Pada hari ke-80, Pemerintah sudah mengerahkan seluruh tenaga, sumberdaya dan kekuatan, termasuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di empat provinsi dan 72 Kabupaten/Kota. Namun demikian, Indonesia kini disimpang jalan antara berfokus kepada perluasan tes massal dan pelaksanaan – perpanjangan PSBB ataukah mulai melonggarkan PSBB (new normal).
Pelonggaran PSBB dipandang mendesak agar pelemahan ekonomi dapat dikendalikan dan mulai dipulihkan. Angka PHK akibat Covid-19 sudah mencapai 1,7 juta pekerja (Ida Fauziyah, 1 Mei 2020), dan mayoritas prediksi memperkirakan kedepan 5 juta pekerja akan kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat Covid-19. Diluar soal dampak mendalam pada ekonomi Indonesia, satu hal yang perlu menjadi sorotan dalam penanganan Covid-19 adalah aspek Pelayanan Kesehatan, khususnya layanan tes massal Covid-19. Jumlah tes massal masih terlalu kecil dan sedikit untuk dapat memperoleh gambaran memadai.
Pada hari ke-80, mendekati 3 bulan Covid-19 di Indonesia, kemajuan-kemajuan yang layak dicatat dan diapresiasi adalah (a) meningkatnya jumlah tes massal per hari; (b) jejaring antar laboratorium pendukung tes Covid-19 tidak hanya dimiliki Kementerian Kesehatan (Kemenkes); (c) penerapan PSBB di berbagai daerah, terutama di DKI Jakarta dan Jawa Barat yang masih terus menjadi episentrum penularan virus Covid-19; (d) kepatuhan sebagian besar warga untuk menutup kantor dan bekerja dari rumah; (e) disetujuinya Perppu oleh DPR; dan (f) dukungan berbagai negara sahabat dan lembaga pembangunan internasional kepada Indonesia, baik pinjaman dan hibah.
Meskipun terdapat capaian dalam penanganan Covid-19, tetapi perlu dicatat bahwa Indonesia sebenarnya belum menampilkan kurva epidemi Covid-19 yang sesuai dengan standar ilmu epidemiologi. Menurunnya tren angka tambahan positif Covid-19 yang di klaim sebagai hasil dari penerapan PSBB, ternyata tidak menggambarkan situasi kondisi faktual sepenuhnya. Pasalnya, menurunnya angka tambahan positif, lebih dikarenakan situasi gambaran kapasitas tes spesimen ketimbang jumlah sebenarnya penduduk yang terinfeksi. (Pandu Riono, FKM UI)
Krisis kesehatan akibat Covid-19 di Indonesia juga masih menunjukkan kekhawatiran. Memasuki hari ke-80, jumlah kasus positif di Indonesia telah mencapai angka 19.189 orang, dengan korban meninggal 1.242 orang, dan sembuh 4.575 orang. Angka korban positif tersebut menempatkan Indonesia negara kedua korban positif tertinggi di Asia Tenggara setelah Singapura.
Pada tanggal 19 Mei, Juru Bicara pemerintah Achmad Yurianto menyatakan bahwa target tes massal 10 ribu akhirnya telah bisa dilampaui. Sebuah capaian yang layak diapresiasi tetapi sekaligus patut dipertanyakan, mengingat data informasi dari situs resmi infeksi emerging Kemenkes mengatakan hal lain, yaitu tren pantauan 30 hari terakhir angka tambahan tes yang telah dilakukan baru mencapai 3.600 tes per hari. Angka rata rata ini sudah tentu jauh dari instruksi Presiden Jokowi per 13 April yaitu tambahan 10.000 tes per harinya.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana kemampuan dan kapasitas teknis Kemenkes selaku manajer dan pelaksana penanganan kesehatan Covid-19 di Indonesia. Padahal Kemenkes sudah didukung alokasi anggaran dan kewenangan untuk mengadakan, membeli dan mendistribusikan Alat Kesehatan dan Tenaga Kesehatan. Kemenkes bagian Dewan Pengarah dalam Gugus Tugas Penanganan Covid-19, memiliki kewenangan penetapan PSBB di suatu daerah, serta diberikan alokasi anggaran besar oleh pemerintah.
Pertanyaan dan kekecewaan warga atas pelayanan kesehatan juga ditunjukkan kepada pengumuman pemerintah tentang kenaikan iuran biaya BPJS melalui Perpres No.64/2020. Hal ini tentu menambah beban warga yang sudah dihimpit oleh pelemahan pendapatan dan daya beli akibat pembatasan sosial. Tambahan pula, Pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan tanpa diikuti rencana terukur spesifik untuk meningkatkan pelayanan BPJS Kesehatan.
