Ekosipasi dalam Islam: Sungai dan Hutan Juga Punya Hak

Ekosipasi dalam Islam: Sungai dan Hutan Juga Punya Hak

Ekosipasi dalam Islam: Sungai dan Hutan Juga Punya Hak

Berita soal tambang, deforestasi, hingga bencana lingkungan yang makin sering terjadi. Semua ini bukan sekadar musibah alam, tetapi tanda bahwa ada yang salah dengan cara negara kita mengelola sumber daya. Ketika negara terlalu bergantung pada tambang seperti batubara, nikel, emas, dan sebagainya, itu seperti menggantungkan hidup pada satu tiang yang rapuh. Padahal sektor ini cuma menyumbang sekitar 6% ke PDB. Namun, efeknya sangat besar: hutan rusak, sungai tercemar, dan nyawa melayang.

Data dari berbagai sumber memperlihatkan situasi yang makin gawat: 2,13 juta hektare lahan terdampak kebakaran dan deforestasi (Greenpeace, 2024), 47 anak meninggal di lubang tambang (Mongabay, 2024), dan konflik lahan makin sering terjadi (JATAM, 2025). Ini belum termasuk proyek-proyek besar seperti smelter alumina yang terus berjalan meski analisis dampak lingkungannya masih minim (ESDM, 2024). Negara seolah berpacu mengejar angka pertumbuhan dan melupakan bahwa tanah, air, dan udara juga memiliki batas.

Bayangkan Bumi Seperti Rumah Kos: Planetary Justice

Coba bayangkan Bumi ini seperti rumah kos besar. Semua makhluk seperti manusia, hewan, dan tumbuhan adalah penghuni yang memiliki hak sama atas udara bersih, air segar, dan lingkungan yang sehat. Planetary Justice (keadilan planet) mengajarkan bahwa penggunaan sumber daya harus adil, tidak hanya bagi kita sekarang, tetapi juga bagi generasi yang akan datang. Ini soal keadilan lintas waktu, lintas tempat, dan bahkan lintas spesies.

Di Indonesia, ini berarti kita tidak bisa menilai proyek tambang hanya dari nilai PDB-nya. Kita juga harus bertanya, bagaimana dampaknya terhadap ekosistem di Sulawesi? Apa yang terjadi dengan masyarakat adat di Kalimantan? Jika kita hanya mengejar keuntungan jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampaknya, maka yang dirugikan bukan hanya lingkungan, tetapi juga kehidupan sosial dan ekonomi kita sendiri.

Ekosipasi: Ketika Alam Punya Hak untuk Didengar

Dari gagasan besar Planetary Justice, lahirlah konsep ekosipasi atau emansipasi ekologis. Intinya sederhana: alam juga memiliki hak. Sungai, hutan, dan hewan dapat dipandang sebagai “subjek” hukum, bukan sekadar objek. Ini bukan sekadar angan-angan. Sungai Whanganui di Selandia Baru, misalnya, secara hukum diakui sebagai entitas hidup yang memiliki hak hukum. Di Ekuador, konstitusinya bahkan memasukkan hak-hak alam secara eksplisit (Stone, 1972).

Di Indonesia, gagasan ini diperjuangkan oleh akademisi seperti Robertus Robet. Ia mengusulkan agar alam diperlakukan seperti warga negara” yang memiliki hak dan dapat diwakili dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui musyawarah desa maupun pengadilan lingkungan. Bayangkan jika sungai dapat menggugat” pencemar melalui walinya. Dengan begitu, suara-suara alam yang selama ini bungkam bisa benar-benar terdengar dan dihormati.

Islam Juga Membela Alam

Dalam ajaran Islam, alam bukanlah objek mati yang semata-mata disediakan untuk kepentingan manusia. Ia adalah makhluk hidup yang tunduk dan bertasbih kepada Allah dengan caranya sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. Al-Isrā’ [17]: 44. Pandangan ini menempatkan alam sebagai bagian dari komunitas spiritual yang hidup, bukan sekadar latar pasif bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, pencemaran, deforestasi, dan eksploitasi berlebihan bukan hanya tindakan merusak secara fisik, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap tatanan ilahiah dan perusakan terhadap makhluk yang sedang beribadah. Alam memiliki martabat spiritual dan dihormati dalam banyak aspek syariat, termasuk dalam konsep ḥimā dan ḥarim yang telah lama dikenal dalam fikih Islam sebagai kawasan konservasi dan perlindungan ekologis.

Seyyed Hossein Nasr, pemikir Muslim kontemporer, mengkritik keras cara pandang antroposentris dalam dunia modern yang menempatkan manusia sebagai pusat dan penguasa tunggal atas alam. Menurutnya, krisis lingkungan berakar dari pemisahan total antara manusia dan alam, serta dari penghilangan aspek sakral alam dalam kosmologi modern (Nasr, 1996). Ia menawarkan paradigma teosentris-ekosentris, di mana Allah menjadi pusat etika dan alam dilihat sebagai āyāt Tuhan yang sakral. Dalam kerangka ini, manusia sebagai khalīfah tidak memiliki kekuasaan absolut, melainkan memikul amanah untuk menjaga bumi dengan raḥmah (kasih sayang), mīzān (keseimbangan), dan iḥsān (kebaikan), bukan dengan dominasi eksploitatif.

Islam Punya Cara untuk Bela Alam

Dalam Islam, terdapat dua konsep menarik yang bisa menjadi “jalan tengah” antara nilai-nilai spiritual dan urgensi krisis lingkungan saat ini: ḥuqūq al-ṭabī’ah dan shūrā al-bi’ah. Yang pertama, ḥuqūq al-ṭabī’ah atau hak-hak alam, membahas pengakuan bahwa alam memiliki hak hidup, hak untuk tidak dirusak, untuk diperlakukan dengan hormat, dan untuk menjalani perannya sebagai makhluk yang bertasbih. Ini bukan gagasan baru. Banyak ulama dan akademisi lingkungan Islam telah lama menyuarakannya dan bahkan menjadikannya dasar dalam menolak deforestasi, pencemaran, atau eksploitasi yang melampaui batas (Febriani & Zumaro, 2021).

Sementara itu, shūrā al-bi’ah dapat dipahami sebagai bentuk “musyawarah ekologis”. Artinya, keputusan mengenai lingkungan tidak boleh hanya diambil oleh elite atau pemilik modal. Komunitas lokal dan masyarakat adat memiliki hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Mereka bahkan dapat menunjuk wakil khusus untuk mewakili kepentingan alam, seperti sungai, hutan, atau satwa tertentu. Di sinilah konsep walī al-bi’ah (penjaga lingkungan) muncul, sebagai perpanjangan suara ekosistem dalam ranah politik dan hukum (Amiruddin et al., 2024). Ini bukan sekadar idealisme, melainkan pendekatan konkret agar keputusan lingkungan lebih adil dan inklusif.

Dua konsep ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya berbicara soal akhirat, tetapi juga sangat peduli terhadap bumi yang kita pijak. Ketika ḥuqūq al-ṭabī’ah dan shūrā al-bi’ah dipadukan dengan gagasan ekosipasi, maka terbentuklah jalan baru. Di situ spiritualitas bertemu keberanian hukum, dan keadilan ekologis tidak lagi menjadi wacana asing dalam iman kita. Saatnya kita bicara, bukan hanya untuk manusia, tetapi juga atas nama gunung, sungai, dan hutan yang selama ini diam.