Emmanuel Macron dan Paradoks Kebebasan Beragama di Prancis

Emmanuel Macron dan Paradoks Kebebasan Beragama di Prancis

Emmanuel Macron dan Paradoks Kebebasan Beragama di Prancis
Foto: (AP Photo/Emrah Gurel)

Emmanuel Macron dijepit oleh dua kutub yang dua-duanya bermasalah. Pertama, kutub sekularisme yang pada dimensi praktiknya kerap minimbulkan dilema antara kebebasan berpendapat dan menghormati identitas lain. Kedua, kutub islamisme ekstrim, yang pada taraf tertentu juga tidak bisa dibenarkan karena membahayakan orang lain. Eropa dengan gelombang imigran dan perubahan komposisi identitas warga negaranya, Samuel Paty dan Abdoullakh Anzorof, Macron dan pemboikotan produk Prancis di berbagai negara muslim, adalah rangkaian representasi dari benturan nilai-nilai antar peradaban.

Masalahnya, sekularisme barat dan islamisme―dengan intensitas yang beragam di masing-masing pihak―, sulit mendapat titik temu karena masing-masing memiliki bingkai moralnya sendiri. Di Eropa, dengan tingginya gelombang imigran yang umumnya berasal dari negara muslim, muncul resistensi di kalangan native, baik itu sesederhana sinisme pada lapisan akar rumput, ataupun serumit kemenangan partai sayap-kanan di lapisan politik di beberapa wilayah.

Rasa takut kelihangan lapangan kerja, alienasi terhadap muslim, ataupun gerakan native-centrist adalah beberapa hal yang terjadi di Eropa yang sepadan dengan yang terjadi di Indonesia saat mendengar kata ‘Cina,’ ‘PKI,’ ‘Anti-Islam,’ dan sejenisnya. Kondisi tersebut punya konsekuensi yang berbeda jika terjadi di wilayah yang berbeda.

Di wilayah episenter, Macron, sebagai kepala negara, terbelit oleh beragam tekanan saat menyatakan sikapnya terhadap kasus Samuel Paty, baik itu ideologis ataupun politis. Minimalnya, ia perlu mempertimbangkan kelompok sosial mana yang perlu diprioritaskan, dan respon apa yang mungkin muncul.

Masalah ini menjadi rumit karena beririsan dengan masalah lain yang tidak kalah ‘cair,’ Religious offense. Religious offense menjadi cair karena memuat sengketa tipis antara ‘maksud’ dan ‘interpretasi’ antara Paty dan Anzorof dalam melihat kartun Nabi Muhammad. Dalam konteks yang lebih luas, sengketa tipis bisa menjadi sangat menentukan saat berpautan dengan hak asasi manusia.

Sayangnya, tidak semua kelompok ataupun individu dengan basis moral tertentu punya cukup energi untuk menyebrang atau memahami basis moral kelompok/individu lain agar terjadi kesepahaman tentang hal tertentu. Ini yang terjadi pada Paty dan Anzorof. Merendahkan  Nabi Muhammad memang tidak dapat dibenarkan, namun yang lebih penting dari itu adalah menjaga pikiran agar tetap proporsional dan tidak reaksioner―sebagaimana legowo-nya umat Kristen saat Yesus bertebaran dijadikan meme di Internet.

Di wilayah regional,  tiap-tiap negara berpenduduk muslim jelas punya konfigurasi sosial yang berbeda meski sekilas ekspresinya sama (marah dan boikot). Pada kesamaan itu terjadi penularan emosi dan afek. Kemarahan adalah respon logis yang berasal dari basis moral tertentu. Saat seorang anggota kelompok tidak marah sementara kelompoknya marah, maka ia akan menanggung beban moral keanggotaan. Marah adalah emosi, sedangkan keinginan untuk terhubungan dengan kelompok adalah afek.

Energi yang pada dinamika itu hanya perlu diolah sedikit lagi agar bisa berubah menjadi kekuatan politik. Pra-syarat lain yang dibutuhkan agar bisa menjadi kekuatan politik adalah; adanya orang tengah (middlemen), dan amplifikasi insting primordial. Di wilayah episenter, kasus Paty dan Anzorof sulit untuk diidentifikasi apakah murni penistaan insidental atau bagian dari rencana besar tertentu.

Di wilayah regional, kasus Paty dan Anzorof terlalu sia-sia jika tidak digunakan sebagai pupuk gerakan partisan, baik itu yang manfaatkan oleh elit ataupun oleh middlemen. Religious offense perlu diidentifikasi secara hati-hati, karena, baik insiden ataupun tidak, religious offense punya peluang untuk dimanfaatkan, baik oleh pihak penista ataupun yang dinista. Dalam konteks Eropa, perlu diinvestigasi lebih jauh hubungan Macron dengan konfigurasi sosial di Prancis untuk mengungkap apakah ada pelintiran kebencian atau tidak yang sedang dimainkan.

Dalam konteks Indonesia, ada kesumringahan di kalangan Islamisme di Indonesia ketika menerima penghinaan. Penghinaan baru sama artinya pupuk kohesi sosial baru. Dengan adanya penistaan maka islamisme punya basis moral dan basis logis untuk meluapkan kemarahan yang sering kali tujuannya tidak terarah. Manfaatnya, memori tentang populisme islam dan kedaulatan umat bisa terpelihara berkat estafet dari satu isu ke isu lainnya, dari satu penistaan ke penistaan lainnya.

Islamisme di Indonesia melihat Macron melalui bingkai ketidak-adilan (injustice frames). Umat diarahkan bahwa di luar sana ada ‘orang luar/asing’ yang berkuasa yang melukai tujuan dan nilai Islam. Saat injustice frame beririsan dengan simbol sakral, maka insting primordial umat mudah digugah oleh middlemen untuk digunakan sebagai penguatan basis massa. Itu sebabnya, isu konflik, penistaan, dan kontroversi yang berkaitan dengan Islam selalu punya penggemar setia.

Jadi, barat dengan segala pernak-perniknya macam sekularisme, liberalisme dan demokrasi, jelas punya paradoks dan dilemanya masing-masing. Kalaupun ada politisasi dari elit politik Prancis ataupun global terhadap Charlie Hebdo beserta turunannya, biarlah menjadi investigasi lanjutan di lain kesempatan.

Yang terdekat saat ini adalah, memastikan bahwa Islam di Indonesia tidak terkena ketulian primordial yang dapat menghambat diri dalam proses kontribusi kosmopolit karena salah mengidentifikasi masalah.