Dikala di negeri ini isu kebangkitan Islam Kanan atau Fundamentalis semakin meninggi. Ada sebuah perkembangan dalam generasi muda muslim dengan genre yang berbeda. Mereka-mereka ini muslim, tapi juga terbuka terhadap unsur-unsur budaya dari luar mereka. Mereka ini hidup dan berkreativitas dalam arus modernitas, dan mereka ini malah sebagai agen Islam yang mengampanyekan Islam yang ramah dan terbuka terhadap dunia modern.
Generasi muda muslim ini lahir dari depresi paska peristiwa teroris 11 September WTC dan Penembakan brutal para teroris kepada 11 pegawai Charlie Hebdo di Perancis pada 2015 lalu. Mereka merasa terstereotype sebagai seorang muslim yang di identikan dengan terorisme dan kolot. Peristiwa besar ini banyak membentuk jiwa keberislaman mereka. Mereka ingin menunjukkan, bahwa Islam tidak sebagaimana dituduhkan dalam isu-isu Islamophobia.
Para Millenial muda muslim ini ingin menyampaikan bahwa berislam juga bisa menjadi modern. Berislam juga bukan teroris, tapi mereka terbuka dalam bergaul, hidup berpendidikan tinggi dan survive dalam dunia modern. Seperti yang diuraikan oleh Shelina Janmohammed dalam bukunya yang berjudul Generation M: Generasi Muda Muslim dan Cara Mereka Membentuk Dunia, para generasi Millenial muda muslim ini merasa tersinggung karena diidentikkan dengan para pembunuh brutal di Charlie Hebdo tersebut.
Saking muaknya terhadap stereotype teroris dan ISIS terhadap identitas mereka sebagai seorang muslim. Seperti yang diceritakan oleh Shelina Janmohammed dalam bukunya, seorang pemudi bernama Layla Shaikley, muslimah Millenial jebolan MIT dan sekarang bekerja untuk NASA. Layla merasa frustasi terhadap stereotype-stereotype ini. Kemudian untuk melawan cap-cap teroris dan ISIS, ia membuat sebuah video yang diperankan oleh para muslimah-muslimah berhijab terdidik di Amerika. Dalam video itu ingin menyampaikan bahwa generasi muslim adalah seorang muslimah, berhijab, dan yang cukup penting adalah mereka fashionable dan menjadi diri mereka sendiri.
Memberikan gambaran baru tentang identitas kemusliman mereka ini cukuplah penting. Gambaran baru bahwa mereka juga melek fesyen dan sekaligus berhijab tentulah suatu kampanye yang positif.
Generasi Millenial muda muslim ini hidup di jantung modernitas dunia, Eropa dan Amerika. Dalam kondisi belakangan ini, dimana menjadi seorang muslim ditengah merebaknya ketidakpercayaan dunia Internasional terhadap Islam, menjadi seorang generasi muda yang muslim merupakan suatu yang sulit untuk dilakukan.
Yang menarik adalah, generasi Millenial muda ini lahir di era saat ini, zaman internet dan keterbukaan informasi. Dimana, para Millenial ini hidup dididik dalam keluarga muslim dan sekaligus mereka dibesarkan dalam lingkungan Eropa dan Amerika. Sintesa ini ternyata mampu melahirkan sebuah generasi yang terbuka terhadap peradaban dan juga sekaligus tidak kehilangan terhadap identitas keislamannya.
Ekspresi beragama mereka dan bergumulnya dengan dunia modern barat amatlah menarik. Mereka tidak sebagaimana umat muslim pada umumnya, yang setiap hari terlalu mencolokkan identitas keislamannya dengan jenggot panjang dan jubah. Generasi Millenial muda muslim ini malah menunjukkan kalau mereka berislam juga bisa gaul, cerdas, melek fesyen dan sekaligus modern.
Nampaknya, kita yang hidup di negeri yang mayoritas muslim ini perlu untuk banyak belajar terhadap cara mengekspresikan generasi Millenial Muda Islam seperti Layla dan teman-temannya. Kita tentunya amat jenuh dan muak dengan cara berislam banyak generasi muda kita, yang menjual keislaman kita dengan identitas sebagai Islam yang pemarah dan membahayakan orang lain. Takbirr.
M. Fakhru Riza, Penulis adalah Pegiat Gusdurian Jogja dan Mahasiswa Psikologi UIN Jogja.