Pariwisata adalah satu dari sekian banyak sektor yang mampu menyumbang pundi-pundi terbanyak untuk pendapatan negara. Hal ini bisa dilihat dari perannya sebagai Multi Player Effect (Pantiyasa, 2018), di mana sektor pariwisata mampu menggerakkan sektor-sektor lain seperti perkebunan, kuliner, industri pakaian, industri kerajinan, dan sektor lain di bidang jasa (utamanya transportasi).
Tak ayal, salah satu upaya pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah adalah dengan pengembangan dan pengelolaan tempat wisata. Mereka banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang tujuannya untuk memaksimalkan pendapatan lokal atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari situs-situs sejarah yang ada di sana.
Di Indonesia, objek wisata tidak selalu berkenaan dengan pantai, pegunungan, atau tempat-tempat yang memiliki pemandangan yang indah. Justru yang tak kalah populer adalah wisata religi dengan makam atau kuburan sebagai objeknya.
Pada laporan kementerian pariwisata Indonesia pada tahun 2021, perkembangan wisata religi di Indonesia mulai berkembang pesat. Ini ditandai dengan meningkatnya jumlah pengunjung wisata sebanyak 10-20% setiap tahunnya.
Lebih lanjut, dijelaskan juga bahwa terjadi pergeseran tren model kepariwisataan dari yang semula ‘sun, sand, and sea’ menjadi ‘serenity, sustainability, and spirituality’ karena selain berwisata masyarakat juga ingin memenuhi kebutuhan spiritualnya.
Hal itu bertalian dengan kecenderungan penduduk Indonesia yang ‘religius’ menurut data survei yang dirilis oleh Pew Research Center (2020). Katanya, sisi religiusitas orang Indonesia terekam lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara Islam di Timur Tengah. Kecenderungan inilah yang (mungkin) menjadikan wisata religi jadi objek yang (cukup) menjanjikan bagi sektor pariwisata negara ini.
Zarkasi: Antara Berziarah dan Berekreasi
Membebaskan diri sejenak dari segala bentuk tekanan pekerjaan dengan beristirahat atau melakukan hal yang menyenangkan termasuk kebutuhan seorang manusia. Oleh karena itu, kegiatan rekreasi menjadi penting. Dengan melakukan rekreasi, seseorang mampu menyegarkan pikiran mereka dari penatnya rutinitas sehari-hari.
Dari konteks di atas, terbaca bahwa dalam kacamata orang Indonesia rekreasi tak melulu harus dilakukan di pantai, atau di gunung, atau tempat-tempat yang memiliki penampangan yang indah. Berkunjung ke situs-situ keramat, atau makam orang saleh (wali) pun merupakan bentuk rekreasi juga, setidaknya bagi jiwa (batin) mereka.
Bagi para pelaku wisata religi, selain liburan, mereka juga ingin melakukan kegiatan yang (menurut mereka) masih ada dalam koridor mendekatkan diri dengan Tuhan. Wisata religi yang umum dilakukan oleh masyarakat Indonesia biasanya berupa praktik ziarah ke makam tokoh, pahlawan, ulama, dan wali, (bahkan nabi), yang dianggap memiliki karomah karena mampu mendatangkan berkah.
Dalam sejarahnya, praktik ziarah memiliki tradisi yang berakar panjang dalam proses perkembangan agama Islam di Indonesia. Ziarah sendiri merupakan kata serapan yang asalnya dari bahasa Arab, zaara, yang berarti menengok atau melawat. Kemudian KBBI mengartikan ziarah dengan kunjungan ke tempat yang dianggap keramat atau mulia (makam, dsb).
Meski tidak semua pemeluk Islam di Indonesia melaksanakan praktik ziarah, namun bagi para praktisi, mereka meyakini jika berziarah merupakan perbuatan yang memiliki keutamaan, khususnya ziarah ke makam para nabi dan orang-orang saleh, dan hal tersebut merupakan salah satu jenis ibadah ghairu mahdah (ibadah di luar yang diwajibkan).
Selain itu, mereka juga memercayai bahwa kedatangan mereka untuk berziarah juga akan mendatangkan berkah untuk hidup mereka (ngalap berkah). Jadi, dalam dimensi para praktisi, dengan berziarah sejatinya akan mendatangkan banyak manfaat bagi hidup mereka.
Atas dasar elaborasi tersebut, lalu tercetuslah istilah populer untuk menyebut wisata religi (ziarah) mereka dengan term ‘zarkasi’ sebagai akronim gabungan dari kata ‘ziarah’ dan ‘rekreasi’.
Dimensi Komersial Keberadaan ‘Zarkasi’
Banyaknya keutamaan yang terkandung dalam zarkasi membuat banyak orang sengaja mengalokasikan waktu dan tak segan merogoh kocek mereka demi melaksanakan kegiatan tersebut.
Hal itu memicu terbukanya kran bisnis yang berkembang di suatu daerah tujuan wisata religi. Banyak sektor dapat dimanfaatkan untuk bisnis, salah satunya penyedia jasa transportasi yang sengaja menawarkan jasa mereka untuk memberi kemudahan para pengunjung untuk melakukan zarkasi dengan nyaman. Mereka bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menyediakan fasilitas dan variasi destinasi dalam rencana perjalanan para pengunjung.
Pada konteks wisata religi, ziarah (baca: zarkasi) yang dilakukan praktisi sering diasosiasikan dengan ziarah ke makam para wali dan ulama yang telah berjasa bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Situs makam wali yang paling populer dan jamak dikunjungi oleh masyarakat adalah situs makam Walisongo yang lokasi makamnya tersebar dari Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. Meski begitu, terdapat ratusan situs makam wali, selain Walisongo, tersebar di pulau Jawa yang juga banyak dikunjungi oleh para praktisi zarkasi.
Pada masa pandemi lalu, ketika sektor pariwisata kolaps akibat COVID-19 yang melanda tanah air, dapat dibilang bahwa sektor wisata religi (zarkasi) merupakan objek wisata yang (lebih) mampu bertahan dibandingkan objek wisata yang lain.
Agaknya, persoalan tersebut ditengarai lantaran para praktisi yang melaksanakan ziarah ke makam wali coba ngalap berkah. Mereka berdoa kepada Tuhan untuk keselamatan dan kesehatan bagi diri mereka melalui perantara (tawasul) para wali yang notabene dekat dengan-Nya.
Memang, penduduk Indonesia cenderung lebih menyandarkan hal-hal yang terjadi di luar nalar dan kuasa mereka kepada alam dan Tuhan Yang Maha Esa. Pada gilirannya, sebuah situs yang dianggap punya ritus spiritual merupakan aset bagi daerah. Apalagi situs tersebut sering dikunjungi oleh banyak pengunjung.
Karena itu, banyak wilayah di daerah yang mulai memasarkan diri melalui objek religi, lantaran peluang ekonomi dan bisnisnya yang menjanjikan. Contoh saja, wali limo (5) di Madura, dan wali pitu (7) di Bali.
Tidak dapat dipungkiri, adanya situs wisata religi di suatu tempat akan menaikkan taraf hidup penduduk di sekitarnya. Tapi dengan adanya faktor tersebut tidak lantas jadi satu-satunya fokus pengadaan suatu situs religi tanpa memperhatikan dimensi yang lain. Sebab, nantinya hal itu akan mencoreng aspek kesakralan yang terkandung dalam kegiatan ziarah dan akan menodai kredibilitas penduduk di suatu daerah yang ditinggali situs religi.