Epidemi Corona dan Framing Ketakutan Pakai Narasi Agama

Epidemi Corona dan Framing Ketakutan Pakai Narasi Agama

Ada ketakutan yang lebih mendesar ketika soal framing Corona ini pakai narasi agama

Epidemi Corona dan Framing Ketakutan Pakai Narasi Agama

Covid-19 atau lebih populer dengan Corona sudah ditetapkan sebagai Pandemi, level tertinggi untuk darurat kesehatan global dan menunjukkan bahwa wabah yang meluas ini mempengaruhi banyak wilayah di dunia, per 11 Maret kemarin. Walau penetapan WHO kemarin dianggap terlambat, karena virus Covid-19 dalam angka resmi telah mencapai lebih dari 120,000 kasus, di setidaknya 114 negara.

Indonesia yang baru mengumumkan telah terpapar virus tersebut di awal Maret kemarin, angka pasien suspect Covid-19 sudah mencapai tiga puluhan kasus per 12 Maret kemarin. Sudah ada beberapa pasien yang sudah dinyatakan sembuh dan dibolehkan pulang. Perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia sudah menarik perhatian warga bahkan sebelum pengumuman Negara.

Kala kabar tentang virus Covid-19 telah masuk Indonesia diumumkan oleh Pemerintah, lantas memancing gelombang perilaku borong barang oleh beberapa oknum. Arkian, informasi terkait kekosongan bahan kebutuhan pokok harian, masker hingga sanitizer di media sosial, turut meresahkan masyarakat. Kondisi tersebut yang kemudian membuat kritik Aming, seorang komedian, menjadi viral di media sosial. Dia mengutuk perilaku brutal tersebut sebagai simbol membunuh kemanusiaan.

Framing dan Narasi: Titik Persoalan Informasi Soal Corona

Virus Covid-19 telah menjadi perhatian masyarakat dunia sejak awal tahun 2020, termasuk Indonesia. Kehadiran virus di negeri kita malah telah menjadi persoalan di masyarakat, bahkan sebelum diumumkan kemarin. Mungkin kita masih ingat narasi “tentara Allah” atau “Azab” yang telah lebih dahulu meramaikan perbincangan di masyarakat.

Urusan kepanikan dan ketakutan masyarakat dan dinamika narasi Corona di media sosial adalah dua entitas yang berbeda, tapi memiliki irisan yang sama, yaitu framing. Media sosial yang telah lebih dulu ramai, diikuti dengan kepanikan dan ketakutan. Media massa dan pemerintah disebut pihak yang bertanggungjawab atas kegagalan mengedukasi masyarakat menghadapi persoalan epidemi.

Persoalan kepanikan dan ketakutan massa yang muncul akibat virus Corona meletus di Indonesia sejak pengumuman resmi pemerintah (02/3/2020). Tak perlu waktu lama, banyak beredar meme, status hingga caption di linimasa media sosial mengritisi tampilan reporter salah satu televisi swasta. Betapa tidak memancing kritik keras dari netizen, karena wartawan tersebut memakai masker Respirator yang dianggap berlebihan dan memancing imaji ketakutan bagi masyarakat.

Kasus wartawan di atas menegaskan framing media memang tidak selalu terkait narasi teks yang dibacakan, tapi juga terhubung banyak faktor, sebagaimana dicontohkan di atas. Laman Remotivi malah menegaskan bahwa peran media tak kalah penting dengan dokter dan perawat lainnya. Saya memfokuskan pada dampak dari framing media, termasuk media sosial.

Sejak ketakutan dan kepanikan massa terhadap isu Corona meletus di Indonesia, beli panik ditandai sebagai dampak awal yang terlihat. Saat berita tentang seorang peneliti di salah satu Universitas menyebutkan rempah-rempah, seperti kunyit, jahe dan lain-lain, beredar di media massa. Langsung direspon dengan peningkatan angka pembelian dan kekosongan stok di pasaran. Inilah potret umum masyarakat kita dalam beberapa hari terakhir.

Mungkin elok bagi kita mencoba merenungi apa yang disampaikan oleh Emmanuel Levinas, jika melihat kondisi di Indonesia menghadapi wabah Corona. “Aku menemukan sesamaku dalam wajah yang telanjang yang mengatakan terimalah aku dan jangan membunuhku” begitu tulis Levinas. Dia juga mengimpikan relasi antar manusia yang tidak melihat orang sebagai “alter ego” (aku yang lain).

Dua model relasi dari Levinas terasa bagai hantaman keras bagi masyarakat Indonesia, dalam relasi kondisi terbaru di Indonesia yang panik menghadapi persoalan wabah Covid-19. Jika beli panik sebagai respon awal dari masyarakat Indonesia, maka jelas terlihat fakta bahwa rasa kemanusiaan jauh dari apa yang ditulis oleh Levinas.

Bagi Levinas, hubungan dengan sesama manusia harus dimulai dari menerima dia (baca: orang lain) di dalam “rumahku” dan milikku menjadi milik bersama. Cita ini mungkin sangat ideal bagi kehidupan manusia modern dan kapitalis, yang telah lama dijejali berbagai informasi ketakutan dan kebimbangan dalam menghadapi kehidupan, jauh sebelum berbagai wabah penyakit berbahaya masuk.

Rasa kebersamaan dalam kemanusiaan memang menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua. Tentu kita harus menumbuhkan imunitas di masyarakat menghadapi framing media yang menumpulkan rasa tersebut. Jangankan menerima dalam rumah sendiri untuk menghadapi bersama persoalan virus tersebut, kita malah berani mengorbankan sesama dengan tidak menyisakan bahan pokok pada orang lain.

Framing media massa dalam membingkai Corona disebut telah gagal dalam mendidik masyarakat, malah menggelincirkan dalam kesalahpahaman tentang virus tersebut. Masyarakat Indonesia juga dibiarkan menafsirkan dan bertindak sesukanya dalam menghadapi polemik massif ini. permainan narasi agama terkait Corona adalah framing yang turut memanasi polemik kemanusiaan ini.

Framing media di awal pengumuman pemerintah kemarin malah memunculkan imajinasi di kepala banyak masyarakat kita, bahwa kondisi berbahaya sulit untuk dihindari dan dihadapi secara bersama-sama dan interaksi antar manusia harus sangat dibatasi sesegera mungkin. Coba saja kita lihat dalam beberapa pemberitaan di televisi, termasuk kasus masker wartawan di atas.

Berbagai narasi agama dipakai oleh beberapa oknum bukan dalam usaha menguatkan sesama manusia dalam menghadapi persoalan Corona, tapi malah ikut memframing imaji sesat di masyarakat. “Tentara Allah” yang dihembuskan oleh salah satu pendakwah tenar tentu langsung menancap dalam ingatan masyarakat, termasuk narasi lainnya seperti “azab Allah” dan lain-lain. Dari hal ini bisa mengejawantah menjadi perilaku kasar pada orang lain yang dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut.

Sikap tidak peduli dan antipati pada penderitaan orang lain (baca: orang di luar kelompoknya) ditanam sedikit demi sedikit. Relasi antar manusia akhirnya direduksi lewat batasan kelompok, agama, ras, kaum dan lain-lain, walau umat manusia sedang menghadapi krisis. Adagium “manusia adalah serigala bagi manusia yang lain” akan dengan mudah sekali terpapar pada kelompok eksklusif tersebut.

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin