Daya tarik facebook pun semakin hari semakin digandrungi oleh semua kalangan. Bahkan yang tua pun tak mau kalah. Dari yang berlatar belakang pendidikan tinggi sampai yang tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pun turut hadir menyesaki pelataran facebook.
Diantara hal yang marak dijumpai di pelataran dinding facebook adalah konten berbau politik dan agama. Khusus konten-konten semacam ini, sebenarnya sah-sahnya atau bahkan memberi manfaat pada banyak orang. Paling tidak kehadirannya bisa memberikan informasi perkembangan terbaru tentang isu-isu politik dan keagamaan terbaru.
Namun ironisnya, justru di timeline semacam ini, kita kerap kali disuguhi perdebatan, caci-maki, kata-kata kasar, saling mengafirkan, dan sikap nyinyir antara satu pihak dengan pihak lain. Bahkan tak jarang berita-berita hoaks pun turut serta diunggah dan dibagikan. Semua itu, tentu saja, dilakukan untuk mendukung pendapatnya masing-masing.
Berhadapan dengan fenomenan semacam ini, layak kita renungkan beberapa hal yang tampak paradoksial berikut ini;
Bukankah agama mengajarkan jangan berdusta? Lalu sebagian orang beriman rajin sebar hoaks demi bela agama.
Bukankah agama mengajarkan jangan memfitnah? Lalu sebagian orang beriman rajin caci maki dan berkata kasar hanya karena beda pendapat.
Bukankah agama menghendaki agar menjaga persaudaraan, ukhuwah, dan kerukunan? Lalu sebagian orang beriman rajin bertengkar dan berbuat adu domba demi menjaga ukhuwah.
Bukankah agama mengajarkan jika kamu tidak malu, mak berbuatlah semaumu?. Lalu sebagian orang beriman tidak malu menghalalkan apa saja yang entah demi apa.
Sebagian orang beriman rajin melakukan itu semua hampir setiap hari dan disesaki dengan nada penuh kekerasan. Padahal sebagian anak-anak kita diam-diam mengamati. Dan berpotensi menirukannya.
Membela Islam dengan menyebarkan hal-hal syubhat, apalagi hoaks, via medsos telah terbukti memecah-belah. Dengan alasan ‘untuk antisipasi’, sebagian orang dengan enteng asal bagi-bagi informasi yang ternyata merupakan hoaks. Aktivitas berbohong jelas dilarang. Namun entah mengapa banyak yang tidak peduli.
Tiap hari menulis sesuatu yang berbau sindiran, nyinyiran, dan bahkan mengkafirkan orang lain. Tetapi jika hal itu ditujukan balik padanya, ia kemudian mendadak teriak hiteris dan merasa telah dizalimi.
Betapa paradoksnya kondisi semacam ini. Bahkan, soal ekspresi mencintai Nabi pun ada saja yang bertengkar dan saling menyalahkan; kelompok tertentu merasa lebih mencintai Nabi dan mengejek kelompok lainnya yang dianggap hanya berdusta dan berlebihan dalam mencintai Nabi. Orang mendadak bisa menjadi hakim atas perasaan cinta orang lain pada Nabi dengan menggunakan dirinya sebagai tolok ukur cinta yang paripurna.
Kita malah sibuk bertengkar tentang siapa yang paling representatif dalam mencintai Nabi.
Padahal kalau mau belajar sejarah, situasi semacam ini sudah berlangsung berabad-abad, sayangnya tak banyak yang mau mengambil pelajaran. Islam memang mengajarkan kedamaian, tetapi umatnya belum tentu mau berdamai.
Dalam situasi semacam ini ada beberapa sikap yang bisa kita lakukan: ikut larut dalam pertikaian dan saling berdusta, atau belajar sungguh-sungguh memperbaiki akhlak dan ilmu. Sehingga kalaupun hidup kurang bermanfaat bagi orang lain, setidaknya hidup kita tidak merugikan dan menyakiti orang lain.
Lebih dari itu, jika beriman pada yaumil hisab, idealnya kita yakin bahwa akan ada masa ketika mulut dikunci dan anggota tubuh menjadi saksi. Apakah jari-jari kita akan kita manfaatkan agar ia bersaksi telah melakukan kebaikan,atau ia bersaksi telah digunakan untuk memaki dan memfitnah.
Jika kita yakin yaumil hisab itu ada, maka idealnya kita berhati-hati. Dosa kepada orang lain lebih sulit proses pengampunannya karena menyangkut hak bani adam. Kehati-hatian itu perlu, karena Nabi SAW. pun pernah bersabda bahwa ada orang yang ibadah vertikalnya bagus namun bangkrut amalnya di akhirat. Jangan-jangan jempol dan jari-jari kitalah yang akan membangkrutkan amal kita. Na’udzubillah.
Wallahu A’lam.