ad-Din al-Aththar, ia dilahirkan pada tahun 513 Hijriyah di desa Kadkan, Naisabur. Al-Aththar wafat dan disemayamkan di Naisabur pada tahun 627 H. Ayahnya adalah seorang sufi yang menjadi murid dari Syaikh Quthb al-Din Haidar. Sebagaimana para pelajar lainnya, Al-Aththar juga berguru kepada guru dari ayahnya tersebut.
Farid al-Din al-aththar menggantikan pekerjaan ayahnya dan menjadi penjual minyak wangi (Aththar). Ia juga mengobati banyak pasien dan memberikan resep obat kepada mereka. Ratusan pasien datang untuk berobat kepadanya. Namun al-Aththar kemudian meninggalkan pekerjaannya untuk melakukan sebuah pengembaraan intelektual-spiritual, berkarya, dan beribadah.

Pengembaraan Intelektual-Spiritual al-Aththar
Sebelum melakukan pengembaraan intelektual dan spiritual, al-Aththar dikejutkan oleh sebuah peristiwa yang mengubah dirinya dari penjual minyak wangi menjadi pencari jalan spiritual. Kisah tersebut diceritakan oleh Abdurrahman al-Jami dalam karyanya Nafahat al-Uns, berikut:
Suatu hari, seorang darwis yang datang ke apotek untuk meminta obat sangat terkagum-kagum dengan kemewahan toko itu. Dengan membuka lebar, ia melihat-lihat toko itu dan kemudian menyelidik serta mengamat-amati penampilan al-Aththar. Al-Aththar bertanya kepadanya ihwal mengapa ia memandangi dirinya.
“Aku heran bagaimana engkau akan mati jika engkau harus meninggalkan semua kekayaan ini,” jawab sang darwis.
Merasa dihina, al-Aththar menukas dengan marah, “Aku akan mati sama halnya dengan caramu mati.”
“Tapi aku tidak punya sesuatu pun yang aku khawatirkan. Yang kumiliki hanyalah jubah yang kukenakan dan kasykul (mangkuk untuk mengemis) ini. Nah, apakah engkau masih juga akan mengatakan bahwa engkau akan mati sama seperti caraku mati?” Tanya sang darwis kembali.
“Tentu saja,” jawab al-Aththar.
Mendengar ini, sang darwis pun mengucapkan nama Allah dan, dengan menggunakan kasykul-nya sebagai bantal, berbaring lalu ia mati.
Setelah peristiwa ini ia akhirnya mengubah cara pandang sebelumnya. Ia sedekahkan harta benda miliknya. Kemudian menjalani laku spiritual.
Terlepas dari kebenaran kisah yang diceritakan oleh para penutur kisah-kisah sufi, pada akhirnya al-Aththar melakukan pengembaraan intelektual-spiritual ke seorang sufi yang menjadi mahaguru di Naisabur; Syeikh Ruknuddin Abdurrahman bin Abdushomad. Al-Aththar berguru kepadanya selama beberapa tahun. Di antara guru al-Aththar lainnya adalah Syekh Qutbh al-Din Haidar. Sufi majdzub yang sudah sampai pada derajat wali abdal.
Selain berguru kepada sejumlah syeikh secara langsung. Al-Aththar secara tidak langsung juga berguru kepada Imam Ghazali. Bahkan al-Ghazali bagi al-Aththar memiliki peranan yang cukup besar dalam mengilhami dan memengaruhi pemikirannya. Salah satu karya al-Ghazali; Risalah at-Thair (Risalah Burung) adalah karya yang mengilhami al-Aththar dalam menulis Manthiq at-Thair.

Manthiq at-Thair Karya Monumental Al-Aththar
Badi’ Muhammad Jum’ah, dalam Muqaddimah Manthiq al-Thayr, sebagaimana dikutip oleh Kiai Said Aqil Siroj dalam disertasinya menyebutkan bahwa karya-karya al-Aththar mencapai seratus empat belas karya sebagaimana jumlah surat dalam al-Quran al-Karim. Karya-karyanya berbentuk syair maupun prosa. Mantiq al-Thayr adalah karyanya yang teragung. Kitab tersebut ditulis di akhir hidupnya setelah melakukan perjalanan yang amat panjang. Pemikiran al-Aththar mengalir di ranah tasawuf falsafi. Mantiq al-Thayr adalah sebuah karya yang memuat dasar-dasar tasawuf fundamental. Al-Aththar mengukuhkan tasawuf dengan pandangan-pandangan filosofis yang sangat mendalam. Salah satu tokoh yang mengagumi dan mengagunkan al-Aththar adalah sufi besar Jalaludin Rumi. Bahkan secara tidak langsung Rumi menjadikan al-Aththar sebagai gurunya. Ia mengatakan, “Al-Aththar telah mengelilingi kota-kota kerinduan yang berjumlah tujuh, sementara saya masih berputar-putar dalam satu belokan.”
Abdul Wahab Azzam menyebut karya al-Aththar lainnya yang di antaranya: Khasr wa Namah, Asrar Namah, Manthiq al-Thayr, Mushibat Namah, al-Diwan, Syarh al-Qalb, Mukhtar Namah, Ilahi Namah, Asytar Namah, Jawhar al-Dzat, Tadzkirat al-Awliya’, Bul Bul Namah, Madzhar al-‘Ajaib, al-Shirat al-Mustaqim, Lisan al-Ghayb.
Badi’ Muhammad Jum’ah mengatakan, “secara umum, tidak diragukan lagi bahwa Manthiq al-Thayr adalah karya paling agung dan paling banyak dikenal dari Al-aththar. Hampir tidak ada satu karya lain al-aththar yang menandingi Manthiq al-Thayr kecuali Tadzkirat al-Awliya’. Para pengkaji tasawuf era sekarang memiliki perhatian yang cukup besar dalam menerjemahkan karyan al-aththar ini sebagaimana perhatian para penulis ensiklopedia di setiap zaman. Manthiq al-Thayr telah diterjemahkan ke dalam bahasa India, Turki, Prancis, Swedia, Inggris, dan akhir-akhir ini telah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia.

Wallahu A’lam bisshawab