Islami.co (Haji 2024) — Dapat gelar “haji” saat pulang dari tanah suci sepertinya sudah lumrah dan biasa. Tapi kalau sekaligus bawa istri, sepertinya bakal bikin kaget tetangga.
Itulah yang terjadi pada jemaah haji sekitar tahun 1900-an, saat moda transportasi hanya ada satu-satunya. Tidak ada pesawat atau jet pribadi saat itu, yang ada hanyalah kapal laut.
Durasi rihlah yang begitu lama itu membuat jamaah di kapal berkesempatan untuk mengenal lebih dekat antara satu dengan yang lain. Wajar jika ada beberapa jamaah yang akhirnya menemukan jodohnya di kapal. “Witing trisno jalaran soko kulino (Cinta bersemi karena seringnya interaksi)”, begitu kata pepatah Jawa.
Berangkat Haji dapat Istri
Fakta pernikahan di atas kapal bagi para jamaah haji asal Indonesia bukanlah bualan. Beberapa catatan perjalanan haji yang ditulis oleh beberapa ulama dan penduduk nusantara mengafirmasi kebenarannya. Abdul Malik Karim Amrullah, anak muda umur 19 tahun yang kelak menjadi ulama besar dan terkenal dengan sebutan Hamka pernah menulisnya dalam catatan otobiografi berjudul Kenang-kenangan Hidup.
Catatan tersebut memuat kisah pemuda bernama Malik, panggilan Hamka kecil saat berangkat haji sekaligus pengalaman-pengalaman yang terjadi di sana. Meskipun sebuah otobiografi, Hamka menuliskannya dengan kata ganti orang ketiga, ‘dia’ atau ‘pemuda kita’.
Dalam kisahnya, Malik yang hendak berangkat haji pernah ditawari untuk mempersunting seorang gadis Sunda. Bagi pembaca yang telah menonton film “Buya Hamka” volume I, pasti tidak asing dengan obrolan Hamka dan Sukarta saat rapat Muhammadiyah Sumatera Timur.
Perempuan yang membuat Malik hampir menikah di kapal milik Stoomvaart Maatschappij Nederland tahun 1927 itu bernama Kultsum. Gadis berumur 17 tahun itu mendapatkan banyak pujian dalam catatan Hamka muda.
Pertemuan Malik dengan Kultsum terjadi secara tak sengaja. Saat sore menjelang, para penumpang kapal mulai naik ke atas dek. Malik mendapati seorang perempuan muda yang menarik hatinya. Mulai saat itu, Malik mulai memperhatikannya, bahkan berharap-cemas bisa melihatnya setiap sore di atas dek. Ia melakukan ‘pencitraan’ dengan melanjutkan bacaan Al-Qurannya hingga perempuan itu datang. Dalam catatannya, Malik mengakui bahwa saat itu jiwa mudanya sedang bergelora. Ia pun tak sanggup berkata-kata saat perempuan itu duduk di sampingnya.
Pertemuan Malik dengan Kultsum di dek kapal ini pernah diabadikan dalam sebuah sampul buku bahasa Arab yang diterbitkan untuk orang Malaysia tentang tata cara melaksanakan ibadah haji berjudul Teman Hajj. Menurut Roff (1990:39) yang dikutip oleh Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji di Masa Silam, cover tersebut menggambarkan seorang pemuda yang sedang membaca buku di dek kapal, sedangkan di sampingnya berdiri seorang perempuan muda yang menatap awan.
Malik ternyata mendapat sambutan positif dari ibu Kultsum. Ia bahkan dipersilahkan mampir di tempat ibunda gadis Bandung itu di Kapal. Temannya, Sukarta yang juga berasal dari Cianjur, kerap ‘mendorong-dorongnya’ untuk meminang puan muda itu. Malik sebenarnya sangat tertarik dengan sang pujaan, hanya saja tawaran itu ia tolak dengan halus.
Setidaknya ada tiga alasan yang membuat Malik urung meminang Kultsum. Pertama, ia ingat tujuan awalnya berangkat haji. Misi keberangkatannya adalah untuk pembuktian kepada orang-orang yang ada di lingkungannya. Ia kecewa dan tersinggung karena diremehkan orang-orang di sekitarnya, khususnya ayahnya sendiri. Harapannya, saat pulang dari haji, ia tak lagi direndahkan dan diremehkan. Tujuan itulah yang membuatnya gagal meminang gadis Bandung itu. Selain itu, ia juga teringat dengan ayah dan ibunya sendiri. Ia khawatir, jika pulang haji malah membawa istri akan membuat kedua orang tuanya malu.
Kedua, soal budaya. Ada sebuah stigma di kampungnya, kalau menikah dengan orang Bandung, maka akan selamanya tinggal di Bandung. Ia juga mendapat contoh dan wejangan dari dua orang kawannya, yaitu Medan Labih dan Sutan Bainun. Kedua alasan tersebut ia jelaskan dengan gamblang dalam catatannya.
Ada sekitar lima sampai enam paragraf dari catatan Hamka yang memuat perjumpaannya dengan gadis Sunda itu. Sayangnya, setelah itu, nama gadis itu hilang.
Hamka muda tidak seorang diri saat ditawari menikah di kapal. Beberapa orang yang berangkat bersamanya juga mengalami hal sama. Tidak seperti Hamka yang menolak, mereka benar-benar jadi menikah.
Hamka bercerita dalam catatannya, ada temannya yang berasal dari Mandailing yang akhirnya menikah dengan seorang janda kaya asal Jakarta di kapal tersebut. Awalnya mereka hanya ngobrol di samping terali, pagar tepi kapal. Namun obrolan itu ternyata berlanjut ke jenjang yang lebih serius. Mereka berdua kemudian menikah di kapal dan melaksanakan ibadah haji bersama-sama.
“Mulanya bercakap-cakap di terali kapal melihat ombak memutih. Cakap punya cakap, hitungan beres, kelambu dipasang. Ke Mekkah bersama-sama, ke Madinah bersama-sama, ke Arafah bersama-sama. Apakah pulangnya bersama-sama, saya tidak tahu lagi.” (Hamka, Kenang-kenangan Hidup)
Bukan hanya dalam catatan Hamka, Harun Aminurrashid saat melakukan pelayaran ke Jeddah tahun 1960, sebagaimana dikutip Chambert-Loir juga menemukan adanya pernikahan di atas kapal. Ini menunjukkan bahwa pernikahan di atas kapal bagi orang-orang yang naik haji di masa silam adalah benar adanya.
(AN)