Pada mulanya, ia lahir sebagai salah satu dari 6 amanat reformasi, hasil konsensus mahasiswa bahwa korupsi adalah biang rapuhnya fundamental ekonomi, yang berujung krisis begitu dalam. Jamak diketahui, sebagaimana juga dituturkan begawan ekonomi Orba, Soemitro Djojohadikusumo, Orde Baru membangun perekonomian dengan berbasis korupsi yang membiak laksana jamur di musim hujan. “Lebih-kurang 30% uang APBN menguap tak jelas rimbanya” ujar Soemitro. Ada seloroh sinis ketika itu, “korupsi adalah minyak pelumas pembangunan”. Korupsi adalah extra-ordinary crime, kejahatan luar biasa, karena merajalela begitu rupa.
Bangsa besar yang dibangun berbasis korupsi itu limbung diterpa badai krisis ekonomi 1996. Rush terjadi begitu massif, PHK menggila, kebutuhan pokok meroket, nilai rupiah di hadapan dollar takluk, banyak orang menjadi gila.
Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, di tahun 2002, diteken sebuah Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga khusus anti-korupsi dengan dengan wewenang luar biasa untuk menghadapi kejahatan luar-biasa. Kewenangan kepolisian dan kewenangan kejaksaan menyatu dalam KPK. Megawati berjasa dalam menanda-tangani lembaga ini.
Pun, KPK bekerja cukup taktis dan signifikan. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia sedikit demi sedikit membaik, celah-celah korupsi perlahan dapat ditutup. Bahkan, dari beberapa survey menunjukkan bahwa KPK adalah satu-satunya lembaga publik yang dipercaya oleh rakyat, dengan skor cukup tinggi. KPK memberi harapan baru.
Dunia internasional juga memberi penghargaan kepada KPK. Tak tanggung-tanggung, di tahun 2013, KPK mendapat penghargaan The Ramon Magsasay Award, sebuah penghargaan bergengsi yang kerap disebut sebagai Nobel-nya Asia. KPK dianggap berhasil mereduksi korupsi cukup signifikan di Indonesia dan menjadi inspirasi bagi negara-negara Asia.
Kemudian, empat tahun berselang, melalui sebuah riset yang dilakukan oleh United Nation Convention Againt Corruption (UNCAC), sebuah lembaga di bawah PBB, KPK mendapat penghargaan best practice pemberantasan korupsi. Artinya, kinerja KPK dapat dijadikan contoh oleh lembaga-lembaga sejenis di seluruh dunia, terutama negara-negara anggota PBB.
Hadirnya KPK dengan segala prestasinya seolah menjadi oase bahwa korupsi di Indonesia, perlahan tapi pasti tereduksi. Masa depan Indonesia cerah. Dan, oleh karena itu, sebagian publik jatuh cinta kepada KPK.
Tetapi, seluruh bukti dan bakti KPK itu tidak cukup untuk tetap memperkuatnya. Di periode kepemimpinan kedua Jokowi, KPK justru dibuat tak berdaya. Banyak kewenangan-kewenangannya yang dipreteli oleh revisi UU KPK. Berkali-kali, mahasiswa turun ke jalan meminta dengan sangat agar Presiden Jokowi mengeluarkan Perppu, tapi tidak digubris. Tokoh-tokoh nasional, dengan kredibilitas mumpuni, juga meminta Jokowi mengeluarkan Perppu, tapi tidak digubris.
Jokowi, andai saja cukup mempunyai hati, ia akan dikenang sebagai Presiden-Pahlawan, penyelamat KPK dari pelemahan KPK. Di depan jurnalis, selepas bertemu tokoh-tokoh nasional, Jokowi berujar :”saya mempertimbangkan mengeluarkan Perppu KPK”. Tetapi, janji itu menguap laksana embun pagi diterpa sinar matahari Dhuha. Majalah Tempo membuat karikatur laki-laki berhidung Pinokio.
Sekarang, setelah UU KPK hasil revisi itu diberlakukan, kita melihat dengan wajah sayu, aura KPK runtuh, kehilangan karakter. Koruptor mulai berani melawan KPK. KPK bukan lagi lembaga yang ditakuti oleh para koruptor. Ada banyak celah melawan KPK.
Lantas, apakah masa depan KPK suram ? Apakah masa depan pemberantasan korupsi suram ? Saya jawab dengan tegas “tidak, asal…..”
Presiden Jokowi masih bisa menjadi pahlawan di tengah kondisi KPK saat ini yang melemah. Jokowi, dengan kewenangannya sebagai presiden, masih bisa mengeluarkan Perppu atas UU KPK, sekali lagi, Presiden masih bisa mengeluarkan Perppu. Realitas kekinian sudah cukup obyektif bahwa situasi dalam keadaan genting. Tinggal kemauan sang Presiden melakukannya.
Sejarah akan menjadi saksi apakah seorang Joko Widodo memang mempunyai level sebagai Presiden? yang melihat keadaan dengan menggunakan mata konstitusi bukan menggunakan mata partai. Ketundukan pada partai memang penting, tetapi ketika partai melenceng dari konstitusi, kesetiaan pada konstitusi layak didahulukan.
Saya percaya, jika Presiden Jokowi berani mengeluarkan Perppu UU KPK, niscaya seluruh pemilih Anda akan memberi applaus panjang, Anda menjadi laki-laki terhormat dan sekaligus pahlawan.
Jokowi, kami menunggu kenegarawanan Anda.