Wahdatul Wujud
Frasa ini terdiri dari dua kata, Wahdat dan Wujud. Wahdat berakar kata dari [W] [H] [D], bermakna satu, kesatuan, penyatuan. Sedangkan Wujud bermakna ada, keberadaan, eksistensi. Istilah Wahdatul Wujud muncul dari dunia Sufi. Menurut faham sufi ini, makhluk bisa menemukan derajat yang melampaui Syariat dengan menemukan hakikat sejati. Hakikat sejati itu adalah hilangnya sifat-sifat ciptaan, dan sang sufi menemukan hakikat ketuhanan. Tuhan dianggap memasuki alam diri makhluk dan terjadilah persatuan dua eksistensi menjadi satu keberadaan, yaitu Tuhan itu sendiri.
Pelopor faham ini diduga adalah Abu Manshur Al-Hallaj yang dihukum mati oleh para fuqaha lantaran fahamnya ini. Faham lain yang hampir serupa dengan Wahdatul Wujud ini adalah Hulul, yang mengandaikan bahwa Makhluk beranjak naik ke alam ketuhanan dan menyatu dengan eksistensi Tuhan. Selain itu juga ada Fana’, yaitu hancur leburnya hakikat kemanusiaan. Adanya manusia sebenarnya tak ada karena kefana’annya, yang abadi dan ada hanyalah Tuhan.
Wahdatus Syuhud
Makna verbalnya adalah kesatuan kesaksian. Syuhud berasal dari kata [Sy] [H] [D], yang berarti melihat, menyaksikan. Wahdatus Syuhud adalah faham yang lebih moderat dari pada Wahdatul Wujud. Menurut faham sufi ini, yang dialami oleh Al-Hallaj, Al-Busthami, Suhrawardi bukanlah kesatuan wujud, melainkan kesatuan kesaksian. Karena, menurut faham ini, tak mungkin makhluk menyatu dengan Tuhan secara Eksistensi. Yang dialami oleh para Sufi itu adalah Mukasyafah, tersingkapnya tabir-tabir mata batin antara manusia dengan Tuhan. Saat Mukasyafah itu, mereka sudah tak mengindahkan apa-apa lagi karena pada saat itu yang disaksikannya hanyalah keindahan sang maha pencipta. Karena asyiknya menikmati kecintaan dengan sang Tuhan, mereka tak menyadari lagi hakikat diri mereka.
Syathahat
Istilah ini poluler di kalangan para ahli tasawuf dan pengikutu tarekat sufi. Syathahat adalah ekspresi, pernyataan-pernyataan yang terlontar sesaat sang sufi mengalami ekstrase, trance kepada Tuhan. Biasanya Syathahat ini tak disadari oleh sang sufi sendiri, karena sebenarnya mereka sedang berdialog dengan Tuhan. Rumi, saat trance, ia menari-nari, berputar-putar sembari menyenandungkan puisi.
Al-Hallaj mengekspresikan Syathahat-nya dengan berteriak ana al-haq (Akulah Tuhan). Masih banyak lagi ungkapan-ungkapan Syathahat, misalnya, Ana Allah (Akulah Allah), La ilaha illa Ana (Tiada Tuhan selain Aku), La ana illa ana (Tiada aku selain aku). Ungkapan yang paling terkenal adalah ungkapan al-Hallaj yang menyulut kontrofersi itu, Ma fi jubbati illa Allah (di dalam baju jubahku ini tak ada siapa-siapa selain Allah).