Sebagai suatu ritus peribadatan, haji dapat dibilang amat ‘privilege’—tidak semua orang mampu atau dimampukan untuk melaksanakannya. Pantangannya bisa banyak hal: kemampuan finansial, kesehatan fisik, pengetahuan, hingga antrian mengular ONH dan ONH Plus. Pantangan tersebut biasanya dimampatkan dalam segitiga nisab-nasab-nasib. Tanpa keberpaduan tiga hal tersebut, ‘mustahil’ orang bisa berhaji. Privilege tersebut, yang melekat pada ‘haji’ itu sendiri, setidaknya disebabkan oleh dua aturan-main haji terkait lokasi dan waktu. Bahwa haji, mau tidak mau suka tidak suka, harus dilaksanakan di Mekah, Arafah, Mina, dan Muzdalifah; pada setidaknya 9-12 atau 13 Dzulhijjah setiap tahun.
Atas dasar privilege tersebut, muncul kemudian gagasan, apalagi bagi kita yang jauh dari Mekah, bahwa hanya orang-orang terpilih yang dipanggil Allah menjadi tamu VVIP-nya. Haji kemudian dirasai sebagai garansi kesalehan seseorang, apalagi Allah memang menjamin surga bagi yang hajinya mabrur, diindikatori oleh perbaikan prilaku mahdah dan ghairu mahdah pasca haji. Tentu kita tidak bisa tahu secara persis siapa yang mabrur siapa yang tidak tetapi berkat warisan Snouck Hurgronje (yaitu pemberian gelar ‘haji’), para ‘haji’ ini kemudian menjadi kelas masyarakat tersendiri, secara sosio-kultural dianggap lebih tinggi derajatnya di atas kalangan awam.
Jika yang ‘haji’ adalah seorang kiai, maka lengkaplah sudah kegurubesarannya. Jika ia ustaz, ia melegitimasi keustazannya. Jika bukan kiai bukan ustaz, haji menjadikan seseorang terkesan saleh atau religius. Apalagi, prosesi berhaji biasanya dilengkapi pula dengan seremoni ganti peci dari hitam ke putih; menandakan transformasi diri sebelum dan sesudah diundang Allah ke teras Rumah-Nya. Dengan kata lain, dengan privilege yang secara intrinsik dimiliki oleh ibadah haji, haji kemudian dikonstruksi menjadi legitimasi atas hierarki sosial di masyarakat Muslim Indonesia.
Di sinilah paradoks itu terletak karena betapapun haji punya kandungan privilege sekaligus dijadikan legitimasi privilege dan hierarki, ibadah haji sesungguhnya meneguhkan kembali kampanye egalitarianisme Nabi Muhammad. Sebagaimana kita tahu, egalitarianisme adalah nilai kemanusiaan revolusioner yang ditawarkan Islam melawan masyarakat Arab Quraisy yang amat hierarkis, di mana setiap suku punya derajatnya masing-masing, di mana kalangan budak dapat diperlakukan seenaknya, dan bahwa perempuan adalah objek seksual yang sub-ordinatif terhadap laki-laki.
Tak heran kemudian generasi awal Islam diisi terutama oleh kalangan marjinal yang bertahun-tahun didiskriminasi secara fisik dan simbolik melalui perangkat tatanan kemasyarakatan yang tidak berpri kemanusiaan dan antitesis terhadap keadilan sosial.
Karena alasan itu pula Nabi Muhammad ditentang para bangsawan Quraisy yang merasa kedudukannya terancam. Karena itulah Abu Bakar dan para sahabat lain berlomba-lomba memerdekakan budak. Dan Bilal menjadi contoh paling nyata bagaimana semua manusia apapun ras, suku, nasab, dan latar belakangnya adalah sama sederajat di mata Tuhan. Akibatnya, di mata manusia (dan hukum-hukum yang ditetapkan sebagai social contract), manusia harus pula dipandang sama sederajat dalam hak, kemerdekaan, dan kewajiban. Semata demi tercapainya masyarakat madani yang berkeadilan sosial.
Baca juga: Soeharto Haji, Gus Dur Berani Sekali Menjadikannya Humor
Tak heran jika para guru bangsa semisal Gus Dur, Cak Nur, Cak Nun, dan Buya Syafii amat menekankan egalitarianisme sebagai pengokoh kohesi sosial yang damai di tengah kemajemukan bangsa kita. Yang disebut belakangan bahkan menyebut, dalam ceramahnya di Sekolah Kebudayaan dan Kemanusiaan Ahmad Syafii Maarif, egalitarianisme sebagai bagian dari tauhid. Dan pikiran serupa dapat dilacak, salah satunya, pada magnum opus beliau: Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Intinya: agak sulit mewujudkan maslahah al-ummah jika kegiatan beragama di masyarakat yang religius tidak dibarengi oleh semangat kemanusiaan yang penuh rasa hormat dan tidak diskriminatif.
Dalam haji, kampanye egalitarianisme itu dapat kita petik dari filosofi berihram di mana para jemaah harus ‘ganti kostum’. Laki-laki hanya mengenakan dua kain—biasanya berwarna putih. Perempuan mengenakan pakaian yang menutup aurat. Prosesi ganti kostum ini memang katakanlah simbolik dan seremonial tetapi ia mengandung dorongan untuk berani melepas segala keterikatan duniawi: strata sosial, kemampuan ekonomi, atau bahkan jabatan politik.
Lalu kita menuju Arafah untuk wukuf, semuanya dalam pakaian yang sama ‘hina’-nya, tanpa merk, tanpa emblem pangkat, tanpa penanda kelas sosial, semata satu dari milyaran titik-kecil yang nothing di hadapan Allah. Entah kalau kemudian muncul kain ihram syar’i demi outfit haji yang branded dan sadar-kelas.
Baca juga: Sejarah Singkat Ibadah Haji
Seperti bagaimana kemah di Arafah yang dibikin berkelas-kelas sesuai jenis ONH, asal negara, atau kedekatan dengan Kerajaan—yang mana menunjukkan kecenderungan membangun privilege di dalam diri manusia. Hal yang sesungguhnya pernah dialami pula oleh Ka’bah. Dalam buku The Lost Story of Kabah saya mengutip kisah curhatnya Rasulullah kepada Aisyah selepas beliau melaksanakan thawaf di hari Fathul Makkah.
Rasululullah bercerita bagaimana Ka’bah di masa Nabi Ibrahim memiliki dua pintu yang keduanya menyentuh tanah, sedangkan Ka’bah hasil renovasi suku Quraisy (ketika Nabi berusia 35 tahun) hanya memiliki satu pintu yang dibuat sekira satu meter di atas tanah.
Tujuan para bangsawan Quraisy saat itu adalah agar hanya kalangan tertentu saja yang bisa dan boleh memasuki Ka’bah. Yang tentu saja bertentangan dengan revolusi kemanusiaan yang ditawarkan Islam melalui tangan Nabi. Lalu kenapa Nabi tidak ‘mengubah’ kembali Ka’bah? Karena, “Jika saja aku tidak khawatir kaummu (hai Aisyah) itu akan menyimpang karena baru saja keluar dari zaman Jahiliyyah,” sabda Nabi, “maka aku akan membuatkan tembok di dalam Ka’bah itu dan menyentuhkan pintunya ke tanah.”