Facebook Background, Puasa dan Imajinasi yang Terabaikan

Facebook Background, Puasa dan Imajinasi yang Terabaikan

Facebook Background, Puasa dan Imajinasi yang Terabaikan

[responsivevoice_button voice=”Indonesian Female” buttontext=”Play Audio Artikel”]

Ada penampakan gambar backgound di Facebook di bulan Ramadan. Mengapa?

Seminggu ini warganet heboh oleh fasilitas gambar-gambar background facebook yang aduhai memanjakan mata. Background gambar-gambar bertema natural-imajiner dan warna  indah menyejukan dengan resolusi yang baik telah meningkatkan antusiasme berfacebook. Saya perhatikan teman-teman seperti mengalami evoria background. Ada yang sekedar mencandai background dengan nulis pesan singkat “xoxoxo” sampai yang bikin status puitis dengan gambar background berupa alam pegunungan (gak nyambung ya disambung-sambungke lah..xixi). Sejauh ini nampaknya  bahwa subyek gambar yang dilihat indra mata telah mempengaruhi imajinasi dan perasaan facebooker. Azik..

Telah lama para ilmuwan membagi pengetahuan menjadi dua: pengetahuan yang diperoleh melalui akal (pengetahuan konseptual-logis) dan pengetahuan pengetahuan yang diperoleh melalui imajinasi-visual (pengetahuan intiutif-rasa). Pengetahuan akal lazim berupa pengertian-pengertian akali (konsep) dan dijelaskan melalui bahasa verbal – karenanya bersifat universal. Sedang pengetahuan intiutif  berupa citra gambar simbolik (image) yang langsung berkaitan dengan perasaan, karenanya ia bersifat subyektif. Itu teorinya. Praktiknya, sajian pengetahuan konseptual-logic lebih banyak membosankan daripada pengetahuan intiutif yang penuh daya emosional. Di sini saya setuju dengan Imanuel Kant (dalam Ernst Cassirer: 1987) ketika mengatakan bahwa kejayaan logika matematis manusia telah meminta ongkos yang amat tinggi: ilmu pengetahuan sebagai abtraksi telah memiskinkan realitas sebagai formula-formula tunggal yang dangkal.

Begitulah, pengetahuan intiutif dipresentasikan tanpa kata-kata. Cukup lah panorama visual sudah berbicara seribu kata. Imaji/gambar menjadi sesuatu yang otonom dan langsung membentuk pengertian di benak penikmat. Bagi para pekerja seni, pengetahuan intiutif menjadi mata air ide yang tak terbatas. Hanya saja, pengetahuan intiutif bukan melulu milik perupa.

Mistik Islam mengakui sepenuhnya akan eksistensi pengetahuan intiutif. Dunia tasawuf mengenal dengan istilah kasyaf yakni terbuka dan diperlihatkannya panorama kegaiban. Dalam sebuah hadis Qudsi Allah berfiman: Orang yang mendekatkan diri kepadaKu, mengerjakan yang fardhu dan yang sunat, sehingga Aku cinta kepada mereka lalu Aku menjadi pendengaran mereka dan Aku menjadi penglihatan mereka.

Bahkan pengalaman intiutif sering menjadi penanda derajat (maqam) spiritual seseorang. Nabi Muhammad sendiri merupakan figur yang kaya akan pengetahuan intiutif. Misalnya, sebagaimana diceritakan dalam riwayat Isra Mikraj, nabi  bertemu dengan seseorang yang wajahnya sangat mirip dengan beliau: itulah kakek moyang beliau, Nabi Ibrahim. Juga ketika nabi melihat rupa Jibril yang sebenarnya yang berbeda dari kebiasaan wujud Jibril berupa manusia. dan puncaknya ketika Nabi melihat langsung  Sang Robbul Izzati (Qs. An_Najm: 13-18). Semua pengetahuan intiutif tersebut membekas kuat pada pribadi dan membentuk etos perjuangan  Nabi.

Sebagai pengalaman spiritual, pengetahuan intiutif telah menjadi sinyal kedekatan antara subyek makhluk dengan sang kholik. Karena bersifat subyektif, para arifin sering menyimpan jenis pengetahuan ini semata untuk menghindari “kegaduhan” awam yang tidak perlu. Istilah “awam” di sini bukanlah masyarakat  bodoh tapi masyarakat yang didominasi superioritas pengetahuan akali: menganggap akal sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Bagi seniman, pengetahuan intiutif adalah pengalaman estetis tentang keindahan dan bagi mistiskus pengalaman intiutif menjelma menjadi pengalaman spiritualitas tentang kebenaran. Bagi kemanusiaan, pengalaman intuitif menjadikan keindahan sebagai jalan kebenaran. Di sini lah ditemukan argumen kenapa sosok mistiskus juga sosok seniman: seni menjadi medium kontemplasi spiritual. Sebagaimana seniman tanpa perasaan-perasaan bergelora hanya akan menciptakan karya yang dangkal dan sembarangan. Demikian juga mistiskus, para salik, para ahli tasawuf, tanpa pengalaman intiutif, mereka tak akan menemu kenikmatan spiritual.

Bagi para salik pengalaman intiutif merupakan pengalaman dari petualangan mencari hakekat kebenaran akan tetapi itu bukanlah  tujuan dari perjalanan sendiri. Ia lebih penanda sebuah terminal penyapaan: ruang dialog jiwa sementara sebelum meneruskan perjalanan menuju ruang-ruang dialog jiwa berikutnya dari proses perjalanan jiwa tanpa batas. Jiwanya menjadi kaya. Sungguh berbeda wawasan, sikap dan perilaku antara seseorang yang telah mengalami  perjalanan spiritual, menjumpai realitas kemanusiaan, menyapa keanekaragaman dan keindahan, dan berdialog dengan berbagai budaya dengan orang yang kurang “piknik” dan lebih suka monolog. Ibarat kata, betapa kering dahaganya sekelompok orang yang cuma bisa gaduh mendiskusikan tentang konsep “es degan” sementara kelompok lain  tengah lahap menikmati nikmatnya “es degan” di siang hari yang terik.

Sungguh tepat, bila di saat puasa Ramadhan, Facebook menyuguhkan gambar-gambar background indah. Puasa adalah  babul ibadah, pintunya ibadah, pintu pengetahuan intuitif, sekolah rasa, pintu kearifan. Anggap saja   facebook sedang mencolek kecerdasan imajinatif kita yang selama ini terabaikan yang berakibat kepekaan rasa kita sebagai manusia tumpul.

Selamat berpuasa dan berbackground ria..haa.

*) Abdullah Ibnu Thalhah, Dosen Pendidikan Seni UIN Walisongo, Semarang.