Selain Ideologi, Faktor Sosial Apa yang Menyebabkan Peristiwa Christchurch dan Islamophobia di Barat?

Selain Ideologi, Faktor Sosial Apa yang Menyebabkan Peristiwa Christchurch dan Islamophobia di Barat?

Apa saja faktor yang terjadi di Christchurch selain ideolog? Tulisan ini coba mengulik hal itu

Selain Ideologi, Faktor Sosial Apa yang Menyebabkan Peristiwa Christchurch dan Islamophobia di Barat?

Publik dunia terkaget dan mengutuk teror yang terjadi di Christchurch, apalagi disiarkan langsung. Brandon Tarrant, pelaku teror, bahkan sebelum kejadian itu, menulis catatan kecil di laman media sosialnya yang berisi hasrat menghabisi orang-orang selain kulit putih yang dianggapnya mencoba “menginvasi tanah kita.”

Aksi-aksi solidaritas terhadap korban penembakan di Christchurch dilaksanakan di mana-mana. Kita berharap saudara-saudara kaum muslimin tidak menanggapi kejahatan berlatar belakang rasisme itu dengan balasan kebencian. Kita juga berharap saudara-saudara kaum muslimin tidak membalasnya dengan tindakan teror serupa. Jika benci dibalas benci, teror dibalas teror, maka dunia macam apa yang ada dalam bayangan kita?!

Oleh karena itu, kita perlu menganalisa lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di Selandia Baru. Apa yang sebenarnya memicu aksi-aksi teror dan kebencian terhadap minoritas muslim di berbagai belahan dunia? Dan apa yang mungkin melatarbelakangi atmosfir kebencian, baik terhadap minoritas muslim maupun sebaliknya terhadap minoritas-minoritas lain oleh muslim yang mayoritas? Apakah motif teror dan kebencian itu murni karena faktor ideologi agama, ras dan jenis kelamin ataukah ada faktor-faktor lainnya?

Tulisan ini mencoba mengilustrasikan kemungkinan adanya faktor-faktor di luar ideologi yang menjadi asal-muasal aksi teror dan kebencian. Dalam hal ini, penulis menguraikan ulasan Prof. Dr. Mujiburrahman, MA, pembimbing tugas-tugas akhir kuliah penulis yang saat ini menjabat sebagai Rektor UIN Antasari Banjarmasin, dalam buku beliau “Mengindonesiakan Islam: Representasi dan Ideologi” (2008).

Dalam buku tersebut, Pak Mujib menyinggung kasus-kasus ejekan terhadap Nabi Muhammad melalui karikatur dan tulisan, seperti kasus “ayat-ayat setan” Salman Rushdie, kasus karikatur Nabi Muhammad di surat kabar Jylland Posten di Denmark, serta kasus-kasus lain yang serupa. Dalam menganalisa fenomena tersebut, beliau menggunakan analisa pembacaan relasi kuasa ala Michel Foucault yang intinya bahwa “ada relasi kuasa yang menyusun setiap wacana”. Orang berbicara dan berperilaku karena kondisi kuasa tertentu yang melingkupinya.

Melalui kacamata teoritis tersebut, Pak Mujib menganalisa bahwa dunia Barat sebenarnya menganut kebebasan beragama warganya selama agama tidak mencampuri urusan negara. Sekularisme Barat karena itu memberi peluang kepada setiap individu beragama dan kelompok keagamaan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang, tak terkecuali muslim dan kelompok-kelompok keislaman.

Maka wajarlah jika kelompok muslim seperti HTI pernah mengklaim diri tumbuh subur di Eropa, sebab orang Eropa tak perduli anda beragama atau tidak yang penting anda tidak mengganggu stabilitas negara. HTI di Eropa karena itu mendapat berkah dari sekularisme di sana, sama halnya dengan kelompok seperti Ahmadiyah yang juga mendapat “berkah” yang serupa.

Komunitas muslim, karena itu, tumbuh subur di Eropa. Hal itu diiringi dengan tumbuh suburnya kondisi ekonomi mereka. Kalangan mayoritas menanggapi kehadiran komunitas muslim di sana biasa-biasa saja ketika tingkat ekonomi mereka juga biasa-biasa saja. Namun ketika kehidupan ekonomi muslim mulai meningkat, banyak muslim yang menguasai pusat-pusat perbelanjaan, mendirikan perusahaan, dan menduduki jabatan penting di pemerintahan, masyarakat mayoritas nampaknya mulai terganggu.

Ketidaknyamanan itu mendapatkan momentum ketika gerakan radikalisme Islam mencuat. Wajah Islam yang sangar memberi kesempatan bagi eropa untuk semakin merusak citra Islam. Kekecewaan mulai tersisihnya “orang pribumi eropa” oleh muslim secara ekonomi menubuhkan kebencian dan kebencian itu diekspresikan dalam bentuk karikatur dan tulisan-tulisan.

Pola hubungan sosial semacam itu terlihat jelas dalam postingan Brandon Tarrant di media sosial itu, yakni ada rasa kebencian terhadap minoritas yang dianggap mengambil-alih kekuasaan ekonomi mereka yang mengklaim diri sebagai “pemilik tanah air”, yaitu orang kulit putih. Bukankah hal ini juga terlihat nyata dalam kebencian kaum muslim radikal dan konservatif di Indonesia?!

Dengan demikian, kasus-kasus Salman Rushdie, Jylland Posten, Christchurch, fenomena kebencian mayoritas terhadap minoritas dan lain-lain, lebih menandakan kondisi sosial masyarakat setempat ketimbang motif ideologis dan keagamaan.