Kitab Tanwirul Qulub merupakan salah satu kitab yang banyak dikaji dalam pesantren. Kitab karya Syekh Muhammad Amin al-Kurdi tersebut membahas berbagai tema, salah satunya mengenai tasawuf. Di kalangan ahli tarekat, Syekh Muhammad Amin al-Kurdi merupakan penganut Thariqah Naqsabandiyah.
Salah satu bab yang dibahas dalam kitab ini adalah bab mengenai nafsu. Syekh Amin memasukkan buah pikiran dari Imam Hatim Al-Asham. Imam Hatim Al-Asham adalah ulama besar dari Khurasan. Kealimannya sudah diakui banyak orang.
Syekh Amin menulis bahwa barang siapa yang mengikut madzabku (Imam Hatim Al-Ashom), maka haruslah ia menjalani empat macam perkara kematian. Madzab yang dimaksud adalah perjalanan dalam tasawuf.
Empat kematian tersebut adalah, mautu akhmar, mautu aswad, mautu abyadh, dan mautu akhdhor. Lantas apa maksud dari empat kematian ini?
Mautu akhmar atau kematian merah adalah bagaimana seorang sufi melawan hawa nafsunya sendiri. Nafsu sebagai barang halus bisa bersembunyi melalui hal-hal yang lembut pula. Sehingga seakan-akan ia tidak tampak. Laku dalam kematian ini adalah sufi melawan hawa nafsu dalam diri sendiri hingga bagian-bagian yang lembut.
Nabi Muhammad sendiri pernah memperingatkan sahabat yang tengah merayakan euforia kemenangan saat perang Badar. Perang yang dicatat sejarah sebagai salah satu perang yang maha dasyat tersebut, dikatakan Nabi bahwa masih ada yang lebih dahsyat dari pada perang tersebut. “Lalu apa itu Nabi?” tanya sahabat kepada Nabi SAW.
Nabi SAW menjawab perang yang lebih dahsyat adalah perang melawan hawa nafsu. Nafsu memang tidak kelihatan oleh mata seperti perang menggunakan senjata. Oleh karena itu, melawan nafsu adalah salah satu bentuk jihad.
Mautu aswad atau kematian hitam adalah menahan derita yang berasal dari sesama makhluk. Sufi menanggung segala bentuk hinaan atau celaan dari manusia lainnya. Sufi menanggung derita demi kemaslahatan umat.
Sufi tahan akan segala bentuk godaan yang berasal dari manusia, tidak hanya godaan yang dilayangkan oleh setan. Jika dikonstektualisasikan dengan zaman sekarang adalah tahan akan godaan nyinyiran tetangga, nyinyiran di media sosial dan tahan dari pihak yang suka menynyir orang lain, apalagi tanpa bukti yang jelas.
Mautu abyadh atau kematian putih. Dalam hal ini sufi memperhatikan porsi dalam perutnya. Ia tahan akan godaan lapar dan tidak makan secara berlebihan. Dengan merasa lapar, ia akan menjaga hati dan pikirannya. Mengenai kematian ini, bukan berarti tidak makan untuk menjadi sufi. Beribadah, bekerja, dan mencari ilmu juga membutuhkan tenaga.
Allah menciptakan beragam tumbuhan dan hewan juga untuk dinikmati dengan ketentuan tertentu, seperti halal-haramnya. Yang tidak diperkenankan adalah memakan makanan melebihi porsinya. Karena kekenyangan dapat menyebabkan malas. Hikmah lainnya dalam kematian ini adalah kita dapat berbagi makanan dengan tetangga atau teman, sehingga tidak memakannya semua atau membiarkannya mubadzir dengan alasan sufi menahan lapar.
Mautu akhdhor atau kematian hijau. Dalam hal ini seorang sufi harus menjaga pakainnya dari kemewah-mewahan atau dalam bahasa zaman sekarang, glamor. Memakai pakaian sesuai dengan waktu dan tempatnya.
Dalam pepatah Jawa terdapat kalimat, ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono. Artinya, harga diri seorang dari lidahnya dan harga diri badan dari pakaian. Pakaian menentukan harga diri seorang di hadapan orang lain. Tetapi memakai pakaian yang glamor juga tidak dibenarkan. Sufi menunjukkan kesederhanaan dalam berbusana. Hikmah yang bisa diambil dari kematian ini adalah tidak membedakan si kaya dan si miskin. Dengan berpakaian sederhana akan memutus jarak manusia berdasarkan gaya hidupnya.
Perkataan Imam Hatim yang ditulis oleh Syekh Amin memberikan banyak hikmah bagi kita yang hidup di zaman milenial ini, dengan segala godaannya, tidak ada salahnya mempraktekkan laku tasawuf yang dirumuskan oleh Imam Hatim Al-Asham ini. (AN)