Pemerintah telah mulai mewacanakan rencana relaksasi/pelonggaran PSBB, dan kemudian disambut opini negatif warga (#Indonesia Terserah). Pemerintah mestinya menyiapkan dokumen resmi yang berisi fase-fase relaksasi atas dasar kriteria dan indikator perkembangan obyektif misalnya menurunnya tingkat kasus infeksi melalui data di rumah sakit atau tes massal di suatu daerah tertentu.
Dalam kondisi Covid-19, pelayanan kesehatan lainnya seperti Kesehatan Reproduksi juga tidak boleh diabaikan. Pengabaian ini nampak sulit bagi para Ibu untuk memperoleh alat kontrasepsi, sehingga banyak yang kemudian gagal KB. Hal sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala BKKBN, bahwa ada kenaikan persentase jumlah ibu hamil sampai dengan 105%. Baiknya angka persentase tersebut diturunkan dan dijaga pada angka dua digit.
Kegagapan Indonesia dalam merespon pandemi Covid-19 mencerminkan kondisi sistem kesehatan Indonesia yang tidak memadai. Rentannya sistem keamanan kesehatan dalam mencegah, mendeteksi dan merespon terhadap penyakit berbahaya serta terbatasnya sumber daya dan fasilitas layanan seharusnya menjadi pembelajaran untuk melakukan pembenahan sistem kesehatan Indonesia secara keseluruhan.
“Presiden dan Pemerintah perlu melakukan evaluasi atas efisiensi dan efektivitas pelayanan BPJS, serta evaluasi pengadaan obat-obatan oleh Kementerian Kesehatan. Hal ini sangat mendesak agar kenaikan iuran dapat diikuti bukti nyata peningkatan pelayanan di lapangan kepada warga dan peserta BPJS Kesehatan. Perlu dibentuk Tim Evaluasi Independen yang melibatkan para ahli, wakil pengguna layanan dan wakil warga,” tutur Zumrotin K Susilo, Pengurus Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP)
Hal senada juga diutarakan oleh Sugeng Bahagijo, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (INFID). Menurutnya, presiden Jokowi perlu melakukan evaluasi kinerja Kemenkes di masa pandemi ini, agar Kemenkes dapat mempercepat pencapaian target tes massal Covid-19.
“Presiden perlu mendorong peningkatan kinerja dan akuntabilitas Kemenkes. Sumbatan dan kendala manajemen, kelembagaan dan tata kelola harus segera ditemukan dan diatasi,” tambahnya.
Ah Maftuchan, Direktur Perkumpulan Prakarsa, juga menilai bahwa Pandemi Covid-19 telah membuka mata seluruh warga bahwa kualitas bidang kesehatan di Indonesia sangat memprihatinkan dan butuh perbaikan segera. Presiden harus memimpin langsung reformasi sistem kesehatan agar jiwa raga warga terlindungi.
“Beberapa aspek perbaikan yang paling mendesak antara lain peningkatan jumlah tenaga kesehatan, peningkatan fasilitas kesehatan dan perbaikan sistem tata niaga alat kesehatan dan obat-obatan,” tambahnya.
Berdasarkan analisis, pemerintah mestinya mendasarkan diri pada sains dan menempuh metode partisipasi multipihak sebelum memutuskan pelonggaran PSBB. Salah satunya adalah perlunya penyusunan dokumen pedoman teknis relaksasi/pembukaan PSBB yang berbasis indikator evidence (bukti lapangan). Dan tentu saja berdasarkan sains.
“Di sini peran dan kinerja Kemenkes ditagih untuk dapat menyediakan data data ilmiah sebagai rujukan bagi target target pemerintah,” tutur Bona Tua, Program Officer International NGO Forum on Indonesian Development (INFID)
Untuk memelihara harapan dan kepercayaan kepada pemerintah di masa sulit, kami mengusulkan langkah-langkah dan tindakan kepada Presiden Jokowi dan jajaran pemerintah Indonesia sbb :
- Mendukung target dan arahan Presiden agar Indonesia melanjutkan target jumlah tes massal dalam skala luas di Jabodetabek dan 10 kota besar-menengah dalam jumlah 000 tes perhari
- Melakukan Evaluasi Kinerja, Evaluasi Pelayanan, Evaluasi Kelembagaan (Fits for Purpose), serta evaluasi pengadaan obat – obatan kepada Kemenkes dan BPJS Kesehatan.
- Menjamin dan melanjutkan keterbukaan data dan informasi termasuk data data korban Covid-19, ketersediaan dan penggunaan anggaran
- Menyiapkan dokumen pedoman teknis indikator pelonggaran pembatasan sosial dengan partisipasi aktif ahli ahli kesehatan masyarakat dan laboratorium serta berbagai pemangku kepentingan dan menyiapkan pedoman teknis protokol, indikator dan tahapan pembukaan PSBB.