Salah satu pemikir posmodernisme, Jean Baudrillard, memperkenalkan satu istilah bernama Mutual Constitution. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan situasi kehidupan dunia nyata bagai cerminan dari dunia maya. Bagaimana proses ini bisa terjadi, sedangkan kita masih meragukan apakah benar media sosial dengan segala keributannya bisa mempengaruhi kehidupan nyata?
Baudrillard menjelaskan bahwa apa yang ditulis dan pengalaman berselancar di media sosial akan memproduksi imaji kultural dari sebuah masyarakat dan memantulkan imaji tersebut kepada pengguna media sosial sebagai proses representasi pribadi, keadaan ini terjadi terus menerus dalam memproduksi sirkulasi citra. Keadaan inilah yang terjadi di masyarakat kita, khususnya kaum muslimin.
Antara disadari atau tidak, imaji akan Islam yang damai dan progresif dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan semakin tersingkir, digantikan Islam yang berwajah caci maki atas semua perbedaan yang ada di lingkungan kita.
Identitas Islam kita tidak lagi memunculkan konsep rahmatan lil alamin. Kesadaran kita akan Islam damai sudah semakin digerus tanpa diketahui apakah ini bisa dihentikan. Keislaman yang muncul ke permukaan adalah Islam yang penuh kebencian, ketakutan akan perbedaan, dan caci maki yang tidak pernah selesai.
Pernahkah kita sendiri berhitung sudah berapa jejak digital di media sosial yang meninggalkan jejak kebencian atau memperuncing kebencian?
Dampak dari jejak digital memang jarak dirasakan oleh mereka yang menuliskan atau membagikan status, namun dirasakan berkali-kali lipat oleh mereka yang terdampak dari status tersebut. Jika kita melirik apa yang dikonsepkan oleh Baudrillard di atas, ada dampak yang sebenarnya jarang diperhatikan adalah dampak konstruksi sosial yang diakibatkan dari apa yang tercatat di media sosial.
Konstruksi sosial yang dibangun dari media sosial ini sebenarnya adalah dampak dari struktur masyarakat kita sekarang, yaitu “Keterbukaan”. Zygmunt Bauman menggambarkan dalam bukunya Liquid Times: Living in an Age Uncertainty, keterbukaan yang dihadapi masyarakat sekarang ini yang awalnya agar masyarakat bisa saling di dalam suasana keterbukaan, malah membawanya masuk ke dalam situasi yang mengerikan dan kemalangan, dan diperparah banjirnya populasi manusia yang seakan tidak bisa dikuasai atau dihentikan.
Masyarakat tidak lagi menjadi wadah yang aman bagi manusia yang hidup di dalamnya. Membuat manusia hidup dalam ketidakpastian yang akan memunculkan dua dampak yaitu ketidakpedulian dan kemandulan sikap, yang akhirnya membuat kehidupan manusia menjadi sangat individualisme.
Kehidupan yang menonjolkan individualisme akan membawa manusia hidup dalam ketakutan yang tidak pernah berhenti, karena hidup dalam perasaan ketidakmampuan di tengah orang lain. Ketika rasa ketidakmampuan ini kemudian berubah menjadi depresi, yang memangsa banyak orang sehingga memunculkan istilah yang dikemukakan oleh Zygmunt Bauman dalam bukunya Moral Blindness: the Loss Sensitivity in Liquid Modernity sebagai “Precariat”, untuk orang yang dilanda ketakutan konstan atau eksistensi hidup dalam ketidakpastian.
Ketakutan inilah yang kemudian dikeluhkan dan disebarkan melalui media sosial, sehingga isinya media sosial sangat diwarnai akan ketakutan dan saling mencurigai, yang pada akhirnya akan memunculkan kebencian dalam diri pengguna media sosial. Ketika suasana ini menjadi dominan maka ini akan sangat berdampak pada struktur kehidupan manusia, sebagaimana digambarkan oleh Baudrillard bahwa media sosial itu mampu memberikan dampak pada dunia nyata, karena selain dibentuk dari imaji yang dibangun dari media sosial juga ditambah dari dunia nyata sudah dianggap sebagai tempat yang tidak aman.
Interaksi di media sosial yang berfungsi sebagai imaji atau citra yang kemudian benar-benar terepresentasi dalam kehidupan nyata. Kala representasi di dunia nyata sudah terjadi dan terus diulang-ulang secara konstan, inilah yang akan menjadi identitas kolektif ke depannya. Inilah yang harusnya disadari semua para pemain di media sosial, jika anda semua memainkan kebencian dan ketakutan di media sosial anda maka dampaknya akan sedahsyat ini. Kebencian dan ketakuan akan yang lain akan menjadi identitas Islam itu sendiri.
Sebagaimana pesan dari Gus Mus dengan nada lirih, dalam acara “Mata Najwa” beberapa hari yang lalu, sudahilah semua kebencian yang ada saat ini. Saat kebenciaan dan ketakutan terus disuarakan dalam media sosial, maka dampaknya akan sulit dihentikan. Maka, hal yang pertama adalah hilangkan kebencian dan ketakutan dalam media sosial kita sendiri. Dengan ini Islam online akan bersih dari dua hal tersebut, dan ini pasti akan berdampak pada citra Islam secara keseluruhan baik online maupun offline.
Istilah Islam online dan Islam offline memang tidak dikenal dalam Islam, tapi kalau umat Islam ini, diakui atau tidak, adalah salah satu pemakai internet terbanyak saat ini. Maka, perlulah kita membangun citra Islam yang damai dan progresif dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan di dunia maya (baca Islam online). Agar citra Islam yang pernah dibangun oleh Rasulullah selama yang ramah pada kemanusiaan tidak hancur hanya karena ujaran-ujaran kebencian yang semakin lantang di media sosial kita selama ini.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin